Ibadah; karena Pujian, Kewajiban, Surga, atau Rido-Nya [1]

0
393

Oleh: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy

Manusia diciptakan tidak lain untuk menghambakan diri hanya kepada Allah. Begitulah Allah memiliki misi dengan diciptakannya manusia. Allah tidak mengharapkan apa-apa dari misi tersebut, Allah hanya berharap pada hamba-Nya untuk menjadi yang terbaik di sisi-Nya. Tentu, harapan tersebut tidak berkonsekwensi buruk bagi Allah, semisal kecewa atau merasa dikhianati, justru konsekwensi buruk itu dirasakan oleh hamba kelak jika tidak melaksanakan misi tersebut.

Sifat penghambaan diwujudkan dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Keduanya merupakan ibadah yang tidak boleh tidak harus ditaati oleh seorang hamba. Karena ibadah merupakan aktifitas utama dalam kehidupan, sebagai penempa diri seseorang untuk mejadi hamba yang mampu meraih rido-Nya.

Tetang aktifitas ibadah, berupa perintah, Allah mengklasifikasinya dengan memberi status pada masing-masing ibadah. Ada ibadah yang status hukumnya wajib dan ada yang sunnah. Klasifikasi ini merupakan ketetapan yang diukur dengan kemampuan seorang hamba. Andai saja Allah menetapkan semua ibadah dengan status wajib, maka sudah dipastikan seorang hamba akan merasa berat untuk melaksanakannya.

Pelaksanaan ibadah yang diwajibkan sebenarnya memandang pada sifat manusia yang di dalam dirinya terdapat sifat lalai. Oleh sebab itu, Andai saja Allah tidak memberi status hukum wajib pada suatu ibadah, semisal shalat lima waktu, dimungkinkan tidak ada seorang hamba yang akan melaksanakan shalat lima waktu. Dengan status hukum wajib, seorang hamba akan merasa tertuntut untuk melasanakannya.

Melihat kemampuan seorang hamba dalam pelaksanaan ibadah, maka ada hamba yang hanya mampu melaksanakan ibadah yang wajib saja dan ada hamba yang tidak hanya mampu melaksanakan ibadah yang wajib, tapi ibadah yang sunnah pun menjadi rutinitas dalam kesehariannya.

Kemampuan seorang hamba yang kadang dibelenggu oleh kelalaian dan kemalasan, membuat dirinya pilah-pilih dalam melaksanakan ibadah. Jika tidak wajib, tidak dilaksanakan. Melaksanakan ibadah karena ada tuntutan. Lebih jelasnya, karena khawatir pada konsekwensi diwajibkannya suatu ibadah. Yakni, menghindar dari ancaman siksa neraka dan mengharapkan nikmat surga.

Memang, dalam pelaksanaan ibadah, seorang hamba memiliki tingkatan tertentu. Berawal dari belajar atau melatih bagaimana beribadah sesuai kondisi hatinya. Hal ini sebagai proses untuk mencapai tingkatan ibadah yang paling tinggi di sisi Allah. Oleh sebab itu, ada hamba beribadah karena masih belajar. Ada hamba beribadah karena semata memenuhi kewajiban. Ada hamba beribadah karena mengharapkan pujian. Ada hamba beribadah karena seseorang. Ada hamba beribadah karena berharap surga. Ada hamba yang beribadah semata-mata penghambaan.

Hamba beribadah karena belajar

Tingkat pertama dalam melaksanakan ibadah, seorang hamba memang harus belajar terlebih dahulu. Dalam hal ini ditetapkan kepada seorang hamba yang baru beranjak umur remaja kemudian dewasa. Ibadah yang dilaksanakan remaja atau yang sudah dewasa masih dalam tahap belajar.

Kewajiban melaksanakan ibadah bagi seorang remaja dituntut kepada orang tua. Jika seorang remaja tidak melaksanakan ibadah karena tidak mendapatkan bimbingan dari orang tua, maka yang berdosa orang tua.

Oleh sebab itu, Rasulullah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat ketika mencapai umur tujuh tahun. Ketika berumur sepuluh tahun, jika anaknya enggan melaksanakan shalat, Rasulullah menyuruhnya memukul, namun dengan pukulan yang tidak membahayakan.

Sebenarnya bimbingan yang tepat dan bijak adalah orang tua tidak menyuruh, melainkan mengajaknya. Bimbingan dengan mengajak akan lebih berpengaruh dan hasilnya sangat baik.

Tinggalkan Balasan