Oleh: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy
Kiai adalah gelar yang dinobatkan oleh masyarakat kepada seseorang karena dikenal alim, atau memiliki kelebihan dalam aktifitas ibadah, atau karena dipandang dari keturunannya. Bagi masyarakat, seorang kiai merupakan tempat tumpuhan dalam banyak hal. Ketika ada masalah yang perlu dikonsultasikan pada kiai, mereka datang pada kiai. Ketika ada acara-acara penting dalam keluarga atau sosial masyarakat, mereka mendatangkan kiai. Terutama dalam hal ilmu agama, mereka begitu pasrah mendengarkan pengajian dari seorang kiai, bahkan mereka menyerahkan anaknya untuk mendapatkan ilmu agama dari kiai, dengan tujuan agar anaknya menjadi orang saleh-salehah.
Dengan demikian, masyarakat mengagungkan kiai dengan cara besrsikap ta’zhim, memuji dan pasrah pada kiai tersebut. Namun, kadang masyarkat keterlaluan dalam memberi puijan atau bersikap ta’zhim. Sehingga saking ta’zhimnya, mereka mendamba-dambakan atau menomersatukan kiai yang telah menjadi panutan mereka. Akibatnya, mereka sering mengenyampingkan atau bahkan tidak menganggap kiai yang lain. lebih parahnya lagi, tidak segan-segan menghina kiai yang bukan panutannya atau gurunya. Orang yang seperti ini biasanya berdalih, “Kiai itu bukan guru saya, atau saya tidak pernah berguru pada dia, kok. Ngapain juga menghormati, atau, kan tidak apa-apa aku mengejek dia?”
Dalih seperti di atas sering terungkap dari orang-orang yang tidak merasa berguru pada seorang kiai, sehingga dia gampang sekali mengungkapkan dalih tersebut. Kasus juga yang sampai saat ini masih terjadi, orang-orang mengkelompokkan dirinya sebagai golongan kiai sia A. jadi, seumpama ada orang-orang yang tidak berguru pada kiai yang mereka jadikan tokoh dalam golongannya, mereka tidak menganggapnya sebagai saudara di masyarakat, atau malah dianggap musuh yang harus dihindari.
Sepertinya tidak hanya masyarakat umum, santri dan alumni juga ikut mengelompokkan dirinya sebagai golongan kiai yang dijadikan guru. Sehingga mereka menyeket dirinya dari santri dan alumni yang tidak berguru pada kiainya. Tidak jarang ada ungkapan yang mengangungkan kiai dan pondoknya sendiri dan meremekan atau bahkan menjelek-jelekn kiai dan pondok yang bukan kiai dan pondoknya sendiri. Semisal, “saya santrinya si A bukan santrinya si B. jadi, tidak apa-apa jika saya tidak menghormati si B”, atau, “kita harus mengambil teman-teman alumni yang sepondok dengan kita untuk membangun lembaga pendidikan ini”, atau, “dia kan santri pondok itu tuch, jadi wajar dia tidak bisa baca kitab, karena memang pondoknya tidak kompeten dalam kitab” atau, “masih lebih bagus dan maju pondok saya dari pada pondoknya dia”.
Dalam kehidupan di masyarakat sangat jelas tentang golongan santri si A dan santri B, atau santri pondok A atau santri pondok B. Semisal dalam kehidupan pendidikan, mereka yang alumni pondok si A tidak mau membantu lembaga pendidikannya karena hanya beda alumni. Atau malah melarang anak didiknya untuk pindah pendidikan lanjutan ke pondok yang bukan pondoknya.
Begitu juga dalam kehidupan sosial masyarakat, ketika ada alumni yang tampil di masyarakat ternyata bukan alumni yang bukan pondoknya sendiri, dia berusaha bagaimana dia jatuh dari penilaian baik masyarakat dengan cara menjelek-jelekkan agar tidak tampil lagi.
Yang lebih parah lagi di kehidupan politik, mungkin karena selain politik merupakan kehidupan yang didalamnya serba tipu muslihat, ditambah lagi tidak masuk pada golongan alumni satu pondok. Jadi, ketika maju untuk mencalonkan diri, jika bukan alumni sepondok, tidak akan didukung, malah jika bisa digagalkan saja. Lebih konyol lagi, meskipun alumni satu pondok, tak jarang melakukan tipu muslihat. Mungkin karena memang kehidupan politik dituntut untuk melakukan itu.
Padahal, tidak ada kiai yang mengajari masyarakat, alumni, dan santrinya untuk melakukan semua itu. Dan, tidak ada kiai yang mengharapkan pujian atau sikap ta’zhim dari mereka, apalagi sikap ta’zhimnya sampai mejadi fanatisme yang membabi buta. Ta’zhim memang sudah kewajiban orang-orang untuk bersikap pada orang yang ahli ilmu, kiai, namun ta’zhim yang mulia bukan yang bejat.