Manusia tercipta dengan kesempurnaan. Lebih sempurna dan bagus dalam hal apapun, dibanding makhluk tuhan yang lain. Kesempurnaan itulah yang membuat manusia sering kali sangat bangga pada dirinya sendiri. Bangga telah diciptakan sebagai manusia yang bisa menikamati kenikmatan di dunia dan akhirat.
Walaupun terkadang masih ada yang bertanya kenapa dirinya dijadikan manusia? Kenapa tidak dijadikan hewan saja, yang tidak akan pernah berhubungan dengan hukum tuhan, mau apa saja tidak akan pernah ditegur oleh tuhan, apalagi dihukum. Atau kenapa tidak jadi malaikat saja yang tidak akan pernah menerima siksa tuhan, karena selamanya ia beribadah pada tuhan dan tidak pernah berbuat dosa?. Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang yang sudah merasa bosan dengan hidup di dunia. Tidak punya tujuan pasti, hanya disuruh ini itu tapi ia tak merasa ada manfaat baginya. Disuruh solat tapi hidupnya tetap melarat, disuruh berdoa’a tak penah dikabulkan.
Kesempurnaan yang dimiliki seorang manusia biasanya akan membuatnya merasa paling sempurna dari pada yang lain. Jadi tak heran kita mendengar kata “Aku yang telah menolongnya, kalau tidak ada aku dia pasti mati”, “Aku ini lulusan Al-Azhar dan hafal Qur’an 30 juz”, “Aku ini juara satu lomba matematika tingkat nasional, sedangkan kamu SD pun tak lulus” dan kata-kata lain yang mencerminkan rasa kebanggannya pada apa yang telah ia capai. Sehingga merasa ia-lah paling hebat, lainnya masih kalah dengannya. Padahal sifat seperti inilah yang tidak diinginkan oleh pemberi kesempunaan (Allah), kecuali pada saat-saat tertentu.
Akibat dari sifat bangga diri atau merasa paling hebat/bisa adalah perasaan sulit mengakui dan mengetahui kesalahan sendiri. Ia akan merasa tidak pernah melakukan kesalahan, barang sedikitpun. Makanya pepatah yang berbunyi (tapi setelah diucapkan) “Semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tak kelihatan” cocok untuk orang yang mempunyai sifat seperti itu.
Kesalahan sedikit yang dilakukan orang lain akan dikecam, ia akan mencemooh. Sedangkan kesalahan yang telah ia lakukan berkali-kali tak pernah ia rasa. Lebih parahnya ia selalu mencari kesalahan orang lain. Sehingga untuk mengoreksi diri sendiri tak sempat ia lakukan.
Seorang cewek melihat kekasihnya sedang asyik berduaan dengan cewek lain. Sang cewek marah, dan langsung melabrak kekasihnya. Padahal kelakuan sang kekasih terilhami oleh kelakuannya, yang juga pernah jalan berduan dengan cowok lain. Namun sang cewek tak merasa bahwa ia lah penyebabnya.
Seorang guru sedang mengajar, lalu melihat muridnya sedang tidur. Kemarahan timbul, tanpa banyak basa-basi sang guru menghampiri dan mencubitnya dengan keras. Sang murid meringis kesakitan, hatinya berbisik “Aku tidak boleh tidur, sedangkan cara mengajarnya membuatku ngantuk, melek pun aku tak bisa paham. Biar besok aku nggak akan masuk, mendingan belajar sendiri saja”.
Mungkin begitulah gambaran tentang orang yang merasa kesalahan selalu timbul dari orang lain. Sedangkan penyebab dari semua itu tak pernah ia telusuri. Mengapa tak pernah bertanya pada diri sendiri “Apa yang telah ku kakukan sehingga pacarku berkhianat?”,”Apa cara ngajarku yang tidak asyik sehingga muridku ngantuk lalu tidur?”.
Cak Nun dalam untaian puisinya berkata “Masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal pikiran kita, untuk sesekali berkata pada diri sendiri, bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia, tapi juga kita”. Puisi ini merupakan ungkapan kegelisahan Cak Nun pada manusia yang masih selalu menyalahkan orang lain. Melihat para pencuri, pelacur, pembunuh timbul rasa benci dan marah.
Tak terbersit di hatinya rasa keingintahuan, kenapa mereka melakukan hal yang dirasa telah melanggar norma-norma?. Seandainya saja bisa memahami sedikit dari apa yang mereka alami, serta membayangkan seandainya mereka adalah kita.
Sering dijumpai para koruptor yang dulunya adalah orang-orang yang sangat sering mendemo para pelaku koruptor. Tapi apa kenyataanya, idealismenya yang tertanam hilang seketika setelah punya kesempatan juga untuk melakukan korupsi.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana pentingnya intropeksi diri (Muhasabah). Tanpa ada intropeksi, klaim paling benar akan terus tanpak pada diri kita. Meminjam bahasa KH. Masdar F. Mas’udi “Ana-nya (red:akunya) terlalu dikedepankan”.
The end. Mari bersama kita hilangkan rasa paling hebat, rasa paling bisa, rasa paling benar. Dan mari bersama-sama intropeksi diri.
Author: Abdul Aziz W.S., Jember Jawa Timur