Beliau tidak mau membebani siapapun, termasuk pada pamannya, Abu Thalib. Beliau bekerja mengembalakan kambing miliknya para juragan kambing dan upahnya diserahkan kepada pamanda tercinta. Pada usia 12 tahun, beliau turut serta mendampingi pamannya dalam perjalanan dagang menuju Syam. Sesampainya di daerah Bushra, ada seorang pendeta yang bernama Buhaira, mengenali “tanda-tanda” yang dimiliki oleh Muhammad Rasulullah. Sang pendeta, datang mendekat lalu memegang tangan beliau yang lembut itu, dia berkata, ”ini seorang utusan Pencipta dan Pemelihara alam semesta, dialah yang diutus sebagai rahamat bagi alam semesta”. Semua yang ada disampingnya terperanjat,” darimana kamu mengetahuinya wahai pendeta?”. Pendeta menjawab,” pada saat Anda bertolak dari Aqabah, aku menyaksikan bahwa semua batu dan pohon yang kalian lewati bersujud (menunduk hormat) kepadanya. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali kepada seorang Nabi. Demikian itu yang aku baca dalam kitab-kitab kami”. Ooh begitu….,kata mereka semua. Akhirnya sang pendeta merekomendasikan kepada Abu Thalib agar jangan meneruskan perjalanannya ke Syam karena jika hal ini ketahuan orang Yahudi, tentu mereka akan membunuhnya. Dan Abu Thalibpun mengamini rekom ini. [al mukhtashar al kabir I/12-13]
Pendeta Nasturpun jadi Saksi
Beliau bukanlah sosok yang senang menganggur, melewati hari-hari dengan menghitung bintang dilangut, apalagi menjadi beban bagi orang lain. Beliau memiliki etos kerja,etos bisnis dan jiwa kepemimpinan, maka meskipun pernah “dilarang” untuk pergi ke Syam, menjelang usia 25 tahun beliau berangkat lagi. Kali ini dalam kongsi dagang (syirkah) dengan seorang juragan wanita Arab yang bernama Khadijah. Khadijah sebagai pemilik modal sedangkan beliau sebagai pelaksana. Keuntungan dan kerugian dibagi berdua. Berangkatlah beliau didampingi oleh anak buah Khadijah yang bernama Maisaroh. Sesampainya di Syam, untuk sekedar menghilangkan lelah beliau bernaung dibawah sebuah pohon yang dekat dengan gereja yang dipimpin seoarng pendeta yang bernama Nastur. Lalu Pendeta Gereja ini keluar dan bertanya, ” Hai Maisaroh, siapakah yang bernaung dibawah pohon itu?”, lalu maisaroh menjawab,” dia seorang dari suku Quraisy tinggal di Tanah Haram, Mekkah”. Maka sang pastur berkata, ” tidaklah bisa bernaung dibawah pohon ini kecuali seorang Nabi, apakah dikedua matanya ada warna merahnya?”, Maisaraoh menjawab, ”ya, ada”. Maka Pastur berkata dengan suara gemetar, ”kamu jangan berpisah dengannya, dia inilah Nabi terakhir. Oooh… seandainya aku masih hidup pada saat dia diusir oleh kaumnya”. [Al Mukhtashar al kabir I/13 dan al mausu’ah al hadits, hadits nomer 3737]
Author: Muzammil, Yogyakarta