Menyikapi Teman yang Nakal

0
1036

Ada seseorang yang curhat kepadaku. Dari sekian curhatnya, dia bertanya…

Gimana caranya menjauhi dari teman yang sudah berubah 99%, sedangkan dia teman yang paling dekat denganku. Jika aku tetap berteman dengan dia, aku akan tetap begini (nakal). Intinya serba salah untuk melakukan ini atau itu. Dan dia juga banyak mempengeruhi aku. Jika aku menolaknya, gak enak dengannya. Soalnya dia anak tipe keras kepala, dikit-dikit marah, malah kadang juga nggak mau mengalah dalam setiap masalah. Pasti aku yang harus mengalah. Tapi kalau kesabaranku sudah hilang, baru dia mau mengalah. Menurut Anda, aku harus gimana? Mohon solusinya!

Setelah aku mendengarkan curhat dari dia, lalu aku memberikan beberapa nasehat dan saran…

Kita sebagai manusia sudah barang tentu tak akan pernah lepas dari satu sama lain, lebih-lebih ketika dihadapkan dengan suatu kebutuhan, pasti membutuhkan yang lain, terserah butuh pada apa atau siapa. Namun yang lebih nampak sepertinya lebih butuh pada siapa (butuh pada manusia). Begitulah gambaran kehidupan manusia dilihat dari sisi sosialnya.

Berkaitan dengan hal membutuhkan pada siapa, mungkin ini yang dapat dimaksud arti adanya seorang teman. Kita hidup sehari-sehari pasti membutuhkan teman, walaupun terkadang juga membutuhkan pada selain teman. Siapa yang ingin hidup tanpa teman. Saya kira itu keinginan yang mustahil. Teman sangat berarti bagi kehidupan kita. Buktinya ketika kita sepi, temanlah yang mendampingi kesepian kita. Saat kita sedih, temanlah yang menghapus kesedihan kita. Kala kita memiliki berbagai macam masalah, temanlah yang memberi solusinya.

Namun, tidak menutup kemungkinan kehadiran seorang teman terkadang membuat hidup kita terperosok ke lembah hitam. Itu disebabkan teman kita tidak baik dan kita terpengaruhi olehnya sehingga kita masuk ke dunianya yang kelam. Mungkin masalah ini yang dialami saudari.

Ada dua hal dalam masalah ini yang membuat saudari dilema. Pertama, saudari begitu lengket dengannya (dan saudari tidak mungkin atau sukar menjauhinya). Kedua, saudari masih memperhatikan diri saudari (kekhawatiran saudari tetap nakal kalau berteman dengannya). Jadi, saya ingin bertanya pada saudari, mana yang harus saudari dahulukan? Diri saudari atau dia?

Kalau saudari mendahulukan diri saudari, saudari akan kehilangan teman dekat yang selama ini hadir di kehidupan saudari. Sementara bila mendahulukan teman saudari, saudari akan kehilngan jati diri [hasrat untuk tidak nakal]. Secara sepintas, dua pilihan ini amat sukar untuk ditentukan. Tapi saatkala saudari ditanyakan: sudikah saudari mengorbankan jati diri suadari hanya demi teman dekat yang selalu mempengaruhi saudari untuk menjadi orang nakal? Jawaban saudari pasti—kalau tekad saudari bulat untuk menjadi orang baik—‘tidak’. Sekarang kutegaskan pada saudari, “pikirkanlah dirimu, utamakanlah dirimu!”

Saya merasakan bahwa sudari tidak akan puas dengan pilihan ekstrem ini. Oleh karena itu, saya ‘kan menawarkan pilihan lain. Pertahankanlah pertemanan antara kalian karena bagaimanapun itu akan memberikan pada sudari sebuah pelajaran kelak hari. Tapi awas, waspada dan waspadalah! Dengarkan dan ikuitilah ini:

Bawalah dia ke dunia putihmu. Wah, ini sukar bukan buatan. Sebab tugas suadari adalah mengentaskannya dari kondisi kelamnya. Jika pada akhirnya saudari mampu mewujudkan ini, pahalanya bukan barang sedikit lho. Kian sulit saudari menuntuskan misi, semakin gede juga ganjarannya. Coba aja dech!

Namun saya menaruh belas kasihan pada saudari. Kurang bijak rasanya bila aku membebankan pada saudari ‘mission imposible’ (misi mustahil) ini. Karenanya, camkan solusi terakhir ini: terus berteman, tapi jangan biarkan dia mewarnaimu. Jika kau tidak mampu menyiram dirinya dengan air wangi hidupmu, jangan biarkan dirimu berlumur lumpur pesing dunianya. Oke? Uda ya… semoga menjadi masusia yang baik dan menjadikan orang lain baik juga. Amin

Tinggalkan Balasan