5 Prinsip yang Menjadikan Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin

0
1933

Pertama, Prinsip Elastisitas Hukum (Adam al Haraj)

Islam adalah suatu agama yang universal dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Karena bersifat universal itulah, ajaran Islam akan selalu relevan dan kontekstual pada setiap zaman dan tempat. Sehingga bisa mengayomi kehidupan seluruh umat manusia. Ajarannya penuh dengan kesejukan dan sungguh tidak menghendaki penganutnya dalam suatu kesulitan. Tuhan sendiri sebagai sang pencipta tidak menghendaki kehidupan manusia berada dalam kesempitan akibat adanya pembebanan yang ada di luar kemampuan hambaNya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al hajj ayat 78 sebagai berikut:

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.[1]

Ayat di atas menunjukkan bahwa di dalam Islam terdapat despensasi hukum atau yang lebih populer dengan istilah rukhshah. Rukhshah diberikan oleh Tuhan dalam rangka menghindari kemudhorotan. Taruklah contoh tentang kebolehan menjamak dan mengqoshor shalat tatkala seseorang melakukan perjalanan yang dibolehkan sampai jarak yang telah ditetapkan. Bahkan Allah menjadi marah apabila apa yang diberikan (rukhshah) kita abaikan. Karena Allah Maha Mengetahui bahwa perjalanan itu merupakan perihal yang melelahkan. Adanya despensasi ini, Karena  pada dasarnya, manusia sendiri tercipta dalam kondisi yang lemah.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya hukum Islam itu bersifat fleksibel dan tidak rigid. Tergantung situasi dan kondisi sehingga terwujud prinsip kemaslahatan.

Kedua, Prinsip Minimalisasi Beban Hukum (Taqlil al Taklif)

Dalam prinsip ini bagaimana manusia tidak terjebak dalam sikap ritual yang berlebihan dan mengurangi dalam menjalankan kewajiban agama. Karena hukum-hukum yang termaktub dalam al Qur’an tidak menuntut mukallafin untuk mengerjakan kewajiban agama di luar batas yang telah digariskan. Sekalipun tindakan tersebut dinilai wajar menurut tradisi masyarakat setempat.

Ini mengindikasikan bahwa ternyata hukum Islam sangat familiar dengan realitas, dikarenakan selalu memperhatikan manusia untuk tidak terkungkung dalam ranah pembebanan yang mengakibatkan kesulitan.

Oleh karenanya, manusia dilarang untuk mencari sesuatu yang tidak perlu dan mengada-ada sesuatu yang belum pernah dikerjakan Nabi  yang pada akhirnya bisa mengarah pada suatu tindakan dimana manusia merasa terbebani dan berada pada garis pembebanan yang amat sulit.

Ketiga, Prinsip Gradualitas Dalam Legislasi Hukum (al Tadrij al Tasyri’)

Al Qur’an diturunkan bukan pada ruang hampa namun bersentuhan langsung dengan tradisi yang sudah membudaya dalam suatu masyarakat. fenomina yang berada di masyarakat sangatlah komplit yang itu butuh penanganan yang serius. Karena untuk menghapus suatu tradisi yang bertentangan dengan syari’at yang sudah mengakar dalam suatu masyarakat sunngguh tidak mudah. Untuk memusnahkannya tidak serta merta langsung memberlakukan aturan (hukum). Sebab hukum datang melalui proses pergumulan panjang dengan realitas masyarakat.

Di dalam al Qur’an sendiri ketika berbicara tentang suatu hukum tidak langsung menghukumi, akan tetapi memberikan alternatif-alternatif untuk menemukan sisi negatifnya, artinya hukum tidak datang sekaligus tanpa memperhatikan kondisi masyarakat. Seperti pengharaman khamr. Pada mulanya Allah memberikan gambaran tentang khamr, bahwa di dalam khamr mudhorotnya lebih besar ketimbang mamfaatnya. Kemudian Allah melarang minum khamr pada saat menjelang shalat., yang pada akhirnya Allah secara tegas lugas Allah mengharamkan meiminum khamr, tentunya dengan pertimbangan kemaslahatan. Dimana ketika khamr masuk menelusup dalam dinding anggota tubuh manusia, maka, akal tidak lagi berfungsi normal.

Dari penetapan hukum yang telah tersaji di atas menunjukkan bahwa ternyata hukum Islam senantiasa berpijak pada prinsip peringanan beban manusia. Sehingga apa yang sudah menjadi ketetapan suatu hukum berupa pengharaman tersebut bisa diterima dengan ikhlas dan menumbuh kembangkan kesadaran untuk selalu berkomitmen pada ajaran syari’ah.

 Keempat, Sesuai Dengan Kemaslahatan Manusia (al Maslahah al Mursalah)

Hukum-hukum yang dilendingkan Tuhan sarat dengan misi cita kemaslahatan. Semuanya itu diperuntukkan untuk kepentingan dan pembenahan kehidupan manusia, baik yang ada sangkut pautnya dengan jiwa, akal, keturunan, agama maupun dalam pengelolaan harta benda.

Islam datang bukan untuk mendoktrin penganutnya tetapi lebih mengarah pada kesejahteraan manusia. Sehingga Allah memberikan kebebasan untuk mengelola dan memamfaatkan segala yang ada di muka bumi ini senyampang tidak ada ketentuan dalil yang melarangnya. Manusia bebas berkreasi dan berekspresi tetapi masih dalam koredor syari’at. Ketetapan hukum yang tidak sejalan dengan prinsip kemaslahatan maka ditangguhkan penggunaannya. Dan apabila kemaslahatan tersebut terjadi paradok satu sama yang lain maka, yang lebih diprioritaskan adalah kemaslahatan ammah yang di dalamnya mengusung keranda positif

Kelima, Persamaan Dan Keadilan (al Musawat Wa al ‘Adalah)

Allah menciptakan manusia dalam bentuk berpasang-pasangan dan saling mengasihi satu sama lain serta bagaimana berlaku adil. Antara yang satu dengan yang lain adalah sama. Ia Tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya. Bedanya adalah sejauhmana penghambaan diri kepada Khaliqnya. Dalam arti, ketaqwaannya. Hukum Allah berlaku umum untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Sebagai konsekwensinya, dosa atau bahkan kafir bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan perintahNya.

Persamaan hak di muka hukum adalah salah satu prinsip utama syari’at Islam baik hubungan secara vertikal (makhluk dengan Khaliqnya) maupun horizontal (hubungan makhluk dengan makhluk yang lain). Dalam hubungan horizontal ini Allah menganjurkan untuk hidup memasyarakat dan bergaul dengan mereka tanpa memandang ras, suku, dan bangsa . Sehingga dengan tindakan semacam itu bisa membentuk komunitas yang di dalamnya tercipta unsur saling tolong menolong dalam kebaikan (ta’aawun) serta mengingatkan bahwa kesuksesan dalam suatu urusan  diukur dan terkait erat dengan relasi  interaksi dengan manusia lainnya.



[1] QS. Al Hajj. 78

Tinggalkan Balasan