Mukenah yang Dipermasalahkan dalam Shalat

0
1365

Tampil keren merupakan idaman setiap insan, terutama saat mereka tampil di depan umum. Tak ayal, perkembanganteknologi yang semakin canggih menambah penampilan umat manusia kian modis. Modifikasi pakaian dalam hal ini merupakan suatu hal yang mesti dilakukan, karena penampilan modis sangat tergantung pada indahnya pakaian yang dikenakan.

Mukena, sebagai salah satu pakaian, tak luput dari bidikan modifikasi. Belakangan ini banyak dijumpai mukena terbaru yang elok dan menarik. Yang dulunya, mukena hanya berbentuk layaknya baju kurung dengan penutup kepala, saat ini, makhluk yang satu ini telah berevolusi menjadi dua potong, sepotong menutup bagian bawah badan (dari pusar ke bawah), dan potongan kedua menutup bagian  atas (dari kepala sampai bagian bawah pusar).

Dalam praktiknya, bagi mushalliyah (wanita yang shalat) yang tidak mengenakan baju saat shalat, atau mengenakan tapi bukan lengan panjang, maka saat-saat melakukan gerakan tertentu sebagian anggota tubuh mereka bisa terbuka (terlihat). Misalnya, pergelangan tangan dan bagian perut saat mengangkat kedua tangan, kecuali ketika mengangkat kedua tangan tidak sampai menyibakkan mukenanya.

Disamping itu, bagian dada dan sekitarnya serta seputar leher juga akan tampak saat mereka melakukan ruku’, akan tetapi untuk yang terakhir ini hanya bisa tampak dari arah bawah. Artinya, seandainya si mushalliyah tadi melakukan shalat di tempat yang tinggi dan di bawahnya ada orang, maka akan terlihat oleh orang tersebut.

Nah, hasil kerja keras desainer ini, ternyata menyisakan persoalan berat bagi kaum santri, sehingga kita, sebagai sosial agent, merasa terpanggil untuk melakukan kajian dari aspek fiqh.

Pertanyaan:

  1. Bagaimana status hukum shalat yang dijalankan oleh si mushalliyah di atas?
  2. Kalau memang menggunakan mukena seperti dalam deskripsi di atas dianggap tidak sah, lalu bagaimana solusinya bagi mushalliyah yang sudah telanjur bertahun-tahun melakukan shalat dengan menggunakan mukena seperti itu?

Jawaban

  1. Memotret persoalan shalat dengan mukena seperti dijelaskan di atas, para ahli fiqh terbelah menjadi dua kubu, sah dan tidak sah.

Kubu pertama dikomandoi oleh sebagian kalangan Syafi’iyyah yang diwakili oleh Sayyid Ba ’Alawy al-Hadhramy. Jauh hari sebelum mukena model baru ini memasyarakat, beliau sudah mensinyalir pelaksanaan shalat dengan mukena seperti itu, hanya saja waktu itu beliau gambarkan dengan dengan seorang perempuan yang melakukan shalat dengan memakai baju gamis dan kerudung (khimar). Menurut ahli fiqh asal Hadramaut ini, bilamana sebagian anggota tubuh perempuan tersebut terlihat dari sela-sela sambungan kerudung dan bajunya, maka shalatnya batal.

Begitu pula seandainya sebagian anggota tubuh perempuan itu terlihat dari sela-sela pergelangan bajunya terlalu longgar, maka shalatnya juga batal. Lebih jelasnya, berikut ini kutipan pendapat al-Hadhramy dalam kitab ”Bughyah al-Mustarsyidin” Juz 1 pada halaman 100:

وَحِيْنَــئِذٍ لَــوْ رُؤِيَ صَدْرُ المْـَرْأَةِ مِنْ تَحتِ الخِمَارِ لتَِجَافِيْهِ عَنِ الْقَمِيْصِ عِنْدَ نَحْوِ الرُّكُوْعِ، أَوِ اتَّسَعَ الْكَمِّ بِحَيْثُ تُرَى مِنْهُ الْعَوْرَةُ بَطَــلَتْ صَلَاتُهَا.

Lebih lanjut al-Hadhramy menepis persepsi sebagian fuqaha’ yang mengatakan, bahwa terlihatnya sebagian anggota tubuh dari sela-sela pergelangan tangan dan sela-sela pecahan kerudung dan baju termasuk terlihat dari arah bawah. Menurut beliau, anggapan itu adalah persepsi salah. Masih dalam kitab dan halaman yang sama beliau berkomentar:

فَمَنْ تَوَهَّمَ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْفَلِ فَقَدْ أَخْطَأَ.

Mengapa al-Hadhramy tegas mengatakan keliru? Karena dalam pandangannya, yang dimaksud terlihat dari arah bawah yang tidak wajib ditutup oleh seorang perempuan ialah terlihat dari arah bawah kakinya.

Kubu kedua dinakhodai oleh Abu Hanifah dan kawan-kawan, dimana beliau mengatakan bahwa terbukanya sebagian anggota tubuh perempuan yang sedang shalat itu tidak membatalkan shalat, asalkan yang terlihhat itu tidak sampai melebihi seperempat anggota tubuhnya. Berikut cuplikan imam an-Nawawi yang tertuang dalam kitab “al-Majmu’ fi Syarh al-Muhadzdzab” Juz 3, halaman 167:

وَقَالَ أَبوُ حَنِيْفَةَ اِنْ ظَهَــرَ رُبُعُ العُضْوِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَاِنْ زَادَ لمَ ْتَصِحَّ .

Lebih ’liberal’ lagi adalah pendapat yang diujarkan pengikut Abu Hanifah, Abu Yusuf. Santri Abu Hanifah yang sering berseberang pendapat dengan gurunya ini mengatakan, sah shalat seseorang yang terlihat separuh anggota tubuhnya. Berikut ini penuturan al-Nawawi dalam kitab dan halaman yang sama:

وَقَالَ أَبوُ يوُسُفَ اِنْ ظَهَرَ نِصْفُ الْعُضْوِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَاِنْ زَادَ لـَـم ْتَـــصِحَّ.

Kubu kedua ini menyepakati ketidakbatalan shalat perempuan yang hanya terlihat seperempat, mereka berbeda pendapat tatkala yang terbuka itu melebihi seperempat. Ketika seperti itu, Abu Hanifah mengatakan tidak sah, sedangkan Abu Yusuf berpendapat sah.

Lebih bijak tampaknya kita harus mengikuti pendapat kubu kedua ini, terlebih untuk komsumsi masyarakat awam. Kebijakan ini didasarkan atas prinsip, bahwa orang awam itu tidak memiliki madzhab tertentu dan bila yang mereka lakukan sesuai dengan salah satu pendapat yang pernah dicetuskan oleh seorang alim, maka sah perbuatannya, baik ibadah ataupun yang lainnya.

Syeikh Ismai’l Zain al-Yamani dari kalangan Syafi’iyyah keluar dari barisan madzhabnya, dan beliau menulis dalam kumpulan fatwanya, “Qurratu al-’Ain bi Fatawa Ismail al-Zain, halaman 59:

وَاَمَّا عِنْدَ غَيْرِهِمْ كَسَادَة ِالحَنَفِيّةِ وَسَادَةِ المَالِكِيَّةِ فَاِنََّ مَا تَحْتَ الذَّقْنِ وَنَحْوِهِ لاَيــُعَدُّ كَشْفُهُ مِنَ الْمَرْاَةِ مُبْطِلًا كَمَا يُعْلَمُ ذَلِكَ مِنْ عِبَارَاتِ كُتُبِهَا مَذَاهِبُهُمْ وَحِيْنَئِذٍ لَوْوَقَعَ ذَلِكَ مِنَّا لِعَامِيَاتِ الَّتِي لمَْ يَعْرِفْنَ كَيْفِيََّةَ التَّقْلِيْدِ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ فاَِنَّ صَلَاتَهُنَّ صَحِيْحَةٌ لِاَنّ اْلعَامِيْ لَامَذْهَبَ لَهُ.

Selanjutnya dalam kitab “Bughyah al-Mustarsyidin”  Jilid 1 halaman 248 disebutkan:

إِذِ الْعَامِيّْ لَا مَذْهَبَ لَهُ، بَلْ إِذَا وَافَقَ قَْولاً صَحِيْحاً صَحَّتْ عِبَادَتُهُ وَمُعَامَلَتُهُ، وَإِنْ لمَ ْيَعْـــلَمْ عَيْنَ قَائِلِهِ كَمَا مَرَّ فَي الْمُقَدِّمَةِ، بَلْ هُوَ الْمَتَعَيِّنُ فِي هَذَا الزَّمَانِ كَمَا لَا يَخْفَى اهـ.

2. Sebenarnya pertanyaan kedua di atas gugur dengan sendirinya dengan adanya jawaban pertanyaan pertama, karena dalam realitanya, praktik shalat dengan mukena seperti dalam deskripsi di atas masih ada pendapat yang memperbolehkan, yaitu pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Syeikh Isma’il Zain al-Yamany. Sekali lagi, kami tegaskan di sini, bahwa tindakan orang awam apabila sesuai dengan pendapat salah seorang ulama’, maka diakatakan sah, baik tindakan itu berupa ritual ibadah atau lainnya, sehingga tidak perlu mengulangi shalat tersebut.Wallahu a’lam bi al-Shawab! (Ir_By)

(Keputusan BM Ma’had Aly 2009)

Tinggalkan Balasan