Taqlid Buta pada Nabi vs Ulama

0
565

Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari pengaruh. Setiap tindakan seseorang pasti dipengaruhi oleh sesuatu yang lain. Bisa saja sesuatu tersebut berupa benda atau sikap orang lain. Pengaruh semacam inilah yang banyak diburu oleh masyarakat. Barangsiapa yang memiliki pengaruh paling besar, maka dia akan menjadi penguasa terbesar pula.

Diantara sekian banyak orang yang paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammadlah yang menjadi nomor satu sepanjang sejarah kehidupan manusia. Tidak ada yang sejajar dengan beliau. Hal ini karena pribadi beliau yang menjadi teladan bagi seluruh orang dalam bertindak. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21) [الأحزاب/21]

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzâb (33):21]

Dalam ayat ini, sebenarnya yang dimaksud bukan hanya Nabi Muhammad. Akan tetapi utusan-utusan Allah yang lain juga masuk dalam ayat ini. Hal ini dibuktikan dengan firman-Nya dalam ayat lain.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ [الممتحنة/4]

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.” [QS. Al-Mumtahanah (60):4]

Meskipun demikian, bila telah menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri teladan, maka dengan otomatis telah menjadikan Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang lainnya sebagai teladan pula. Karena ajaran dan tindakan Nabi Muhammad yang merupakan penyempurna bagi sebelumnya, tidak bertentangan dengan ajaran atau tindakan nabi-nabi yang lain.

Banyak hal yang dapat dijadikan teladan dari tindak tanduk Nabi Muhammad. Bahkan, seluruh aspek kehidupannya patut untuk dijadikan rujukan dan diikuti. Segala tindakan nabi tersebut dinamakan sebagai sunnah.

Secara bahasa, sunnah berarti jalan, baik bernilai positif ataupun negatif. Sedangkan arti sunnah secara luas, para ulama masih berbeda pendapat. Para pakar ushul fiqh (jurist) mendefinisikan hadits dengan segala sesuatu yang bersumber dari nabi (selain al-Qur’an) yang layak untuk dijadikan pedoman terhadap suatu hukum, baik berupa ucapan, tindakan, atau penetapan. Sedangkan ahli hadits (muhadditsîn) mendefinisikan sunnah dengan segala sesuatu yang muncul dari nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan, baik sebagai pribadi ataupun sebagai utusan, tidak memandang apakah tindakan tersebut terjadi setelah diangkat menjadi nabi atau sebelumnya.[1]

Dari dua sudut pandang itu, akan muncul implikasi yang berbeda. Bagi kalangan jurist, hadits diposisikan sebagai sesuatu yang harus memunculkan suatu keputusan hukum, minimal ibâhah. Sehingga, mereka membagi hadits menjadi beberapa kategori.

Menurut mereka, tindakan Nabi Muhammad bisa diklasifikasikan menjadi empat macam; adakalanya didasarkan atas pengalaman pribadi atau percobaan-percobaan  tentang hal-hal yang terkait dengan keduniawian, adakalanya didasarkan atas naluri rasul sebagai seorang manusia biasa yang mengikuti adat istiadat, adakalanya didasarkan atas keistimewaan beliau, juga adakalanya didasarkan atas pensyari’atan suatu hukum.[2]

Hadits nabi yang didasarkan atas pengalaman atau percobaan tidak harus untuk diikuti, akan tetapi bisa dibantah atau masih dibuka ruang untuk saling tukar ide. Misalnya dalam pengaturan bala tentara ketika perang. Suatu ketika nabi memosisikan bala tentaranya di suatu tempat, akan tetapi sebagian sahabat mempertanyakan tindakan beliau. Kemudian Hubbab bin Mundzir berkata:

فقال له الحباب بن المنذر : يا رسول الله ، منزل أنزلكه الله ليس لنا أن نتعداه ولا نقصر عنه ، أم هو الرأي والحرب والمكيدة ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « بل هو الرأي والحرب والمكيدة » ، فقال الحباب : يا رسول الله ، فإن هذا ليس بمنزل

Ya Rasul, bila posisi itu adalah posisi yang ditunjukkan oleh Allah kepadamu, kami tidak akan melanggarnya dan tidak akan meninggalkannya. Tapi, apakah posisi itu didasarkan atas pendapatmu dan merupakan strategi peperangan? Rasulullah menjawa, posisi itu merupakan olah pikirku dan strategi peperangan. Lalu Hubbab berkata, Ya Rasul, ini bukanlah posisi yang tepat.[3]

Tindakan nabi yang didasarkan atas naluri beliau sebagai seorang manusia seperti tata cara beliau makan yang hanya menggunakan tiga jari.

عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا.

Dari Ibnu Ka’ab bin Mâlik, dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah makan dengan tiga jari dan menjilati tangannya sebelum beliau membasuhnya.” [HR. Muslim: 5417][4]

Tata cara makan yang demikian tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk mengikutinya. Tata cara beliau makan dengan tiga jari karena makanan yang beliau konsumsi pada saat itu merupakan buah kurma yang bisa diambil cukup dengan tiga jari. Beda halnya dengan makanan yang dikonsumsi di Indonesia yang berupa beras, tidak bisa hanya menggunakan tiga jari saja.

Tindakan nabi yang didasarkan atas keistimewaan yang hanya dimiliki oleh beliau misalnya, kebolehan menikahi lebih dari empat wanita. Hal ini juga bukan syari’at bagi umatnya. Berbeda denga tipe yang terakhir, yaitu tindakan atau hadits nabi yang didasarkan atas pensyari’atan suatu hukum. Maka dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hadits tipe ini menjadi syari’at bagi umatnya dan harus diikuti.[5]

Pembagian hadits menjadi empat tipe seperti di atas, merupakan pembagian yang dilakukan oleh kalangan jurist. Berbeda dengan kalangan ahli hadits yang tidak membagi-bagi hadits menjadi bermacam-macam. Menurut mereka, sosok Nabi Muhammad adalah sosok yang semua dimensinya dapat dijadikan uswatun hasanah, sebagaimana difirmankan oleh Allah, tidak memandang posisi beliau yang sebagai manusia biasa atau bukan. Karena demikian, maka segala tindakan beliau merupakan percontohan yang patut untuk diteladani bahkan sebelum beliau diutus sebagai nabi.

Tata cara beliau makan, tidur, berdiri, berjalan, duduk, dan lain-lain adalah contoh kesempurnaan. Oleh karena itu, orang yang menginginkan kesempurnaan dalam kehidupannya, maka dia seharusnya mengikuti segala tindakan rasul. Inilah yang dianut oleh kalangan sufi yang menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya; kesempurnaan untuk total beribadah pada Allah. Karena setiap tindakan yang dilakukan, bila diniatkan untuk mengikuti nabi, akan bernilai ibadah.

Dari dua sudut pandang terhadap hadits, dapat diketahui bahwa kalangan sufi begitu percaya sepenuhnya kepada nabi; bahwa semua yang bersumber darinya bernilai ibadah dan harus diamalkan. Berbeda dengan kalangan jurist yang masih mengklasifikasi segala sesuatu yang bersumber dari nabi. Siapa yang benar? Dalam kasus ini tidak ada yang salah, karena yang diikuti adalah sosok makhluk yang paling sempurna, lepas dari kesalahan (maksûm). Berbeda halnya bila yang diikuti adalah makhluk biasa (bukan nabi atau rasul).

Saat ini banyak masyarakat yang begitu kagum terhadap seorang tokoh, terutama ulama atau kyai. Mereka seakan-akan memberikan penilaian serba benar terhadap apapun yang dilakukan oleh tokoh idolanya. Kefanatikan semacam ini terjadi karena tidak bisa melihat seorang tokoh dari berbagai sudut pandang sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan jurist. Seharusnya, seorang tokoh diposisikan sebagaimana mestinya, adakalanya ia sebagai individu pribadinya, adakalanya sebagai kepala rumah tangga, adakalanya sebagai pemimpin masyarakat. Bahkan, ada juga sebagian tokoh yang juga berposisi sebagai pembesar partai.

Semua yang dilakukan atau yang diperintahkan oleh seorang tokoh, harus diposisikan sebagaimana mestinya. Bila ia membicarakan tentang keluarga, maka ketika itu dia sebagai kepala keluarga yang simpulan pembicaraannya tidak serta merta dapat diaplikasikan bagi semua masyarakat. Bila membicarakan tentang kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat maka ia sebagai tokoh bagi masyarakatnya. Bila ia berbicara tentang perpolotikan dan kenegaraan maka ia sebagai anggota partai yang perintahnya tidak mengikat bagi semua masyarakat. Semua itu ada posisinya dan setiap posisi yang berbeda juga harus disikapi dengan berbeda pula. Masyarakat seharusnya lebih selektif dalam menyikapi segala tindakan atau permintaan seorang tokoh sebagaimana kalangan jurist juga selektif dalam memetakan tindakan dan perintah rasul. Hal ini penting untuk dilakukan agar tidak terjebak dalam kefanatikan terhadap seorang tokoh yang kadangkala menjadi sumber perpecahan.


[1] Dr. Muhammad Ijâj Khatîb, Ushul al-Hadîts, h. 13-14.

[2] Dr. Abu Yazid, LL.M., Nalar dan Wahyu, h. 93

[3] Imam al-Baihaqi, Dalâil al-Nubuwah, juz. III, h. 4

[4] Imam Muslim, Shahîh Muslim, juz. XIII, h. 390

[5] Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 43-44

Sumber Gambar: abunamira.wordpress.com

Tinggalkan Balasan