Mewujudkan Taubatan Nasuha [1]

0
455

Orang-orang yang melakukan dosa banyak macam latar belakangnya. Dalam ketentuan fiqh, orang yang melakukan dosa (melanggar aturan syar’at) dikarenakan tidak tahu hukumnya, tidak dengan sengaja, dan dipaksa. Tentu, orang yang melakukan pelanggaran aturan syari’at karena tiga hal ini, menurut hukum fiqh tidak memiliki konsekwensi hukum, dimaklumi atau ditolerir, tidak berdosa.

Latar belakang atau alasan di atas sudah menjadi maklum bagi siapapun. Namun ada latar belakang lain yang sulit dimaklumi namun harus diperhatikan. Melakukan dosa karena tidak tahu atau tidak sengaja, lebih sedikit kemungkinannya terjadi. Sedangkan orang yang melakukan dosa tidak karena sengaja atau tidak tahu, sepertinya lumayan banyak. Jelasnya, perbuatan dosa yang dilakukan lebih rawan disengaja, tentu dalam keadaan tahu dan sadar.

Apakah orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak bisa terjadi kepada orang yang pintar agama (alim)? Tidak menutup kemungkinan bisa terjadi. Karena orang yang alim bisa saja hanya sekedar mengetahui hukumnya tapi tidak menyadarinya (tahu hukum tapi tidak sadar hukum). Artinya, kepintaran ilmu agama tidak menjamin akan menjaga dirinya untuk menghindar dari perbuatan dosa, justru kadang kepintarannya yang menjadi pembenar melakukan dosa. Ini bagi orang yang hanya pintar agama dalam ranah syari’atnya.

 Terlepas dari orang yang pintar agama atau tidak, sesungguhnya orang yang melakukan dosa, ada yang melakukan dosa dan mengabaikan atau tidak perduli dengan dosa yang dilakukan. Ada yang melakukan dosa dan merasa berdosa tapi sulit menghindarinya. Bahkan, ada yang melakukan dosa dan ketika melakukan dosa dia sadar dan ingat kepada Allah.

Melakukan dosa –memang- merupakan sesuatu yang keji. Namun, sebenarnya ada sisi positif yang bisa diambil hikmahnya. Mungkin hal ini bagi orang yang melakukan dosa, dia sadar akan dosanya. Artinya, melakukan dosa membuat dia merasa dirinya hina. Merasa dirinya hina karena melakukan dosa lebih baik dari pada melakukan ibadah tapi membuat dirinya sombong, merasa yang paling suci dari orang lain, atau merasa sudah berhak mendapatkan surga.

Namun, merasa hina yang keterlaluan bisa terjebak pada merasa tidak pantas untuk mendekatkan diri pada Allah. Semisal, karena dirinya penuh dosa, lantas merasa tidak pantas jika berupaya dekat pada Allah. Mungkin ini disamakan dengan orang yang merasa bersalah pada saudaranya. Karena merasa bersalah akhirnya dia menghindar, tidak mau mendekat.

Paradigma seperti itu salah. Allah tidak pernah menutup pintu taubatnya bagi hamba yang hendak datang pada-Nya untuk mengetuk pintu ampunan-Nya. Dalam hadits qudsi Allah menyatakan keterbukaan pintu taubatnya bagi hamba-Nya, “Wahai anak Adam, selama kau berdoa dan berharap kepadaKu, Aku mengampunimu atas apa yang telah kaulakukan dan aku tidak peduli”.

Pernyataan Allah di atas merupakan keluasan kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak melakukan taubat. Memang, orang bertaubat ada yang langsung berhenti tidak melakukannya kembali. Ada yang masih saja melakukan meski jarang-jarang. Mungkin ini masih proses. Ada yang masih sangat lemah untuk meghindarinya, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan. Ada orang yang sadar ketika melakukannya, tapi dia tidak bisa meninggalkannya. Inilah orang yang sadar tapi tidak mampu menjalani kesadarannya.

Tinggalkan Balasan