Sifat sombong yang sebenarnya adalah sebagaimana sabda Nabi. Nabi memberi standar orang yang sombong adalah,
جامع الأحاديث – (ج 15 / ص 447)
الكبر من بطر الحق وغمط الناس (أبو داود ، والحاكم عن أبى هريرة . الطبرانى عن سواد بن عمرو الأنصارى)
“Menolak kebeneran dan meremehkan manusia”
Begitulah standart orang dikatakan sombong. Jadi, meskipun pakaiannya sederhana seperti orang tawadhu’ tapi dalam hatinya berkata pelan-pelan, “Saya lebih baik dari orang lain, karena saya berpenampilan sederhana”.
Sudah jelas, orang sombong itu tidak terletak pada penampilannya, melainkan terletak pada sifat keangkuhan berupa menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Menolak kebeneran biasanya dilakukan oleh orang yang merasa dirinya lebih pintar, sehingga kebenaran yang datang dari orang lain dianggap salah, masih lebih benar dirinya sendiri. Meremehkan orang lain juga bagi orang yang merasa dirinya lebih tinggi, kaya, kuat, hebat, dan seterusnya, sehingga orang lain tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dirinya.
Jadi, orang yang berpenampilan semewah apapun jika tidak memiliki sifat tersebut, tidak termasuk dalam standart sombong. Begitu juga, orang yang berpenampilan sesederhana atau bahkan secompang-camping apapun jika di dalam hatinya ada sifat tersebut, dialah yang dikatakan sombong.
Tentang penampilan, tidak jarang orang tertipu dengan penampilan. Artinya, menilai orang lain dengan melihat penampilannya. Ketika penampilannya baik dinilai baik. Sebaliknya, ketika penampilannya buruk dinilai buruk. Sehingga, tidak jarang juga menilai baik dan buruknya orang lain dengan mengaitkan penampilannya. Semisal ada orang menggunakan imamah (surban), ketika dia memiliki kesalahan, menyalahkan dia dengan menyebut-nyebut imamah. Contoh, “Ah, orang itu meskipun menngunaakan imamah, tapi kelakuannya gak beres”. Imamah itu sunnah Nabi. Jadi, jangan menyebut imamah ketika ingin menyalahkan orang lain. Sebut saja kesalahan orang tersebut. Karena khawatir, imamah yang dia kenakan hanya sebagai tameng untuk menutupi kesalahannya di depan orang-orang. Menurutnya, ketika dia mengenakan imamah, dia menduga bahwa orang lain menganggap dia baik, semisal dalam dugaannya, “Ya, gak mungkin dia berbuat begitu, dia kan selalu mengenakan surban, mana mungkin dia berani berbuat begitu, apa gak malu sama surbannya”.
Alhasil, penampilan tidak menjadi bahan penilaian untuk mengatakan orang lain sombong. Jangan menilai orang lain dari zhahirnya. Ketika menilai orang lain dari zhahirnya, maka sedikit kesempatan dan kemungkinan untuk menemukan orang yang baik. Bagaimana bisa menemukan orang yang baik, jika melihat orang lain sudah menghindar karena secara zhahir sudah dinilai tidak memiliki sifat yang baik. Karena ada orang yang benar-benar baik tapi dia menutup kebaikannya dengan beberapa kelakuan yang dinilai orang secara zhahir buruk. Banyak orang saleh atau wali menutup kesalehan dan kewaliannya dengan kelakuannya yang menurut orang banyak salah dan keliru. Sehingga, menurut orang-orang, jangan kan dikatakan saleh atau wali, dikatakan baik saja tidak mungkin.
Begitulah orang yang bener-benar baik, bukan orang yang mengaku atau berpura-pura baik. Orang yang sering kali mengaku baik atau -apalagi- berpura-pura, dia orang yang tidak baik. Kalau orang yang sering kali menyebutkan kebaikannya, dialah yang lebih mungkin dikatakan sombong.