[Cerpen] Seribu Rupiah untuk Ibu

0
1265

Aku berjalan cukup jauh. Aku tak tahu di apotek mana harus kuberikan uang ini. Hari Minggu yang lalu aku mengikuti lomba baca puisi tingkat kabupaten. Aku mendapat juara ke-2. Yah, mungkin bagi sebagian orang itu merupakan prestasi yang biasa saja tapi bagiku ini adalah prestasi yang sangat aku banggakan. Baru pertama kali aku mendapat kesempatan untuk mengikuti lomba. Aku mewakili sekolahku namun ini bukanlah kehendak sekolah. Aku mendaftarkan diriku sendiri tanpa didampingi oleh guru sekolahku. Bahkan aku membayar biaya pendaftaran dengan uangku sendiri hasil dari mengerjakan PR temanku.  Mungkin sekolah pun tak tahu aku mengikuti lomba ini.

2 hari berlalu. Ini merupakan hari yang aku nantikan. Betapa tidak? Aku begitu menantikan hari sekolah. Rasanya, aku ingin sekali memberi tahu kepada teman-temanku bahwa aku mendapat juara puisi. Tapi apa daya, mereka pasti tidak mempercayaiku. Aku tak pernah diikutkan dalam pelatihan lomba apa pun di sekolah. Ya, mungkin karena aku memang bukan termasuk orang berpotensi di mata guru dan teman-temanku. Kali ini aku membayangkan ketika kepala sekolah menyebut namaku di penghujung upacara, kemudian mengumumkan bahwa aku menjuarai lomba puisi, setelah itu beliau memberiku uang atas prestasiku, dan uang itu tentu akan aku belikan obat untuk ibuku.

Ketika aku sedang dalam lamunan tiba-tiba,

“Heiii Ziq. Ngapain ngelamun?” tanya Andi sambil menepuk pundakku.

“Eh hadiah.” Tanpa sadar aku mengucapkan kata hadiah. Padahal biasanya aku tidak latah seperti ini.

“Eeeh? Hadiah? Kenapa kamu, Ziq? Kamu dapet hadiah? Traktir, dooong!” Andi mencoba menggodaku.

“Hadiah apaan? Boro-boro, Ndi. Kalau iya dapet juga dapetnya dari mana?” aku menjawab spontan.

“Waaah Haziq. Matamu tak dapat berbohong” Kata Andi dengan wajah serius dan matanya agak sedikit menonjol melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ya kau benar, Andi. Mataku tak dapat berbohong. Aku memang telah mendapatkan hadiah. Jumlahnya besar bagiku untuk hari-hari yang biasa namun kali ini jumlah itu kurang. Aku masih harus mencari seribu ribu lagi agar aku bisa membeli obat untuk ibu.

Sepulang sekolah, matahari begitu terik. Sejujurnya perut ini merasakan lapar yang teramat sangat. Kulihat uang hadiah lomba puisi, kemudian kuhitung. Jumlahnya masih tetap lima puluh ribu rupiah. Haaah.. sudah beberapa hari ini setelah aku menjuarai lomba puisi, guru kelas tak pernah memberi PR. Itu membuatku begitu tersiksa mencari selembar uang seribu untuk melengkapi uang hadiah lomba puisi menjadi lima puluh satu ribu rupiah. Harga obat untuk ibu adalah lima puluh satu ribu rupiah. Betapa tidak membuatku tersiksa? Aku biasanya mendapat penghasilan dari PR itu. Aku mengerjakan PR temanku agar aku bisa membeli obat untuk ibu. Kali ini pun aku tersiksa. bukan tersiksa karena tidak ada PR tapi aku tersiksa karena lapar di perutku sudah sangat sulit untuk kutahan. Dalam hati ingin sekali rasanya uang lima puluh ribu rupiah itu kupakai sebagian untuk membeli es kelapa dan nasi kucing yang mungkin harganya tak akan lebih dari lima ribu rupiah. Jika itu terjadi, darimana nantinya aku mendapat uang enam ribu rupiah untuk dapat membeli obat ibu? Kembali kuurungkan niatku.

Setelah sekian lama berjalan, matahari yang tadinya begitu terik, kini ia bersembunyi, bahkan hampir tak terlihat. Hanya awan mendung yang terlihat. Kupercepat langkahku agar aku lekas sampai ke rumah. Setiap hari aku memang berjalan kaki dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah. Jarak rumah dan sekolahku bisa dikatakan jauh. Butuh waktu tempuh sekitar satu setengah jam dengan berjalan santai.

Tak berapa lama dari aku mempercepat langkah, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya hingga tak memungkinkan bagiku untuk melanjutkan perjalanan. Aku ingat, tak jauh dari tempatku berada sekarang ada sebuah masjid, Al-huda namanya. Aku pun bergegas untuk bisa sampai di masjid itu dan akhirnya sampai. Aku pun memutuskan untuk menunggu hujan reda di dalam masjid. Kutunggu dari ashar sampai magrib, hujan tak kunjung reda. Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di masjid. Sungguh rasa lapar ini begitu membuatku lemah hingga membuat badan ini gemetar. Tapi ketika teringat ibu, aku merasa menjadi lebih kuat. Aku memang harus kuat. Aku harus bisa mencari uang seribu itu. Aku harus sekolah besok.

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah dari masjid, tempat aku menginap tadi malam. Perjalanan terasa lebih sulit dari biasanya. Perjalanan terasa lebih lama dari biasanya aku berangkat dari rumah. Inilah perjuangan. Aku harus bisa, aku harus kuat, demi menjadi anak yang shaleh dan berbakti serta berilmu, untuk membanggakan orang tua, terutama ibu.

Kulihat dari kejauhan, gerbang sekolah hampir dekat. Seperti biasa, di samping gerbang banyak anak-anak tim keamanan yang sedang bertugas mengawasi para siswa. Sesampainya di dekat gerbang, tiba-tiba salah satu adik kelasku memanggilku.

“Kak Haziq maaf, kenapa kakak memakai seragam putih biru sedangkan hari ini adalah hari Rabu?” tanya adik kelasku yang tak lain dia adalah anggota OSIS yang bertugas menjaga kedisiplinan di sekolah.

Aku berpikir sejenak kemudian aku menjawab, “maaf saya lupa.”

“Silakan ke arah sana untuk melakukan push up satu seri.” Kata adik kelasku. Aku pun pergi ke tempat yang dimaksud adik kelasku. Kulihat di sana tak banyak orang yang dihukum. Hanya ada sekitar sepuluh orang. Aku pun mengambil posisi push up tapi tiba-tiba, ada apa ini? tanyaku dalam hati. Aku merasakan badanku begitu gemetar. Terutama tanganku. Aku ingat, aku belum makan dari kemarin siang. Ingin rasanya berkata kepada petugas disiplin, dek saya izin tidak melakukan push up hari ini,mungkin besok saya akan melunasi push upnya. Tapi apa daya, hal itu tidak mungkin, karena mereka belum tentu langsung mempersilakan, malah mungkin lebih dipersulit lagi. Semoga yang aku lakukan ini menjadi ibadah. Keringat dingin sudah mulai keluar. Apa yang harus aku lakukan? Aku menangis dalam hati. Tangan-tangan ini seharusnya kuat untuk melakukan push up 5 seri yang satu serinya adalah sepuluh. Seharusnya tangan ini kuat menahan beban tubuh. Kukerahkan semua tenagaku agar aku bisa melaksanakan hukuman atas kelalaianku.

Bel pun berbunyi bertepatan dengan selesainya push up-ku. Kutahu kini tak hanya perut yang dirasa sakit namun kepala pun terkena imbasnya. Sangat sakit. Kutahan hingga aku mampu berjalan menuju kelasku. Sesampainya di kelas, aku langsung duduk.

“Ziq? Ente kenapa? Pucet amat.” Kata Andi.

“Iya Ziq” teman-teman yang lain mengiyakan perkataan Andi. Aku hanya tersenyum kepada mereka.

Pembelajaran berjalan sudah satu jam lamanya. Ini merupakan pelajaran yang paling aku suka. Pelajaran Bahasa Indonesia. Namun kali ini aku tak begitu konsentrasi. Aku hanya berkonsentrasi kepada betapa sakitnya perut ini. Ini bukan pertama kalinya aku merasakan sakit seperti ini, namun ini merupakan yang paling aku rasakan lebih sakit dari yang sebelumnya. Setelah sekitar satu jam lebih tiga puluh menit pembelajaran, tiba-tiba salah seorang guru BK masuk ke ruangan. Kemudian berbisik kepada guru Bahasa Indonesia. Kemudian guru BK tersebut berbicara kepada semua murid,

“Kepada yang bernama Muhammad Haziq, harap ikut dengan ibu ke ruang BK.” Yaa Allaah, betapa kagetnya diri ini. ada apa kali ini? tanyaku dalam hati. Aku pun berdiri dan mengikuti guru BK untuk menuju ruang BK. Kembali berjalan seperti ini agak sulit bagiku. Rasanya sulit untuk menyeimbangkan badan. Untungnya ruangan BK tak begitu jauh dari kelasku. Sesampainya di ruangan BK, di sana ternyata tak hanya ada satu guru tapi ada sekitar 3 orang guru. Aku kaget. Kesalahan apa lagi yang aku lakukan hari ini? Kemudian aku dipersilakan duduk di tempat yang tersedia. Salah satu guru pun bertanya padaku,

“Kemarin kamu pergi kemana?” tanyanya. Aku terdiam. Berpikir, mengapa guru ini bertanya seperti itu?

“Haziq, kemarin Haziq pergi kemana?” tanya guru yang lain.

“Saya” aku bingung dengan pertanyaan guru-guru. Apa yang dimaksud kemana? Kemana ketika jam berapa? Seingatku kemarin aku tidak kabur dari sekolah.

“Haziq tidak pulang ke rumah ya?” tanya guru BK.

Setelah mendengar pertanyaan guru BK baru aku mengerti pertanyaan guru-guru.

“Maafkan saya bu. Tapi saya tidak pulang ke rumah dengan beberapa alasan.” Jawabku.

Tiba-tiba datang seseorang dari balik pintu, kemudian salah satu guru berkata

“Haziq, orang tuamu datang mencarimu. Dan kami guru-guru pun khawatir akan keberadaanmu kemarin. Kemarin kamu pergi kemana?”

Aku melihat sosok yang datang itu ternyata ibuku. Sungguh, aku tak sanggup. Tak sanggup melihat tubuh ibu mencariku dengan penuh kekhawatirannya. Aku belum bisa membelikanmu obat, bu. Maafkan aku, Bu. Sungguh anak seperti apa aku ini hanya mencari uang seribu rupiah pun sulit. Sungguh aku tertunduk, tak sanggup melihat ibu dengan segala ketidakmampuanku membeli obat untuknya. Tiba-tiba ibu memelukku di depan guru-guru dengan terisak,

“Haziq, ibu khawatir terhadapmu, Nak. Kemarin kamu kemana? Ibu khawatir. Ibu tak memberimu uang jajan sedikitpun. Kamu sudah makan atau belum? Kemarin kamu kehujanan atau tidak? Kemarin…” ibu tak melanjutkan perkataannya. Aku tak mampu menahan air mata. Sungguh kasih sayang ibu lah yang membuatku begitu kuat menjalani semua ini. aku hanya menjawab pertanyaan ibu dengan menangis. Selama ini, hanya karena ibu lah aku menangis. Aku tak malu menangis untuk ibu. Badan ini semakin gemetar. Setelah agak lama, kami pun berbincang-bincang bahkan dengan guru-guru yang lain. Akhirnya ibu pun pulang, dan sebelum pulang ibu memberikan sesuatu kepadaku. Ternyata singkong rebus untuk aku makan. Aku tersenyum, dan berkata dalam hati, terima kasih, bu.

Setelah ibu pulang, salah seorang guru bertanya padaku,

“Haziq, kamu menjuarai lomba puisi? Kami bangga atas prestasimu. Kenapa kamu tidak memberi tahu kepada sekolah? Kami mengetahui hal ini dari Bu Lia, guru Bahasa Indonesia yang kebetulan berteman dekat dengan juri lomba puisi yang kamu ikuti. Nah atas prestasimu, kami pihak sekolah akan memberimu hadiah.”

“Terima kasih, Bu, tapi saya tidak mengharapkan hadiah, Bu” kataku.

“Tidak apa-apa Haziq. Anggap saja ini adalah pengganti uang pendaftaranmu.” Kata guru yang lain. Aku menghela napas. Kemudian berkata,

“Baiklah kalau begitu, bu. bolehkah saya meminta jumlah dari uang pengganti itu, Bu?” tanyaku agak sungkan.

“Tentu saja boleh, Haziq. Selama itu masih dalam batas kewajaran.” kata guru BK dengan sedikit bercanda.

Aku kembali menghela napas.

“Saya meminta hadiah uang itu sebesar seribu rupiah, Bu” kataku.

“Seribu rupiah? Kenapa hanya seribu rupiah?” tanya guru BK.

Aku tersenyum. Guru BK dan guru-guru yang lain pun mengerti bahwa aku tidak ingin menjawabnya. Akhirnya, guru BK memberikan amplop yang di dalamnya adalah hadiah untukku yaitu uang sebesar seribu rupiah. Betapa bahagianya. Sepulang sekolah aku langsung pergi ke apotek. Kubelikan obat untuk ibu.

Di rumah, kudapati ibu sedang di dapur. Ku perhatikan ibu di balik pintu dapur. Tak terasa air mata mengalir. Tiba-tiba ibu menoleh ke arahku. Cepat-cepat kuhapus air mata. Lalu kudekati ibu dan aku pun berkata,

“Bu, Alhamdulillaah Haziq hari ini dapat rejeki. Jadi Haziq membelikan obat untuk ibu.” Ibu menatapku lalu berkata,

“terima kasih nak. Sebenarnya ibu tidak perlu obat. Yang ibu perlukan adalah Haziq menjadi anak yang shaleh serta bermanfaat untuk orang lain. Nanti obatnya ibu minum.” Ibu tersenyum. Aku pun mengangguk sambil menyerahkan obat kepada ibu.

Pagi hari berikutnya, aku pun pergi ke sekolah sekitar jam lima subuh. Sekitar jam setengah tujuh, aku sampai di sekolah. Aku langsung pergi ke kelas. Ketika baru saja sampai di kelas, tiba-tiba terdengar sebuah pengumuman.

“Seluruh Siswa diharapkan untuk kumpul di lapangan.”

Aku pun bergegas menuju lapangan. Berbaris di antara teman-temanku. Kepala sekolah memulai pembicaraan. Membahas tentang kebersihan sekolah yang meningkat di minggu ini. Sekitar 15 menit kepala sekolah berbicara di depan. Di akhir, tiba-tiba bapak kepala sekolah memanggil namaku untuk maju ke depan. Ada apa ini? gumamku dalam hati. Lalu aku berjalan ke depan dengan agak ragu, aku takut orang yang dipanggil kepala sekolah itu bukan aku. Tapi ya sudahlah.

“Saya Pak?” tanyaku ketika sampai di barisan depan.

“Iya kamu, ayo sini mendekat.” Aku pun mendekat menuju kepala sekolah.

“Alhamdulillah, di kejuaraan kabupaten kemarin, Haziq menyumbang salah satu piala untuk sekolah kita.” Kata kepala sekolah. Aku kaget.

“Dengan ini bapak hadiahkan kepadamu sebuah sepeda agar kamu lebih giat lagi pergi ke sekolah.”

Aku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Senang? Tentu aku sangat senang. Semua teman-temanku bertepuk tangan. Aku tidak menyangka hari ini datang.

Kali ini aku pulang menggunakan sepeda. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah. ingin kubagi rasa bahagia ini kepada ibu.

Sesampainya di rumah, aku memarkir sepedaku di halaman rumah. aku heran, kenapa pintu rumah terbuka karena biasanya ibu tak membiarkan pintu rumah terbuka begitu lama. Aku bergegas menuju pintu rumah.

“Assalaamu’alaikum bu, Haziq pulang” tidak ada suara ibu menyahut.

“Bu?” tetap suara ibu tidak terdengar. Aku berlari menuju kamar ibu, pikiranku sudah berprasangka buruk terhadap keadaan ibu.

“Ibuuu” dengan perasaan khawatir aku terus memanggil ibu. Ibu tidak ada di kamar. Aku mencari ke dapur, tetap ibu tak ada. Aku bingung. Aku khawatir. Aku berlari keluar mencari ibu ke belakang rumah. namun tetap tak kutemukan sosok ibu.

“Haziq cari ibu?” Kata bu Aini, tetanggaku, secara tiba-tiba.

“Iya bu.” dengan wajah khawatir

“Ibumu tadi ada yang membawa.

“Ha? Siapa bu? Ibu kenal orangnya?”

“sayangnya ibu tidak kenal dengan orangnya. Namun tadi beliau titip pesan untuk Haziq. Katanya Haziq bisa menyusul ibu ke alamat ini.” Bu Aini menyerahkan secarik kertas yang berisi alamat. Tanpa pikir panjang aku langsung pamit kepada Bu Aini dan pergi menggunakan sepedaku ke alamat yang tertera di kertas itu.

Ternyata, alamat itu adalah alamat sebuah puskesmas. Ketika sampai di puskesmas, aku langsung masuk ke puskesmas. Siapa orang yang membawa ibuku? Tiba-tiba ada perempuan paruh baya menuju ke arahku.

“Haziq ya? Saya mohon maaf membawa ibumu tanpa izinmu. Saya istri dari ketua DKM Al-Huda. Dan ketika saya dengan ibu-ibu yang lain membersihkan masjid, saya menemukan ini.” Kata ibu tersebut sambil menyerahkan sebuah buku. Itu adalah buku matematikaku yang tertinggal di masjid, dan disana aku sempat menulis tentang keadaan ibuku dan doa-doaku kepada-Nya untuk kesembuhan ibu. Aku tak kuasa menaha air mata ini.

“Terima kasih bu.” ibu tadi hanya tersenyum.

Aku melangkah menuju ruang dimana ibu diperiksa. Ibu melihat ke arahku. Aku berlari dan kupeluk ibu erat-erat.

“Semua karena kesabaran, ibu. Sehingga Ia memberikan kita kesempatan.” Ucapku dengan berlinang air mata.

Oleh: Nurul Syifa Fauziah, Subang Jawa Barat, Img: EREmLPvLugk

Tinggalkan Balasan