Apa yang terjadi setiap kali menghadapi awal Ramadlan dan Syawal? Macam-macam lah. Kaum Hawa sibuk memikirkan menu buka puasa, sebagian lagi mulai melirik mukena model baru untuk dipakai shalat tarawih, dan sebagainya. Sedangkan kaum Adam seringkali memikirkan duit buat penuhi kebutuhan keluarga, dan seterusnya. Beda lagi dengan anak-anak, mereka ramai-ramai membakar mercon buat hiburan setahun sekali.
Sementara nan jauh di sana. Di Jakarta. Gedung Kementerian Agama RI. Bapak-bapak, kiai, ustadz, dan para pakar falak, ramai-ramai musyawarah penentuan awal Ramadlan dan Syawal. Warna yang seringkali muncul dalam menu Ramadlan Syawal adalah ormas A puasa hari Selasa dan ormas B puasa hari Rabu, misalnya. Begitu pula, ormas A berhari raya di hari Jum’at dan ormas B berhari raya di hari Sabtu. Itulah hidangan yang sering disajikan setiap tahun.
Bagaimana sebenarnya kok bisa beda? Paling tidak ada dua hal penyebab perbedaan itu: Pertama, perbedaan alat penentu awal Ramadlan dan Syawal. Si A menggunakan Hisab yang jauh sebelumnya sudah ditentukan, sementara yang B menggunakan ru’yah yang baru diketahui pada saat maghrib di ujung-ujung bulan Sya’ban dan Ramadlan,; Kedua, bagi yang sama-sama menggunakan hisab, atau boleh jadi yang satu menggunakan hisab semata dan satunya menggunakan hisab yang ditriangulasikan pada data survey ru’yah di akhir bulan Sya’ban dan Ramadlan, mereka berbeda di dalam menentukan kriteria hilal yang dapat dijadikan pedoman di dalam mengawali puasa dan mengakhirinya. Si A mematok kurang dari 1 derajat sudah dapat disebut hilal sehingga ia mewajibkan berpuasa ketika ketinggian hilal kurang dari 1 derajat, sedangkan si B mematok 2 derajat baru disebut hilal, sehingga kurang dari 2 derajat ketinggian hilal tidak dapat dijadikan pedoman untuk berpuasa dan mengakhirinya. Apalagi kurang dari 1 derajat.
Bagaimana menyikapi perbedaan ini? Rasulullah saw. hanya bersabda صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته (berpuasalah karena kamu melihat hilal dan berhentilah puasa untuk berhari raya karena kamu juga melihat hilal). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, Rasulullah tidak menentukan derajat ketinggian hilal. Oleh sebab itu, maklum jika di kalangan ormas Islam berbeda di dalam menilai hilal sebagai awal puasa dan akhirnya. Hal ini sama dengan perintah Allah membasuh kepala pada waktu berwudlu’, Dia hanya menyuruh وامسحوا برؤوسكم (usaplah kepalamu). Sampai batas mana yang harus dibasuh tidak dijelaskan secara rinci oleh Allah. Oleh sebab itu, terjadilah perbedaan antara kelompok Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Malikiyah. Syafi’iyah mengatakan cukup membasuh sehelai rambut saja, bahkan sebagian helai rambutpun sah. Hanafiyah mengatakan, mengusap kepala itu harus seper empat kepala. Terakhir Malikiyah berkomentar, mengusap kepala ya harus seluruh kepala.
Intinya, perbedaan itu masalah furu’iyah yang tidak perlu diperuncing. لاينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه (hal yang masih diperselisihkan karena berdasarkan dalil zhanni tidak perlu dinahimungkari, yang perlu dinahimungkari itu adalah persoalan yang sudah disepakati di kalangan umat Islam). Awal Ramadlan dan Syawal tidak perlu diperuncing karena itu mukhtalaf fih (khilafiyah-furu’iyah), yang perlu diperuncing adalah umat Islam yang tidak berpuasa karena kewajiban berpuasa sudah mujma’ ‘alaih (disepakati) di kalangan umat Islam secara dlaruri. Wallahu A’lam bi al-shawab
Author: Asmuki, Dosen Ma’had Aly Sukorejo Situbondo, Img: metrotvnews