Berbeda dengan kondisi para pengajar di tanah air, di negeri ginseng ini sangat dimanja. Gaji yang diterima sangat menggiurkan, bahkan mengalahkan profesi dokter. Bentuk penghargaan yang demikian tinggi bagi terciptanya generasi di masa mendatang.
Tidak berlebihan kalau kemudian Pemerintah Kota Surabaya menggandeng Busan Korea Selatan dalam sejumlah sektor, termasuk sistem transportasi kota dan pendidikan. “Kerjasama ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan, namun kian diintensifkan saat Ibu Risma menjadi Walikota Surabaya,” kata Drs Matrai Faridhin, MM.
Bapak Matrai, sapaan akrabnya menceritakan betapa Korea Selatan, khususnya Busan memiliki perhatian yang demikian tinggi kepada pendidikan. “Karena mereka tidak memiliki sumber daya alama yang melimpah seperti Indonesia, maka menggenjot generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagai solusinya,” tandas bapak kelahiran Mojokerto, 15 Juni 1963 ini.
Untuk bisa mengikuti Surabaya city government principal capacity development program ini, kepala sekolah di SDN Kertajaya 7 Surabaya ini harus bersaing dengan ratusan peserta lain. Ayah dua anak ini juga harus melewati tes kemampuan Toefl yang dikoordinir oleh kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). “Untuk psikotes penyelenggaranya dari Universitas Airlangga Surabaya,” terangnya.
Usai lolos seleksi, ia bersama 22 guru yang lain akhirnya harus dikarantina selama dua minggu di Rumah Bahasa, Jalan Pemuda Surabaya untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan pendalaman Bahasa Korea Selatan sehari-hari.
Perhatian Pemerintah
Setelah menempuh perjalanan udara selama sekitar tujuh jam dan ditambah kereta super cepat kurang lebih tiga jam, akhirnya rombongan tiba di Busan. Dalam banyak kesempatan melakukan kunjungan, sangat terlihat bahwa antusias para siswa untuk belajar demikian tinggi. Hal ini juga ditunjang dengan kepedulian para orang tua. “Dengan kesadaran bersama ini, maka suasana belajar menjadi mendukung,” tandas dosen di sejumlah perguruan tinggi ini.
Hal yang menyangkut karakter dasar sudah demikian menjadi jati diri. Menjaga kebersihan diri dan sekolah, sudah menjadi kesadaran kolektif. “Bahkan setiap sekolah hanya dibantu oleh satu penjaga kebersihan,” ungkap alumunus pasca sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mitra Yogyakarta ini. Hal tersebut karena masing-masing peserta didik telah memiliki kesadaran tinggi untuk bisa menjaga kebersihan lingkungan.
Demikian juga hormat mereka kepada guru juga demikian tinggi. “Sejak awal, para siswa telah ditanamkan penghormatan kepada raja, orang tua dan juga guru,” tandasnya. Sehingga hal ini menjadi watak dalam tindakan keseharian mereka.
Perhatian pemerintah kepada ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan juga sangat tinggi. “Mereka sadar bahwa nyaris tidak ada yang bisa diandalkan dari ketersediaan sumber daya alam. Karenanya, yang harus dipacu adalah inovasi dalam teknologi yang dapat didapat dari perhatian yang demikian intensif kepada pendidikan,” ungkapnya.
Untuk sekolah dari tingkatan SD hingga SLTA, pemerintah menggratiskan. Tidak ada biaya yang harus dikeluarkan para siswa dan orang tua bagi pendidikan anak-anaknya. Semua dapat diterima secara cuma-cuma alias gratis.
Guru Bergaji Tinggi
Demikian juga sarana pendidikan juga demikian sangat diperhatikan. Seluruh ruangan sekolah memiliki jaringan internet yang dapat diakses secara bebas oleh siswa. “Namun pihak pemerintah telah melakukan blokir terhadap sejumlah situs yang tidak mendidik seperti pornografi, kekerasan dan sejenisnya,” katanya.
Ketersediaan media pembelajaran lainnya juga dilakukan seperti ruangan kelas dengan ditunjang teknologi yang bisa menunjang semangat belajar. Ada LCD proyektor, juga materi pelajaran yang disediakan dalam bentuk e-book. Dengan demikian, setiap siswa memiliki smartphone dan gadget yang bisa menunjang kemudahan tersebut.
Jadual belajar juga demikian lama. “Kalau tingkat SD, para siswa pulang jam empat sore,” terangnya. Bagi para wali murid yang memiliki perhatian kepada kemampuan sang anak, masih mengikutkan les baik secara privat maupun di sejumlah lembaga. Aakan tetapi jadual belajar bagi mereka yang telah menginjak SLTA, maka pulang dari sekolah hingga jam sebelas malam!
Dengan padatnya jadual belajar bagi para siswa ini membawa konsekuensi bahwa nyaris usia belajar mereka dihabiskan di bangku sekolah. Sedangkan yang jadualnya longgar, masih diberikan tambahan les pelajaran. “Sehingga para siswa tidak sampai melakukan tindakan negatif seperti kenakalan remaja maupun hal lain yang berujung merugikan masa depannya,” katanya.
Yang juga tidak kalah penting dan membedakan dengan banyak negara di dunia adalah perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru. “Gaji guru di negara ini sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia,” terangnya. Rata-rata para guru digaji 40 juta dalam sebulan. Ini tentu belum termasuk sejumlah fasilitas dan tunjangan yang lain.
Bahkan dengan gaji tersebut, bisa mengalahkan profesi dokter yang di Indonesia demikian diburu. “Gaji dokter kecil karena di Korea jarang ada orang sakit,” katanya. Pola hidup teratur, menjaga pola makan dan kehidupan serta perhatian orang tua akhirnya membuat penduduk negeri ini jarang ada masalah dengan kesehatan. Sejumlah bangunan rumah sakit di beberapa kota, ukurannya juga kecil.
Penduduk Korea Selatan memang gemar makan sayur dan menghindari makanan siap saji. “Untuk nasi juga ada, malah kualitasnya jauh lebih bermutu daripada di Indonesia,” kata Matrai. Pola makan teratur dan juga menjaga komposisi asupan gizi, menjadi kata kunci bagi kondisi fisik yang prima.
Selama sebulan melakukan kunjungan yakni 26 Agustus hingga 26 September memberikan kesan mendalam bagi para peserta. Bahwa investasi terbesar dan terbaik adalah pendidikan yang diimbangi karakter luhur bagi para masyarakat. Bukankah hal ini telah diingatkan bahwa Allah akan mengangkat derajat mereka yang beriman dan berilmu? Kalau umat Islam dan bangsa Indonesia masih mencari bentuk, mereka telah berlari menjemput harapan. (s@if)