Cara Pesantren “Sang Kiai” Menjawab Tantangan Jaman

0
970

 

Masih ingat tayangan film “Sang Kiai”? Di pesantren ini shooting film kebanggaan santri serta bangsa Indonesia dilakukan. Dengan sejumlah terobosan, pesantren mampu bertahan dengan tidak meninggalkan model salaf.

Tidak seperti pesantren kebanyakan, Pondok Pesantren Salafiyah yang berlokasi di Dusun dan Desa Kapurejo Pagu Kediri ini tidak memiliki papan nama “Sejak awal, pondok kami memang tidak ada papan nama,” kata pengasuh pesantren, KH Ahmad Najmuddin.

Sehingga bagi siapa saja yang ingin bersilaturahim dan melihat dari dekat keberadaan pesantren, maka harus mencatat alamat dari kampung dimana pondok berada. Kami juga harus bertanya kepada sejumlah kalangan agar bisa sampai ke lokasi. Namun saat sudah berada di wilayah Kecamatan Pagu, maka dapat dipastikan seluruh penduduk bisa menunjukkan lokasi pesantren berada.

Pesantren Masyarakat

Keunikan lain dari pesantren ini adalah tidak memiliki tembok pembatas bagi para santri. Terkesan, para santri putra dan putri “bebas” berinteraksi dengan penduduk dan kawasan sekitar. “Sejak awal, pesantren memang didesain untuk menjadi bagian dari masyarakat,” kata Ketua Yayasan Pondok Pesantren Salafiyah Kapurejo, KH Assabiq Qusairy, SH menimpali.

Sehingga para santri dan penduduk demikian menyatu dengan pesantren. “Ini adalah bagian dari upaya mendekatkkan pesantren dan santri dengan masyarakat, demikian pula sebaliknya,” tandasnya.

Praktis dengan system ini, para penduduk merasa memiliki kawasan pesantren. Demikian juga para santri adalah bagian dari masyarakat sekitar. “Masing-masing memiliki rasa memilki, sehingga akan berusaha menjaga nma baik,” katanya KH Ahmad Najmuddin.

Kendati terkesan bebas, namun pihak pesantren telah “memagari” para santri dengan jadual belajar yang lumayan ketat. Sejak usai shalat Shubuh, hingga malam hari, nyaris tidak ada santri yang bisa meninggalkan pesantren lantaran jadual belajar yang demikian padat. Dengan demikian para santri harus tetap mengikuti pelajaran, baik bagi mereka yang tercatat sebagai santri diniyah murni maupun yang juga sekolah formal di sekitar pondok.

Pada saat yang sama, para penduduk sekitar juga merasa menjadi pemilik pesantren. Sehingga nama baik pesantren juga menjadi tanggungjawab mereka. “Inilah kontrol sosial yang melekat di pesantren ini,” kata kiai kelahiran 6 Juni 1949 ini. Hal ini juga sebagai konsekuensi karena hampir seluruh penduduk setempat adalah alumnus pesantren ini. “Sehingga, semua saling mengingatkan,” lanjutnya.

Kesinambungan hubungan ini juga terjadi pada kegiatan keagamaan yang diselenggarakan masyarakat. Yasinan, dibaan, manakiban, istigatshah dan sebagainya selalu dikonsultasikan dan berdasarkan masukan dari pengasuh dan pihak pesantren. Demikian juga untuk mengisi kegiatan tersebut, sejumlah santri senior juga dilibatkan. “Sekaligus sebagai media untuk melatih saat para santri berinteraksi dengan masyarakat,” ungkap mantan Rais Syuriah MWCNU Pagu tiga periode ini.

Karena itu, menjadi bagian dari masyarakat dengan tanpa harus dibatasi dengan tembok penghalang bagi kegiatan para santri membawa pesan yang demikian mendalam. Bahwa kehadiran pesantren yang di dalamnya juga para santri, dewan asatidz maupun pengasuh menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Pada saat yang sama, pesantren juga menjadi “satu paket” dengan penduduk sekitar. Tidak ada sekat, penghalang dan juga pembeda antara keduanya. Dan dengan formula ini, maka antara keduanya, masyarakat dan pesantren bersinergi dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi lingkungan sekitar.

Laskar Diponegoro

Hingga kini belum ada yang bisa menguak secara pasti keberadaan pendiri dan pengasuh pertama pesantren. Yang tercatat adalah nama KH Hasan Muhyi yang mendirikan pesantren pada awal tahun 1900-an. Tentang nama pendiri, ada yang menyatakan bahwa beliau adalah laskar Pangeran Diponegoro yang sengaja menyembunyikan identitas asli agar tidak terdeteksi Belanda kala itu.

“Pencantuman nama Hasan bagi pendiri adalah upaya untuk mengelabuhi pihak kolonial Belanda agar tidak terdeteksi,” katanya. Demikian juga menjadikan Pagu yang berada di kawasan pedalaman sebagai tempat berdakwah merupakan pilihan agar bisa leluasa membina umat.

Praktis dengan mengganti nama dan juga berada di kawasan yang jauh dari keramaian menjadi faktor penentu bagi terjaganya keberadaan pengasuh dari kejaran pihak penjajah. “Karena seperti diketahui, keberadaan laskar Pangeran Diponegoro sangat ditakuti dan demikian diburu Belanda kala itu,” terang kiai enam anam dan enam cucu ini.Demikian demikian, perjalanan pesantren tidak terusik, sehingga proses belajr mengajar dapat berjalan dengan kondusif.

Hingga kini, pucuk pimpinan pesantren telah memasuki generasi keempat. Pertama adalah pendiri, dilanjutkan dengan putra-putri beliau yakni KH Ilyas dan KH M Yasir. Selanjutnya generasi ketiga adalah KH Husaeri, KH Shodiq, KH M Salik, KH Mahfudh Ilyas serta KH Ahmad Najmuddin.  Dan kini, keberadaan nama terakhir adalah generasi keempat dari kepengasuhan pesantren.

“Sebenarnya saya adalah generasi ketiga,” katanya. Namun karena dari nama-nama generasi ketiga hanya menyisakan dirinya, maka dapat dikatakan KH Ahmad Najmuddin adalah generasi keempat dari perjalanan pondok.

Yang sekarang menjadi konsentrasi pesantren adalah menjawab kepercayaan masyarakat dengan menyiapkan sejumlah terobosan. Hal dilakukan selama ini adalah dengan tetap menjaga keberadaan pesantren yang memilih model salaf.

Sejak pagi, ada sejumlah materi pendalaman kitab klasik yang dilakukan secara klasikal. “Ini adalah warisan dari KH Hasyim Asy’ari yang dulu pernah berada di sini,” katanya. Tidak berhenti sampai di situ, bagi para santri yang berminat untuk mengenyam pendidikan formal, juga disediakan madrasah yakni tsanawiyah dan aliyah. “Keduanya masih berada dalam menejemen pesantren yang lokasinya berada tidak jauh dari asrama santri,” lanjutnya.

Lembaga pendidikan formal yang berdiri sejak tahun 1998 tersebut menjadi bagian dari upaya pesantren menjawab tantangan jaman dengan tanpa menanggalkan ciri salaf seperti para pendahulu. Dan seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan kedua lembaga ternyata mampu menjadi harapan baru bagi para santri yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan formal baik di tingkat SLTA maupun prguruan tinggi. Bahkan untuk para santri yang hanya menimba ilmu di pesantren, tanpa sekolah sekalipun bisa melanjutkan kuliah ke STAIN Kediri. Hal ini berkah dari komunikasi dan pantauan kampus negeri tersebut terhadap muatan lokal yang dimiliki pesantren. (s@if)

 

Tinggalkan Balasan