Ahlus sunnah wal jamaah (aswaja) dunia sekarang menghadapi tantangan dan ancaman. Tantangan dan ancaman itu sebenarnya problem klasik yang sampai sekarang sulit untuk dicarikan titik temu. Selalu saja sejarah berulang-ulang sekalipun intensitasnya naik dan turun.
Ancaman yang dihadapi dunia kini menular ke Indonesia. Aliran transnasional yang tumbuh cepat mulai melancarkan aksi-aksinya. Gerakan aliran ini sudah merangsek ke pedesaan dan menancap hampir di kekuasaan.
Ada semacam kritik mereka terhadap corak keislaman indonesia yang diklaim masih berbau tradisi Hindu. Propaganda terus dilancarkan sehingga menumbuhkan keresahan di tengah masyarakat.
Berangkat dari masalah itu, Ma’had Aly menggelar sederet kegiatan yang bernama Kibar Ilmiah. Salah satu acara yang diadakan adalah “Tantangan Aswaja” yang diadakan kemarin, Kamis, 15 Januari 2015. Narasumber dalam acara tersebut KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Idrus Romli.
Afifuddin sekalipun agak kurang sehat, beliau mampu menyampaikan materi dengan rapi dan teratur. Salah satu hal yang beliau sampaikan adalah konsep moderasi.
Hal yang menonjol dari islam adalah sikap moderasinya. Nampaknya golongan di luar aswaja tidak terlalu toleran dengan sesama muslim yang notabenenya ada di luar sekte mereka.
Nabi dan Sahabat juga menampilkan sikap moderat kepada para “pengganggu”. Contoh moderasi yang dicontohkan Nabi kepada sahabat adalah larangan membunuh orang kafir yang telah mengucapkan syahadat. Sahabat Usamah bin Zaid membunuh orang kafir yang telah mengucapkan syahadat. Alasan dia, orang kafir mengucapkan syahadat hanya semata-mata berpura-pura saja. Kondisi perang yang berkecamuk dan terdesak memberikan indikasi kuat perkataan orang kafir tersebut hanya untuk menyelamatkan diri pada saat terdesak atau sebagai taktik saja. Namun, apa yang disabdakan Nabi? “Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau tidak? Sabda Nabi ini nampaknya sulit diterima pada kondisi perang. Karena perang bukanlah dalam kondisi ideal, sehingga siapapun bisa diampuni. Perang adalah kondisi darurat yang bisa menghalalkan segala cara. Dalam kondisi genting seperti ini, Nabi masih menyuruh memberikan sisa perasaan kepada musuh yang mengaku menyerah dan takluk. Sekalipun ada indikasi musuh hanya sekedar memainkan drama.
Pernah suatu ketika, sayyidina Ali Kw. ditanya tentang khawarij yang membangkang dan membelot kekhalifahan Sayyidina Ali. Ibnu Abdil Bar rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib:
أنه سُئل عن أهل النهروان أكفارهم؟ قال من الكفر فروا. قيل فمنافقون؟ قال: إنّ المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلا. قيل فما هم؟
قال: هم قوم أصابتهم فتنة فعموا فيها وصموا وبغوا علينا وقاتلونا فقاتلناهم
Ali bin Abi Thalib ditanya tentang ahlu Nahrawan (yaitu kahawrij), “Apakah mereka kafir?”, maka beliau menjawab, “Mereka (khawarij) lari dari kekufuran”. Maka dikatakan kepada beliau, “Apakah khawarij munafik?”, beliau berkata, “Kaum munafiq tidaklah mengingat Allah kecuali hanya sedikit”. Lantas siapa mereka?, beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah sehingga akhirnya mereka menjadi buta dan tuli dalam fitnah tersebut, dan memberontak kepada kami, serta memerangi kami, maka kamipun membunuh mereka”
Sayyidina Ali tidak mengkafirkan dan memberi label kaum khawarij munafik. Mereka masih dianggap golongan islam sekalipun mereka mengkafirkan dan membunuh orang yang membela sayyidina Ali. Perang sayyidina Ali kepada mereka hanya sekedar pertahanan diri karena mereka menyerang dan boikot kepada pemerintahan yang sah, bukan karena kepercayaan dan keyakinan mereka yang melenceng dari ajaran lurus.
Demikian sepetik ceramah ilmiah yang disampaikan khatib syuriah PBNU, KH. Afifuddin Muhajir.
Makalah beliau bisa dilihat di sini (http://mahad-aly.sukorejo.com/2015/01/kibar-ilmiah-problem-dan-tantangan-aswaja-indonesia/)