Mengembalikan Nu Pada Ruhnya

0
364

Pada tanggal 11 Januari 2015, Penulis menghadiri undangan Forum Silaturrahim Kyai dan pengasuh pondok pesantren se Jawa timur di PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Sebelum ke acara terlebih dahulu ziarah ke Makam Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Gus Dur di Tebuireng. Kemudian di lanjutkan ramah tamah antara KH. Shalahuddin Wahid, KH. A.Hasyim Muzadi dan KH. Muhyiddin Abdusshamad serta beberapa kyai di Dalem sesepuhan Tebuireng. Banyak hal yang didiskusikan, terutama kondisi Nahdlatul Ulama dan banyaknya aliran Islam yang mengganggu terhadap aqidah dan syariah Aswaja.

Setelah makan siang bersama para Kiai tersebut berangkat ke PP. Bahrul Ulum Tambakberas, untuk mengikuti Halaqah. Dalam halaqah itu pembicara pertama diberikan kepada KH. Shalahuddin Wahid. Gus Shalah menyampaikan kita harus menjaga NU agar tidak menyimpang dari tujuan para pendirinya terutama dalam menjaga Aqidah Islam Ahlussunnah wal jama’ah. NU kedepan harus bisa menjaga dan menegakkan keadilan, baik dalam bidang hukum maupun ekonomi. Menjelang usia seabad, NU perlu meneguhkan kembali posisinya sebagai lokomotif dari masyarakat sipil Indonesia. Politik kebangsaan perlu ditingkatkan dengan jalan memberikan sumbangsih pemikiran tentang masalah bangsa secara menyeluruh dan utuh.

Kemudian dilanjutkan presentasi dari KH. Muhyiddin Abdusshamad. K. Muhyiddin menuturkan tentang bahaya Wahabi dan Syi’ah. Kita harus membaca sejarah kekejaman Wahabi dan Syi’ah yang banyak membantai Uama-Ulama Sunni. Di Indonesia sudah banyak buku-buku yang mengkafir-kafirkan kiai-kiai NU, mereka sudah sangat terbuka mengkritik ajaran NU. Ketika Hadratus syaikh Hasyim Asy’ari mendirikan NU pada tahun 1926, itu adalah antisipasi dan menjaga serangan paham luar terhadap paham Aswaja. Padahal, waktu itu, Syiah masih berada dalam lingkup Persia. Begitu juga Wahabi saat itu masih ada di Saudi Arabia. “Sekarang Syiah dan Wahabi sudah berada di sekeliling kita,” kata Kiai Muhyiddin mengingatkan tentang ekspansi dua paham tersebut ke Indonesia terutama kedalam NU. Karena itu ia mempertanyakan rasa kepedulian para kiai terhadap paham Aswaja jika kini tak tergugah semangatnya untuk bangkit melawan gerakan Syiah dan Wahabi yang kini gencar masuk ke NU.

Kiai Muhyiddin juga berharap agar para pengurus NU, para kiai dan kader-kader NU untuk membaca kembali kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang ditulis oleh Hadlaratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.

Narasumber berikutnya Rais Syuriyah PBNU KH. Hasyim muzadi. Dalam presentasinya Kiai Hasyim menegaaskan bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sangat berat. Tidak hanya dalam hal ekonomi, politik dan keamanan, namun juga ideologi yang bila tidak ditangani serius akan mengancam eksistensi Negara.

Bagi Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang ini, kemunculan kelompok radikal ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah, Wahabi dan Syiah serta aliran Islam garis keras yang lain harusnya dimaknai sebagai ancaman yang harus disikapi serius oleh bangsa Indonesia, khususnya NU. Ujung dari ancaman tersebut adalah ingin menghancurkan NU karena memiliki warga yang demikian banyak,” tandasnya. Celakanya, para pemimpin NU dan juga jamaah yang dimiliki tidak melihat hal ini sebagai sebuah ancaman.

Padahal inti dari keberadaan Islam berhaluan kanan dan cenderung menyalahkan kelompok lain ini sangat membahayakan bagi keberadaan Islam ramah ala NU. Tidak itu saja, kelompok Islam kiri yang cenderung liberalis juga menjadi ancaman yang juga memperparah keadaan.
Di hadapan para kiai dan pengasuh pesantren se Jawa Timur, Kiai Hasyim menandaskan bahwa para pemimpin NU harus kembali kepada relnya. Rel NU adalah Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

Untuk menjaga NU supaya berjalan sesuai dengan relnya, dan untuk bisa mencapai posisi ideal sebagai faktor utama masyarakat sipil, NU memerlukan organisasi yang baik dan efektif sehingga mampu mengaktualkan potensi yang dimilikinya. Untuk itu tentu diperlukan tokoh puncak Syuriyah dan Tanfidziyah yang dapat mewujudkan harapan tersebut, maka forum Halaqah kiai dan pengasuh Pondok Pesantren memandang perlu menyampaikan kriteria tokoh yang akan memimpin NU antara lain ; mempunyai integritas dan amanah, ketokohan secara nasional, mempunyai wawasan kesejarahan NU dan visi tentang NU masa depan, komitmen dalam memaknai Qanun Asasi Hadaratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, istiqamah menjaga netralitas NU dalam politik praktis, mempu menjaga martabat NU, tidak mempunyai beban masa lalu dan professional.

Semoga Halaqah ini dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk kejayaan NU dan umat Islam serta bangsa dan Negara RI.

Penulis,
HM. Misbahus Salam
Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam
Sukorejo Bangsalsari Jember.

Tinggalkan Balasan