Temanmu Surgamu… Atau Nerakamu

0
792

Temanmu Surgamu… Atau Nerakamu

Manusia itu makhluk, dan makhluk nggak bisa berdiri sendiri. Dia pasti tergantung dan butuh orang lain dalam hidupnya. Termasuk dalam kehidupan sosial, nggak ada satupun manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Lha mau makan aja dia pasti butuh orang lain, kok, mau secara langsung (misalnya beli nasi telor di aa burjo) atau nggak langsung (masak nasi butuh beras, beras harus diproduksi petani, dst).

Soal interaksi juga gitu. Manusia pasti punya teman. Nggak ada manusia yang nggak punya teman, kecuali mungkin dia sosiopat atau psikopat. Bahkan Sherlock Holmes pun masih punya teman, seenggaknya sejenis John Watson.

Biasanya, sih, yang namanya teman itu udah saling tahu satu sama lain, meski mungkin belum benar-benar kenal (ingat kalau tahu dan kenal itu beda). Dan mereka terikat dalam satu atau lain jenis ikatan, entah karena perasaan, kesamaan hobi, kepercayaan, apapun. Yang jelas, ini cuma berlaku di dunia nyata. Nggak bisa diaplikasikan di jagad facebook, yang mana nggak semua (bahkan cuma dikit, sejujurnya) bener-bener punya ikatan pertemanan dengan kita.

Ada orang yang gampang berteman dengan nyaris semua orang, ada juga yang susah.  Buat yang gampang berteman, biasanya dia emang easy-going dan nggak pilih-pilih. Kebanyakan juga, kalau ngikutin kata psikologi, ekstrovert. Buat yang susah berteman, barangkali karena dia pilih-pilih siapa yang baiknya dijadiin teman dan mana yang nggak layak. Lebih banyak yang introvert juga, kayaknya.

Soal pilih-pilih teman ini menarik. Seringkali kita denger slogan-slogan soal “Jangan pilih-pilih teman” atau “Bertemanlah dengan siapa saja”. Ajakan buat berteman dengan semua kalangan, mau dia orang baik atau jelek, ustadz atau preman, normal atau homo. Yang pilih-pilih teman itu jelek, katanya. Diskriminatif, nggak bagus. Apalah.

Sekilas kedengerannya keren, emang, slogan itu. Tapi realitanya itu omong kosong.

Orang banyak boleh jadi nggak bakalan setuju, tapi realitanya, berteman pun ada etikanya. Ada aturannya. Siapa yang layak dan nggak layak dijadiin teman, semua udah ada ketentuannya dalam Islam. Sebab, nggak semua orang layak dijadiin teman.

Apa artinya Islam ini diskriminatif? Katanya Islam mengajarkan kasih sayang? Oh, ya ampun, sederhana banget cara berpikirnya.

Psikologi sederhana pun bisa bilang kalau orang itu bisa di-tuning oleh lingkungannya. Orang nggak terbentuk sendiri, dia bakalan mengikuti apa yang ada di lingkungan sekitarnya,  tempat dia biasa hidup dan berinteraksi. Dia mungkin nggak nyadar, tapi faktanya kondisi itu men-tuning dirinya menjadi ngikutin lingkungan itu sendiri. Logika manapun bisa nunjukin, kalau orang baik bisa jadi jelek di lingkungan jelek, dan sebaliknya. Nggak perlu mikir keras buat menemukannya.

Secara teknis, nggak mungkin, kan, kita mau jadi orang jelek? Pemikiran kacau, ibadah jelek, akhlak amburadul? Maka apa jadinya kalau kita berteman dengan orang-orang yang salah? Bisa kebawa jelek, jelas.

Kenapa bisa begitu? Karena kita terbiasa dengan pola pikir dan pola sikap mereka, sehingga lama-lama kita merasa itu sesuatu yang biasa dan wajar. Sudah berapa banyak kasusnya, seorang yang punya pendidikan Islam cukup baik sekalipun, ikut terbawa maksiat ketika dia memilih berteman dengan orang-orang yang salah.

Rasulullah ﷺ udah memperingatkan soal ini dari jauh-jauh hari. Dalam hadits Muttafaq ‘Alaih beliau bersabda, “Pemisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendaatkan bau asapnya yang tidak sedap”.

Imam an Nawawi menjelaskan bahwa hadits itu menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah dan orang-orang yang mempunyai sikap yang tercela.

See? Demikian Rasul mewanti-wanti umatnya supaya hati-hati dalam berteman. Biar gimana juga, seorang teman pasti akan memengaruhi temannya. Gawat kalau teman yang nggak bener itu lebih mendominasi. “Tapi, kan, aku belum tentu ikut-ikutan?” Iya kalau misalnya kuat, tapi realitanya? Rata-rata yang bilang begitu justru yang kebawa-bawa. Cuma menang retorika.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda,”Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya“. Lihat? Pemahaman kita akan Islam dan penerapannya bakalan jadi kunci apakah kita masuk surga atau neraka ntar. Kalau misal berteman sama yang agamanya jelek, maka kemungkinan besar–sangat besar, malah–agama kita juga jadi jelek. Kira-kira itu bakalan nolong atau menjerumuskan ke lobang buaya ntar di akhirat?

Ya, jadi pilih-pilih teman itu memang nggak salah. Malah harusnya gitu. Milih teman yang bisa mengantarkan ke surga. Bukan cuma sekadar teman yang ngajak senang-senang nggak jelas juntrungannya. Apalagi yang malah menyesatkan. Mau cari celaka?

Orang-orang shalih dan yang berusaha shalih lagi kurang teman sekarang. Mereka diasingkan oleh peradaban yang kurang ajar dan menuhankan kesenangan. Maka bertemanlah dengan mereka. Minimal, kalau kita nggak dikasih wangi keshalihan gratis, minimal kita bisa dapat wanginya barang sedikit.

Terus gimana dong sama orang-orang yang jelek tabiatnya? Masa’ nggak ada yang nemenin? Katanya Islam mengajarkan kasih sayang?

Oh, ingatlah, antara “mendakwahi” dan “berteman” itu nggak sama. Mendakwahi nggak harus berteman dulu, tapi berteman belum tentu bisa mendakwahi. Kalau sekadar tahu ya silakan aja. Tapi berteman, hmm… Pikir-pikir lagi, deh.

Sumber : Gaul Fresh

Tinggalkan Balasan