Sebuah Perdebatan Antara Ahlussunnah Dengan Mu’tazilah
Dalam hal ini, Pimpinan Ribath & Fakultas Imam Syafi’i, Hadramaut – Yaman yaitu Syeikh Muhammad Bin Ali Ba’athiyah menyebutkan dalam Kitabnya Mujazul Kalam Penjelasan Nadzam Aqidatul Awam halaman 88-89 ketika mengomentari bait berikut ini :
أرسل أنبيا ذوي فطانة * بالصدق والتبليغ والأمانة
“Allah telah mengutus para Nabi yang mempunyai Kecerdasan (Al-Fathonah), Kejujuran (Ash-Shidqu), Menyampaikan (At-Tabligh) & Dapat dipercaya (Al-Amanah).
Dalam pembahasan Mengutus Rasul ada 3 pendapat yang bersebrangan yaitu :
1. Ahlussunnah Wal Jama’ah (Asya’iroh & Maturidiyah) : Mengatakan Jaiz (boleh) secara hukum akal.
2. Mu’tazilah & Filsuf berpendapat : Wajib bagi Allah mengutus seorang Rasul.
3. Sumniyah & Barohimah : Mustahil Pengutusan Seorang Rasul.
Setiap dari mereka mempunyai alasan tersendiri tentang pendapat mereka.
Para Filsuf berargumen wajibnya mengutus Rasul itu karena Tabiat/kebiasaan Alam. Sebab dengan Adanya Allah itu mewajibkan adanya Alam semesta, sedangkan semesta ini harus ada yang berbuat baik dan membenahi kerusakan. Hal ini didasari pada anggapan mereka (Kaum Filsuf) bahwasannya semesta ini Qadim (sudah ada sejak zaman dahulu tanpa diawali dengan permulaan/penciptaan), dan tidaklah datang dari Allah melainkan orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka Kafir karena keyakinan ini (mengaggap semesta alam itu Qadim).
Bagi mereka yang menyatakan Mustahil bagi Allah mengutus Para Rasul dengan Argumen : Pengutusan Rasul itu tidak dibutuhkan menurur Akal, sebab sebuah perbuatan itu kalo dianggap baik oleh Akal maka bisa dilakukan, tapi jika menurut Akal perbuatan tersebut jelek maka harus ditinggalkan, sehingga tidak perlu bagi Tuhan untuk mengutus seorang Rasul.
Sedangkan Mu’tazilah dengan pendapat mereka yang menyatakan wajibnya mengutus Para Rasul itu dikarenakan Kaidah Mereka tentang “Ash-Sholah Wal Ashlah” (Suatu kebaikan & sesuatu yang lebih baik), yaitu Allah wajib berbuat baik dan yang terbaik untuk hamba-hambaNya. Akan tetapi Teori mereka tentang “Ash-Sholah Wal Ashlah” sudah dipatahkan oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dalam dialognya dengan Pimpunan Mu’tazilah yaitu Al-Jubba’i ketika Imam Al-Asy’ari bertanya kepadanya.
Al-Asy’ari : Apa pendapatmu tentang 3 bersaudara, yang pertama wafat dalam usia dewasa dalam keadaan taat, yang kedua wafat ketika dewasa dalam keadaan bermaksiat dan yang ketiga wafat saat masih kecil?
Al-Jubba’i : Yang pertama dapat balasan Surga, yang kedua dapat balasan Neraka dan yng ketiga tidak di Surga dan tidak pula di Neraka.
Al-Asy’ari : Jika yang ketiga berkata : “Wahai Tuhanku, engkau telah mewafatkanku dalam usia anak-anak, andai engkau perpanjang usiaku niscaya aku akan taat atas perintahmu sehingga aku bisa masuk surga”.
Lantas, apa yang akan dijawab oleh Tuhan?
Al-Jubba’i : Tuhan akan berkata : “Sesungguhnya aku tahu jika engkau hidup sampai dewasa niscaya engkau akan bermaksiat kepadaku sehingga engkau akan masuk Neraka, maka yang terbaik (Al-Ashlah) bagimu adalah wafat dalam usia anak-anak”.
Al-Asy’ari : Bagaimana jika orang yang kedua berkata : “Wahai Tuhan, kenapa engkau tidak wafatkan aku ketika aku masih kecil sehingga aku tidak maduk Neraka? Begitu juga semua Ahli Neraka?
Apa yang akan dikatakan oleh Tuhan?
Maka Al-Jubba’i terbungkam dengan pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Al-Asy’ari, sekaligus dialog ini mematahkan Teori Mu’tazilah akan kewajiban Tuhan berbuat Sholah (kebaikan) & Ashlah (yang lebih baik) kepada HambaNya.(Imam Abdullah El-Rashied).