Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MA NU) 03 Brebes menyuguhkan kesenian Sintren pada Brebes Ekspo 2015. Penampilan sintren sebagai upaya melestarikan budaya pantura yang telah dikenal sejak beratus-ratus tahun yang silam.
“Entah mengapa, kesenian sintren menjadi trade mark bagi masyarakat pantura barat,” terang Kepala MA NU 03 Brebes Sulawestio, usai pementasan sintren di pembukaan Brebes Expo di Stadion Karang Birahi Brebes, Selasa sore (18/8) lalu.
Masyarakat Brebes, lanjut Pa Tio-demikian biasa disapa-, mengenal sintren sebagai kesenian yang mengandung magis. Padahal suatu ketrampilan yang bisa dijalankan oleh siapa saja. Seperti halnya sulap, dan jenis-jenis ketrampilan ‘alam gaib’ lainnya. “Siswa kami ajarkan, kalau sintren itu bukan magis tapi suatu ketrampilan menarik dan berbudaya, apalagi diiringi dengan berbagai lagu-lagu yang bisa kita kemas untuk menyebarkan kebaikan, bukan syirik,” terangnya.
Menurut sejarah, Sintren atau juga dikenal dengan Lais adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya R Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Sintren juga mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yang khas.
Selain menampilkan kesenian sintren, sambung Tio, MA NU 03 juga ikut membuka stand pameran. Stand diisi dengan berbagai hasil kerajinan kreatifitas siswa, serta menampilkan berbagai prestasi siswa. Para siswa, juga menampilkan kesenian sisingaan yang berputar-putar diiringi music mengelilingi stadion karang birahi.
“Kami ingin tampil sebaik mungkin demi menghibur masyarakat Brebes yang tengah menyaksikan Brebes expo,” tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati Brebes Hj Idza Priyanti, Wakil Bupati Brebes Narjo SH, Sekda Brebes H Emastoni Ezam SH MH, Forkopimda, para Kepala SKPD dan undangan lainnya melakukan sawer dan kunjungan ke stand.
Sumber : NU Online