Kemanusiaan Dalam Haji

0
382

Hajji secara bahasa adalah al-qashdu yang berarti kesengajaan. Sedangkan secara syara’ haji memiliki definisi menyengaja ke baitullah, tanah haram (makkah) guna menunaikan ritual ibadah. Haji merupakan suatu ragam ibadah yang wajib dilaksanakan. Pada tahun 6 atau 9 Hijriyah, ibadah haji diwajibkan kepada umat muslim yang mapan secara finansial maupun fisiknya, kewajiban tersebut atas dasar firman Allah SWT yang terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 97. (Taqriratus Sadidat hal. 469)

sm1hl30

Disamping itu, haji juga pernah dilakukan para Utusan Allah (selain Nabi Hud dan Nabi Soleh) sebelum Nabi Muhammad SAW. lahir, hal ini ditengarai dengan adanya riwayat bahwa Nabi Adam AS. pernah menunaikan ibadah haji, Beliau berangkat dari hindia. Perjalanannya dilakukan dengan berjalan kaki serta memakan waktu selama 40 tahun. Pun begitu pula Nabi Isa AS., sebelum “bersemayam” di langit, beliau juga pernah melakoni ibadah haji. Bahkan, 7000 tahun sebelum Nabi Adam A.S tercipta, para Malaikat juga pernah merasakan ritual thawaf di ka’bah. (As-Syarqawi Juz 1 hal. 458)

Selain sebagai kewajiban, haji juga mengandung keutumaan yang berlimpah. Rasulullah SAW berulang kali “mengiming-imingi” pada umatnya melalui sabdanya, diantaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”.Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam redaksi yang lain, bahwa Rasulullah SAW. pernah berkata, “Barangsiapa yang berhaji di rumah Allah ini, dengan tidak berperilaku lacur serta fasiq, maka keadaannya akan dikembalikan seperti hari dimana ia dilahirkan oleh ibunya” (maksudnya terbebas dari dosa). Dan masih banyak hadits-hadits lain yang senada. (Taqriratus Sadidat hal. 469)

Sebagi pilar Islam yang kelima, para Ulama Fikih mengatur ketentuan-ketentuan ibadah haji dengan begitu ketat. Baik dari segi syarat, rukun maupun ketentuan yang lain. Hal ini semata-mata agar para Jama’ah Haji yang menjalani ritual selama berminggu-minggu itu bisa mencapai sebuah keabsahan. Bertolak dari situ, maka digalakkanlah kegiatan manasik haji. Yakni bimbingan ibadah haji dari seorang Kiai atau Ustadz yang berkompeten dalam bidangnya kepada para calon Jam’ah Haji yang akan melawat ke Tanah Suci.

Disini penulis tidak hendak menguraikan secara detail mengenai ketentuan-ketentuan tersebut. Sebab masih ada point-point patut digarisbawahi oleh jama’ah haji yang akan atau sedang menuniakan ibadah haji. Point tersebut bermuara pada aspek sosial kemanusiaan yang terkandung di dalamnya.

Pertama, pada saat musim haji tiba, para umat Islam tumpah ruah menjadi satu. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, membawa identitas kebangsaan masing-masing. Ada yang dari kalangan Sunni, Syi’i (Syi’ah) maupun wahabi. Ada yang dari bangsa yang berkulitkan hitam seperti bangsa Afrika, maupun bangsa yang berkulit putih seperti Indonesia atau yang lain. Disana berjejeran dalam satu shaff  (barisan), tak mempeributkan apakah Imam membaca Basmalah atau tidak. Tidak saling menyesatkan, mensyirikkan apalagi mengkafirkan, semua saling tolong menolong, mengasihi satu sama lain. Syaikh Wahbah Zuhaili menyebutnya sebagai momentum mengamalkan hadits Nabi, Innamal Mu’minuna ikhwatun, yakni“sesungguhnya orang mu’min adalah bersaudara”.  Sebaiknya, tak hanya pada momentum ini saja umat Islam bersatu padu, namun alangkah baiknya jika disetiap saat umat Islam selalu bergandengan tanpa mengenal perbedaan.

Kedua, pada hari ke 10 s/d 13 bulan dzulhijjah, para umat Islam disunnahkan untuk berqurban. Bagi umat yang bermukim di tanah Arab, hewan yang dominan disembelih adalah Unta, sedang di Indonesia adalah sapi atau kambing. Setelah disembelih, daging tersebut dibagikan kepada fakir miskin. Mereka kaum fakir miskin lebih diutamakan untuk diberi, sebab di hari-hari yang ia jalani, mereka sangat jarang sekali mengkonsumsi daging, mereka selalu makan dengan menu apa adanya, bahkan tak jarang juga mereka menahan kelaparan. Inilah aspek sosial yang ditekankan syari’at. Bagi yang berqurban, yang notebene adalah kaum menengah ke atas diharap bisa lebih merenungi nasib-nasib kaum yang posisinya berada dibawahnya.

Selain itu, menurut Husein Ja’far Al Hadar, intlektual muda Indonesia menganggap bahwa qurban sejatinya merupakan proses penyembelihan keegoisan atau sifat-sifat kebinatangan manusia. (Menyegarkan Islam Kita, hal. 47) sebab kita sering menjumpai manusia –bahkan kita sendiri- yang berkarakter egois, yakni mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Maka, melalui ibadah qurban, manusia diharapkan untuk membenahi karakter-karakter egois serta kehewanan yang rentan menimbulkan perpecahan umat.

Ketiga, dalam rangkaian ibadah haji, ada ritual yang wajib untuk dilaksanakan, yakni Ihram. Ihram dipandang sebagai ritual yang mendidik manusia agar meninggalkan seluruh pakaian yang terkesan glamour, bersifat hedonis, diganti dengan pakaian yang putih, suci serta sederhana. (Menyegarkan Islam Kita, hal. 46)

Keempat, ibadah haji juga memperhatikan hubungan kita dengan makhluk lain, seperti hewan dan tumbuhan. Di tanah suci, Jama’ah haji dilarang membunuh binatang darat, menebang pohon seta mencabut tanaman. Bahkan jika larangan itu diterobos, maka baginya akan dikenakan dam atau denda berupa menyembelih seekor kambing atau memberi tebusan kepada fakir miskin yang nominalnya setara dengan harga satu kambing. Atau berpuasa selama 10 hari. Hal ini menandakkan bahwa syariat sangat menitikberatkan terhadap kesejahteraan lingkungan dan kesuburan tanaman. Pesan yang terkandung dalam larangan tersebut patut dijadikan pemahaman dan pendidikan di wilayahnya masing-masing, khususnya di Indonesia ini yang sering didera bencana akibat ketidakakraban kita dengan lingkungan. (Muhammad Kholid Asyadulloh, Opini Jawa Pos bulan Agustus 2015)

Pesan sosial kemanusiaan yang terkandung dalam ibadah haji diatas, sudah sepatutnya untuk direnungkan, sebab kebobrokan hubungan kita dengan sesama manusia serta terhadap makhluk hidup lain, itu disebabkan sangat gagapnya kita dalam memahami agama Islam secara utuh. Pasalnya, dalam agama Islam ini pokok pembahasannya tak hanya cenderung pada hubungan seorang manusia dengan Allah, akan tetapi juga mengatur tentang hubungan manusia dengan sesamanya. Hablum minallah dan Hablum minannaas.

Wallahu a’lam

Sumber : santri.net

Tinggalkan Balasan