Larang Pernikahan Dini

216
868

Larang Pernikahan Dini

imageContent (2)

 

Pimpinan Cabang Fatayat NU Jember mendesak pemerintah daerah setempat untuk membuat peraturan daerah (perda) tentang pelarangan pernikahan usia dini. Hal ini didasari atas keprihatinan masih banyaknya kasus pernikahan anak di bawah umur.

Tututan ini menjadi salah satu dari enam butir pernyataan sikap Fatayat NU Jember yang dibacakan dalam peringatan hari lahir ke-66 Fatayat NU di Jember, Ahad (24/4). Ketua PC Fatayat NU Jember Rahmah Saidah mengatakan, kegiatan ini berfokus kepada upaya membangun kesadaran perempuan untuk bangkit dari ketertindasan dan menjadi mandiri.

Dalam pembacaan butir pernyataan sikap, PC Fatayat Jember juga menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan yang berperspektif gender, terkait isu poligami, pendidikan dan kesehatan.

Organisasi pemudi NU ini juga mengajak ormas perempuan untuk bangkit membangun kesadaran perempuan atas kebutuhan dan kepentingan perempuan dari perspektif perempuan; serta mengajak perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya, dan menjaga lingkungan sosial dan alam.

Dalam siaran pers, Fatayat NU Jember memandang, lebih dari seabad isu kesetaraan gender disuarakan oleh Kartini, namun kenyataanya sampai saat ini ketertindasan masih dialami perempuan hampir di semua lini kehidupan.

Konsepsi keluarga sakinah mawaddah, warrohmah dimaknai hanya sebatas materi, dimana laki-laki boleh berpoligami hanya karena mampu mencukupi kebutuhan materi perempuan yang menjadi istri-istrinya. Perempuan seringkali tidak punya pilihan ketika konstruksi budaya yang dijaga oleh keluarganya memaksanya untuk menikah di usia muda, dan harus menanggung berbagai macam risikonya.

Kartini meninggal karena melahirkan, dan sampai saat ini angka kematian ibu (AKI) melahirkan masih tinggi, karena kurangnya akses dan layanan kesehatan perempuan. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi (AKB) adalah 32 per seribu kelahiran hidup.

Partisipasi pendidikan perempuan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Data BPS tahun 2013 menyebutkan masih ada 11,44 persen perempuan pedesaan yang sama sekali tidak pernah sekolah, 19,44 persen tidak tamat SD, 33,95 persen tamat SD, 19,2 persen tamat SMP, 12,86 persen tamat SMA/sederajat, dan hanya 3,29 persen yang sarjana (BPS, 2015).

Ditambah lagi dengan model pendidikan yang tidak berperspektif gender. Hal ini berdampak kepada tidak terbangunnya kesadaran gender yang berdampak kepada berbagai bentuk penindasan perempuan.

Perempuan selalu dianggap makhluk yang lemah, cengeng, tergantung kepada laki-laki yang menjadi suami ataupun ayahnya. Pada kenyataannya, perempuan memiliki kelebihan dari laki-laki, mampu menjalankan fungsi reproduksi,  haid, hamil, melahirkan, sampai menyusui bayinya.

Disisi lain, perempuan adalah penjaga kehidupan, sebagai ibu, bertanggungjawab sekaligus menuntaskan pekerjaan rumah tangga, bahkan banyak yang menjadi tulang punggung keluarga. Diruang publik, perempuan perempuan menjalin ikatan persaudaraan sesama warga, sebagai tokoh, perempuan menjadi pemimpin di masyarakat. (Anwari/Mahbib)

 

Sumber : NU Online

Tinggalkan Balasan