Fikih Zakat Fitrah yang penting diketahui

0
384

Muslimedianews.com ~ Zakat fitrah diwajibkan atas mereka yang menjumpai bagian dari bulan ramadhan dan tanggal satu syawwal (terhitung mulai masuk waktu maghrib malam hari raya). Oleh karenanya, seorang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (memasuki tanggal satu syawal), harus ditunaikan zakat fitrah atasnya. Demikian pula bayi yang baru dilahirkan sesaat sebelum masuk waktu maghrib dan terus hidup sampai masuk waktu maghrib malam lebaran, orang tua harus menunaikan zakat fitrah atasnya.

Sebaliknya, orang yang meninggal sebelum masuk waktu maghrib malam lebaran (sebelum masuk tanggal satu syawal) dan bayi yang dilahirkan setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (setelah masuk tanggal satu syawal) tidak wajib ditunaikan zakat atasnya.

A. Waktu Zakat Fitrah

Zakat fitrah harus ditunaikan selambat-lambatnya sebelum masuk waktu maghrib hari raya (masuk tanggal dua Syawal) dan boleh ditunaikan sejak masuk tanggal satu bulan ramadhan (ta’jîl).

Waktu yang paling utama ditunaikan pada hari raya idul fitri setelah shalat subuh dan sebelum dilaksanakan shalat ied.

Makruh hukumnya membayar zakat fitrah setelah shalat ied sampai masuk waktu maghrib.

Jika zakat fitrah tidak ditunaikan sampai masuk waktu maghrib hari raya (tgl 2 syawal), maka berdosa dan wajib segera ditunaikan (qodlo’).

B. Kewajiban Zakat Fitrah

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Menurut madzhab Syafi’i, zakat fitrah diwajibkan atas mereka yang pada saat siang dan malam hari raya (siang tgl 1 syawal dan malam tgl 2 syawwal), mempunyai kelebihan dari kebutuhan sandang, pangan dan papan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, serta mempunyai kelebihan harta dari tanggungan hutang, meskipun belum jatuh tempo (menurut imam Ibnu Hajar).

Oleh karenanya, sangat dimungkinkan fakir miskin yang berhak menerima zakat karena tergolong mustahiq, pada sisi lain juga wajib menunaikan zakat fitrah di sebabkan pada malam tgl 1 syawal (malam idul fitri) memiliki harta yang melebihi untuk kebutuhan sandang pangan dan papan untuk siang dan malam hari raya (siang tgl 1 syawal dan malam tgl 2 syawwal) saja.

Disamping zakat fitrah wajib ditunaikan atas dirinya, juga wajib ditunaikan atas orang-orang yang wajib dinafkahi.

Yang dimaksud dengan orang yang wajib di nafkahi adalah:

a) Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada siang dan malam hari raya.

b) Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada siang dan malam hari raya dan secara fisik tidak mampu bekerja yang layak, seperti lumpuh, idiot.

c) Orang tua, kakek, nenek dan seterusnya, yang tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada siang dan malam hari raya.

d) Istri yang sah.

e) Istri yang sudah ditalak roj’i . Yakni istri yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua yang masih dalam masa ‘iddah.

f) Istri yang ditalak tiga (ba’in) dan dalam keadaan hamil mengandung anak suami.

Apabila mengeluarkan zakat fitrah untuk orang yang sebenarnya tidak menjadi tanggungannya, maka harus seizin yang bersangkutan. Oleh karenanya, jika orang tua mengeluarkan zakat untuk anaknya yang sudah baligh dan secara fisik mampu untuk bekerja, maka harus seizin yang bersangkutan, atau dengan cara diberikan kepadanya makanan pokok seukuran kadar zakat fitrah untuk kemudian dipergunakan sebagai zakat fitrahnya. Apabila istri mengeluarkan zakat untuk anak yang menjadi tanggungan suami diambilkan dari harta suami dengan tanpa seizin suami, maka hukumnya tidak sah.

C. Kadar Zakat Fitrah

Kadar zakat fitrah yang harus ditunaikan adalah, satu shâ’ dari makanan pokok (beras putih) atau setara dengan 2,720 kg. beras putih. Demikian menurut hasil konversi KH. Muhammad Ma’shum bin Ali.

Untuk lebih hati-hati demi menjaga keabsahan zakat fitrah, sebaiknya kadar zakat fitrah yang dikeluarkan di genapkan menjadi 3 kg beras putih.

Menurut madzhab Maliki, zakat fitrah boleh ditunaikan dalam bentuk uang senilai kadar beras putih yang harus dikeluarkan. Namun makruh hukumnya.

Sedangkan menurut madzhab Hanafi, zakat fitrah dapat ditunaikan dalam bentuk uang senilai setengah shâ’ gandum atau tepung gandum setara dengan 1,907 kg, bukan senilai 3 kg beras putih. Jika mustahiq merasa lebih senang menerima uang daripada beras, menurut madzhab Hanafi, yang lebih utama zakat fitrah diberikan dalam bentuk uang.

D. Niat Zakat Fitrah

Niat adalah salah satu syarat penting dalam keabsahan zakat fitrah. Niat zakat fitrah, sebagaimana ibadah yang lain, cukup diucapkan dalam hati saja, dan sunnah dilafadzkan secara lisan. Niat tidak harus diucapkan dengan bahasa Arab tetapi dapat menggunakan bahasa apapun seperti: Ini aku niatkan sebagai zakat fitrahku /anakku/istriku.
Contoh niat zakat fitrah dengan bahasa Arab untuk dirinya sendiri:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِيْ للهِ تَعَالَى

“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah ta’ala.”

Contoh niat zakat fitrah dengan bahasa Arab untuk orang lain:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ …… للهِ تَعَالَى

“Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk….. (sebutkan yang dimaksud) Allah ta’ala.”

Niat zakat fitrah dilakukan pada saat menyerahkan zakat kepada mustahiq, atau kepada wakil yang akan menyalurkan pada mustahiq atau pada saat menyisihkan beras yang dipergunakan sebagai zakat fitrah. Niat zakat fitrah juga dapat diwakilkan kepada orang lain.

E. Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Menurut madzhab Syafi’i orang yang berhak menerima zakat fitrah tidak berbeda dengan orang yang berhak menerima zakat harta yaitu 8 golongan (ashnâf) sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة [9]: 60)

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).

Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki, zakat fitrah hanya dapat diberikan kepada fakir miskin, bukan semua golongan (ashnâf) sebagaimana dalam zakat harta. Sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat sama dengan madzhab Syafi’i, yakni golongan yang berhak menerima zakat fitrah, sama dengan golongan yang berhak menerima zakat harta. Oleh karenanya, jika menyerahkan zakat fitrah atas nama golongan selain fakir miskin, kepada ustadz, kiyai, muadzin dan lain-lain, hukumnya TIDAK SAH menurut madzhab Syafi’i dan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki. Berbeda jika menyerahkan zakat kepada ustadz atau kiyai yang fakir atau miskin dengan atas nama fakir miskin karena pada kenyataannya ustadz atau kiyai tersebut fakir atau miskin, maka hukumnya sah menurut semua ulama.

F. Masalah Seputar Zakat Fitrah

a) Tidak sah memberikan zakat fitrah kepada masjid, madrasah, pondok pesantren atau yayasan.

b) Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, yayasan, sekolah bukan tergolong amil zakat sebagaimana yang dimaskud dalam golongan amil zakat (lihat penjelasan mengenai amil zakat). Oleh karenanya, tidak boleh mengambil bagian dari zakat yang terkumpul.

c) Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh belum mencukupi selama belum diterima oleh walinya, sebab anak kecil tidak sah dalam serah terima zakat (qobdl).

d) Panitia zakat fitrah (bukan amil zakat) yang dibentuk oleh masjid, sekolah, yayasan statusnya adalah sebagai wakil dari orang yang menunaikan zakat (muzakki). Oleh karenanya tidak boleh mengambil sedikitpun dari zakat yang terkumpul. Zakat yang terkumpul, seluruhnya harus dibagikan kepada mustahiq zakat.

e) Panitia zakat dalam membagikan zakat fitrah yang terkumpul harus memperhatikan cara distribusi zakat agar jangan sampai zakat yang terkumpul disalurkan kepada pemberi zakat sehingga kembali kepada pemiliknya. Oleh karenanya, hendaknya panitia zakat memberi tanda khusus untuk setiap zakat yang diterima agar diketahui dari siapa zakat tersebut berasal sehingga tidak terjadi pemberian zakat kepada pemiliknya, atau zakat fitrah disalurkan kepada masyarakat ditempat lain sekira tidak mungkin kembali kepada pemiliknya.

Oleh : K.H Muhibbul Aman Aly dari Ponpes Besuk Pasuruan
google_ad_client = “ca-pub-4649100839183457”; google_ad_slot = “1563105255”; google_ad_width = 336; google_ad_height = 280;

Tinggalkan Balasan