Kiai Sofyan tak hanya kesohor sebagai kiai yang mengasuh pesantren. Ia dikenal sebagai ulama yang memiliki penguasaan yang dalam terhadap ilmu-ilmu keislaman terutama fikih dan tasawwuf.
Seluruh hidupnya dicurahkan untuk membangun moral masyarakat dengan berlandas tumpu terutama kepada kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
Ia tak hanya mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din di pesantren, melainkan juga langsung ke tengah masyarakat.
Saya kerap mengikuti pengajian bulanan kitab Ihya’ Ulum al-Din yang dipandu Kiai Sofyan itu yang tempatnya berpindah dari satu rumah ke rumah lain di Situbondo.
Biasanya, salah seorang ustadz diminta untuk membaca teks kitab lalu Kiai Sofyan yang menjelaskan pengertiannya.
Yang mengaji kepada Kiai Sofyan tak hanya masyarakat bawah, melainkan juga para kiai terutama yang berada di Situbondo dan Bondowoso.
Bahkan, dua putra Kiai As’ad Syamsul Arifin, yaitu (Alm.) Kiai Fawaid As’ad (Pengasuh PP Sukorejo) dan Kiai Kholil As’ad (Pengasuh PP Walisongo), pernah mengaji sejumlah kitab kepada Kiai Sofyan.
Tak sebagaimana Kiai Kholil yang dimondokkan ke Mekah oleh ayahandanya untuk meningkatkan pengetahuan agama, maka Kiai As’ad “menyerahkan” Kiai Fawaid kepada Kiai Sofyan untuk memperdalam pengetahuan kitab kuningnya.
Saya pernah ikut mendengarkan Kiai Sofyan membacakan kitab Jawahirul Maknun terhadap Kiai Fawaid. Ketika mengaji kepada Kiai Sofyan, biasanya Kiai Fawaid didampingi teman-teman terdekatnya.
Itu sebabnya, kepergian Kiai Sofyan tak hanya ditangisi oleh para santrinya secara terbatas di PP Manbaul Hikam Panji Situbondo, PP Sumberbunga Seletreng Kapongan Situbondo, melainkan juga oleh masyarakat dan para kiai. Hasil pengamatan saya beberapa tahun, Kiai Sofyan memang mendapatkan kedudukan khusus di tengah masyarakat, tak hanya masyarakat Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi melainkan juga Bali dan Madura.
Kiai Sofyan, Orang Besar
Setelah Kiai Sofyan wafat, tak sedikit orang bertanya; “Kenapa Kiai Sofyan begitu besar”?.
Menurut saya, ada empat hal yang membuat kiai Sofyan besar.
Pertama, ia adalah seorang murysid tarekat yang aktif “menjamah” para muridnya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur dan Bali.
Kiai Sofyan mengunjungi dan memberi bimbingan spiritual terhadap para muridnya hingga ke daerah-daerah pedalaman Jawa Timur. Tak hanya mendatangi, Kiai Sofyan juga tak henti dikunjungi para muridnya.
Rumahnya tak pernah sepi dari tamu dan Kiai Sofyan selalu melayani para tamu yang datang secara sama, tanpa membedakan kelas sosial seseorang, yang datang kepada Kiai Sofyan mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa, dari yang alit hingga yang elit.
Ia menemui dan melayani tamu pada satu tempat; tak ada ruang khusus kelas petinggi dan ruang tersendiri untuk orang awam. Kelas-kelas sosial yang biasanya saling menjauh, di kediaman Kiai Sofyan bisa duduk sejajar.
Pelayanan terhadap tamu demikian sempurna bahkan Kiai Sofyan sebagai tuan rumah tak pernah lupa menghidangkan makanan.
Melihat jadual acara-agenda hariannya yang padat, mungkin Kiai Sofyan tak memiliki banyak waktu untuk bersantai. Waktu tidur-istirahatnya sangat kurang.
Dalam sehari, ia mampu menghadiri lima undangan, mulai dari undangan walimah, menikahkan orang, memimpin doa, hingga peletakan batu pertama pembangunan mesjid dan pesantren. Sejauh tak berbenturan dengan acara di tempat lain, Kiai Sofyan menyanggupi kehadirannya.
Tanpa seorang sekretaris di sampingnya, seluruh jadual acara itu diatur sendiri oleh Kiai Sofyan. Ia biasanya mencatat jadual acara itu di kalender kecil yang selalu diletakkan di sebelahnya ketika menerima tamu.
Saya kadang bergumam dalam hati, dari mana energi kekuatan itu diperoleh Kiai Sofyan. Inikah yang disebut sebagai quwwah rabbaniyah (limpaham kekuatan ketuhanan). Lalu saya teringat Rasulullah SAW yang dalam usia 62 tahun masih sanggup mengadakan perjalanan darat dari Madinah ke Tabuk yang saat itu jaraknya diperkirakan 1100 km.
Kedua, Kiai Sufyan bukan sufi yang duduk di ruangan sepi, menjauh dari gemuruh kehidupan.
Di samping mengasuh para murid tarekatnya dan mengedukasi para santrinya di pesantren, Kiai Sofyan terlibat dalam proses perubahan sosial. Ia kerap datang untuk memecahkan persoalan sosial bahkan personal yang menimpa umat. Ia pun aktif berorganisasi. Ia berjuang melalui Nahdhatul Ulama (NU), sejak usia muda.
Bertahun-tahun Kiai Sofyan memimpin NU dalam fase tersulit ketika NU didiskriminasi bahkan “dipersekusi” rezim Orde Baru. Ia menggerakkan NU tanpa pamrih.
Kepentingan pribadi disingkirkan dan kepentingan NU lebih didahulukan. Sebagai Rais Syuriah NU, Kiai Sofyan terlibat dalam mendinamisasi kegiatan intelektual NU seperti acara bahtsul masail yang rutin diselenggarakan setiap sebulan sekali. Bahtsul Masa’il adalah ruang intelektual tempat para kiai NU memecahkan masalah-masalah sosial dari perspektif fikih Islam.
Kiai Sofyan memberi pengaruh cukup besar terhadap produk-produk pemikiran keislaman NU Situbondo.
Ketiga, Kiai Sofyan adalah ulama dan kiai yang bisa menyatukan ilmu dan amal. Ilmu tasawuf Kiai Sofyan tak hanya mengalir di kerongkongan melainkan juga mewujud dalam tindakan.
Ketika Kiai Sofyan menjelaskan tentang pentingnya hidup zuhud dan sederhana, ia sekaligus telah menjadi contohnya.
Arsitektur rumahnya tak mempesona, mobil pribadinya biasa. Tak ada aksesoris dan perabotan mahal di dalam rumahnya.
Ketika ia menjelaskan tentang pentingnya penghargaan (takrim) terhadap manusia, Kiai Sofyan telah lama menjalankannya. Ketika menerima tamu misalnya, Kiai Sofyan tak duduk di kursi gotik yang melambangkan grandeur para raja dulu. Ia duduk bersila di atas karpet-hambal lusuh seperti alas duduk para tamunya.
Ketika menjelaskan tentang dzikir, Kiai Sofyan sendiri adalah ahli dzikir. Ia menghindari perkara-perkara syuhbat apalagi yang haram. Dengan amalan ini wajar sekiranya Kiai Sofyan memiliki wibawa moral di tengah masyarakat.
Keempat, Kiai Sofyan adalah orang besar yang membesarkan. Tak sedikit para santri yang–meminjam istilah Ignas Kleden—“paria secara sosial” dinaikkan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat oleh Kiai Sofyan. Secara intensif, Kiai Sofyan memperkenalkan “santri paria” tersebut ke tengah masyarakat.
Ketika ada acara-acara besar–seperti acara Maulid Nabi, Isra’-Mi’raj, Halal-Bihalal–tak jarang Kiai Sofyan meminta para santri itu untuk berceramah.
Saya melihat ada banyak alumni pesantren yang dahulu ditokohkan Kiai Sofyan kini sudah memangku pesantren. Bahkan, sebagian dari pesantren mereka itu lebih besar dari pesantren yang dikelola Kiai Sofyan sendiri. Ini adalah bukti bahwa Kiai Sofyan bukanlah pohon trembesi (Albizia saman) yang rindang menaungi tapi sekaligus mematikan seluruh tumbuh-tumbuhan yang ada dibawahnya.
Kiai Sofyan adalah pohon besar yang nyaman sebagai tempat berteduh sekaligus kondusif bagi tumbuh-kembang para santri dan para kiai muda di bawahnya.
Begitulah. Kiai Sofyan adalah tokoh-ulama yang kian langka di negeri ini. Ia telah mempersembahkan hidupnya untuk umat. Tidak hanya karena ia mengasuh dua pesantren, melainkan juga karena ia turun langsung ke masyarakat. Keteguhannya memegang komitmen dan pengabdiannya yang tanpa pamrih adalah akhlak terpuji yang harus diteladani generasi muda muslim.
Dari jauh saya berdoa, semoga sunnah hasanah yang telah diwariskan Kiai Sofyan tak terbuang melainkan justeru dilanjutkan oleh para kiai muda berikutnya.
Semoga narasi tentang kehidupan Kiai Sofyan tak berhenti hanya menjadi folklor yang hidup dalam memori kolektif suatu masyarakat lalu gagal membentuk peradaban terbaik umat.
Penulis: KH. DR. Abdul Moqsith Ghazali, Alumni Ma’had Aly Sukorejo.