Baru-baru ini muncul film yang menarasikan Nusantara bagian dari Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul. Beberapa narasumber dalam film tersebut jelas menyatakan masih menduga berdasar asumsi pribadi.
Terkait hal itu, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menegaskan bahwa pengaruh keislaman di wilayah Nusantara ini memang ada. Namun, Prof Oman menolak argumentasi yang menyebut adanya bekas sistem ala Turki Utsmani pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia.
“Kalau saja ada jejak nilai keislaman dalam kemerdekaan Indonesia itu selesai. Kalau jejak sistem, itu klaimnya kurang mendasar,” katanya saat berbincang langsung dengan Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triana di kanal Youtube situs web yang dipimpinnya tersebut pada Selasa (25/8).
Lebih jauh, akademisi
yang akrab disapa Kang Oman itu menegaskan bahwa argumen yang menyebut
Nusantara, khususnya Aceh menjadi bagian dari Turki Utsmani bertentangan dengan
syarat khalifah itu sendiri yang mewajibkan laki-laki. Sementara itu,
Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh empat perempuan.
“Kalau pun mau mengklaim kesultanan Aceh bagian dari Turki
Utsmani itu bertentangan dengan syarat khalifah. Salah satu syarat khalifahnya
itu laki-laki, tetapi Aceh ada empat Sultanah,” katanya.
Adapun argumentasi yang menyebut bahwa ada kesatuan persaudaraan umat Islam antara Nusantara dan Turki Utsmani tersebut, menurutnya, tidak bisa dibatasi pada sistem politiknya saja. “Konteks ukhuwah islamiyahnya sangat baik. Tapi jika menyoal sistem politik, itu lain soal,” kata alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat tersebut.
Prof Oman tidak menafikan bahwa Aceh sempat mengajukan diri untuk menjadi bagian dari Turki Utsmani yang saat itu menjadi negara super power, tetapi proposal pengajuan itu ditolak dengan alasan wilayahnya yang terlalu jauh dan dikhawatirkan akan adanya pengajuan-pengajuan baru dari kerajaan lainnya. Keputusan tersebut diambil melalui rapat para pejabat di sana.
Bahkan, Kang Oman secara tegas menyatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di wilayah Nusantara cukup berwibawa. Hal tersebut membuat Turki Utsmani itu tidak menganeksasi wilayah tersebut. Saat itu, sebagaimana diketahui, Turki Utsmani melakukan aneksasi di berbagai wilayah di Eropa.
Soal jejak keislaman sendiri, Kang Oman menegaskan bahwa hal tersebut sangat jelas terlihat dari perjuangan masyarakat Indonesia. Perlawanan dalam Perang Jawa 1825-1830 dan Perjuangan rakyat Banten tahun 1888 menjadi dua di antara perang dahsyat yang didorong oleh nilai-nilai keagamaan yang kuat. Kedua perang tersebut dikomandoi oleh mursyid tarekat.
“Artinya, perlawanan Perang Jawa itu didorong oleh nilai-nilai keislaman yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan di hadapan Tuhan,” terang Staf Ahli Menteri Agama itu.
Lebih lanjut, Kang Oman mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia itu sangat religius. “Ketika menganut nasionalisme, itu tidak berarti meniadakan persaudaraan sesama umat di luar Indonesia,” pungkasnya. (NU Online)