Cikal-Bakal dan Sejarah Pesantren
Menurut KH. Muchit Muzadi dalam bukunya Mengenal Nahdlatul Ulama bahwa lahirnya pesantren, atau yang di Aceh dikenal dengan istilah Dayah, adalah sebuah keniscayaan dari penyebaran Islam di Nusantara ini. Setelah para penyebar Islam yang kemudian disebut Muballig itu berhasil meng-Islam-kan sebagian masyrakat, maka selanjutnya mereka pempersiapkan kader untuk menjutkan perjuangan mereka dalam menyebarkan agama Islam. Para kader itu dibina secara khusus. Mereka selalu berada di sisi Muballig. Mereka menadapat ilmu serta ketauladanan. Muballig dan para kader bersama-sama membina umat atau masyarakat. Muballig yang membimbing para kader itu kemudian oleh masyarakat disebut kiai, sedangkan para kader itu disebut santri. Inilah cikal bakal pesantren, lembaga pendidikan Islam yang pertama kali ada di Indonesia.
Sejak awal berdirinya, kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat Nusantara ini hanya diproyeksikan sebagai sebuah sarana dakwah dan pendidikan Islam. Dengan tujuan supaya para santri mengetahui dan memahami apa saja yang telah diwahyukan Allah pada Muhammad Rasulullah Saw. Dengan demikian, para santri diharapkan mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memaksimalkan dua tugas utamanya sebagai manusia. Pertama, sebagai ‘Abdu Allah (penyembah Allah). Kedua sebagai Khalifatu fi al-ardl (wakil Allah di bumi; sebagai pengelola semesta).
Sebagai hamba, mereka diharapkan menjadi pribadi mukmin sejati yang hanya menyembah, mengabdi dan menuju kepada Allah saja. Bukan mengabdi pada hawa nafsu, keinginan individu dan ambisi yang akan menjatuhkan derajat dirinya sebagai manusia menjadi pribadi binatang yang rakus.
Sebagai wakil Allah di bumi ini, mereka diharapkan mampu berpartipasi aktif mengelola dan memberdayakan keluarga, masyarakat, lingkungan dan negara bahkan semesta. Tentunya hal ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan dan keadilan. Bukan malah menjual, membohongi dan mengorbankan masyarakatnya demi kepentingan individu dan golongan.
Alhamdulillah, sejarah mencatat bahwa pendidikan di pesantren dengan ciri khas kitab kuningnya yang disertai metode klasik masih terus berlangsung dengan sangat efektif dan eksis. Out-put nya pun juga dinyatakan sebagai generasi umat yang dapat dibanggakan. Dalam rangka mempertahankan “jiwanya” ini maka pesantren selalu melestarikan tradisi baca kitab kuning dengan semarak. Inilah potret pesantren zaman dulu yang hanya mengajarkan kitab kuning saja.
Perkembangan Pesantren
Dalam usianya yang cukup tua ini dan seiring dengan perkembangan zaman yang mesti dihadapi, pesantren telah mengalami semacam pemekaran peran, yaitu sudah mulai ambil peran dalam menangani pendidikan umum. Dengan demikian maka santri juga dituntut mempelajari berbagai macam ilmu umum seperti ilmu Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, Geografi, Akuntansi, Tata Negara, Bahasa Inggris, Komunikasi, Elektronik, kesenian dan lain-lain. Ternyata hasil nya cukup menggembirakan disatu sisi dan menghawatirkan di sisi yang lain. Selanjutnya, “Masihkan jiwa pesantren akan terus eksis ? “.
Sekarang telihat dengan jelas di depan kita bahwa perkembangan pesantren di Indonesia sangat pesat. Kalau di zaman dahulu pesantren hanya mengajarkan kitab kuning tanpa mengajarkan ilmu-ilmu umum, maka sekarang bidang keilmuan yang di ajarkan di pesantren sama dengan keilmuan yang diajarkan di luar pesantren. Seperti ilmu Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, Geografi, Akuntansi, Tata Negara, Bahasa Inggris, Komunikasi, Elektronik, Kesenian dan lain-lain. Inilah yang kemudian disebut dengan pesantren inklusif, yaitu pesantren yang terbuka dan menerima ilmu-ilmu umum sebagai ilmu yang diajarkan di dalamnya.
Kalau santri masa dulu hanya bisa baca kitab kuning, maka sekarang selain bisa baca kitab kuning santri juga mampu berbahasa Inggris, mengakses Internet, menguasai Matematika, Fisika, Kimia, Tata Negara dan sebagainya.
Dengan demikian, kalau pada masa dahulu tawaran untuk alumni pesantren hanya menjadi kiai, beda halnya dengan sekarang. Alumni pesantren sudah mulai dilirik oleh Negara dan perkantoran-perkantoran untuk dilibatkan dalam menentukan kebijakan di dalamnya. Karena selain berilmu, santri memiliki kesadaran religius yang tinggi.
Sekarang, mampukah para alumni pesantren bersaing dan mempertahankan identitas ke-santri-annya ?. Tak ada pilihan lagi, kecuali mereka tetap konsis dengan keilmuannya dan mempertahankan ajaran agama yang telah mereka peroleh dari pesantren. Tidak lalu terbuai, tergoda dan tertipu dengan kepentingan sesaat. Sehingga mau menjual predikat kemanusiaan dan kesantriannya dengan ambisi binatang yang lepas kendali. Kalau kemudian itu yang terjadi, maka mereka layak disebut sebagai korban kekuasan yang ilmunya tidak bermanfa’at.
Peran Aktif Alumni Pesantren di Dalam Pemerintahan
Sudah banyak alumni pondok pesantren yang mengambil peran penting di Negara tercinta ini. Dengan ilmu yang dikuasainya, mereka dipercaya untuk menduduki jabatan srategis. Mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Direktur, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan-jabatan perkantoran, Menteri hingga Presiden sudah pernah dijabat oleh santri. Namun di sisi lain cukup menghawatirkan kalau cara dan etos kerja mereka tidak sesuai dengan ajaran Agama. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, lalai terhadap tugas, pemalsuan data dan lain-lain. Sehingga kemudian muncul dugaan keras bahwa ilmu yang mereka miliki tidak manfaat, tidak selamat dan tidak menyelamatkan. Kemanakah jiwa santrinya?. Apakah jiwa itu hilang bersama dengan jabatan yang diraihnya?.
Sikap yang Harus Dimiliki Santri dan Alumni Pesantren
Untuk menanggulangi semua itu, paling tidak ada tiga sikap yang harus ada pada diri santri dan alumni pondok pesantren:
1. Sikap ilmiah santri
Dalam menyikapi perkembangan pesantren yang pesat ini, sebagai pencari ilmu, santri harus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan dan tingkatannya masing-masing tanpa memandang jenis ilmu. Silakan tuntut ilmu apa saja. Karena semua ilmu akan membawa kebaikan pada pemiliknya selama tidak disalah gunakan. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa ilmu itu ada yang harus didahulukan untuk dipelajari dari pada ilmu yang lain.
Dalam hal menuntut ilmu perhatian Rasulullah saw. sangat serius. Beliau bersabda:
من سلك طريقا يطلب فيه علملما سلك الله به طريقا إلى الجنة
“Barang siapa menempuh suatu jalan yang di dalamnya terdapat ilmu maka sesungguhnya orang itu telah diperjalankan oleh Allah menuju surga” (HR. Muslim).
Dalam kesempatan yang berbeda beliau bersabda:
باب من العلم يتعلمه الرجل خير له من الدنيا وما فيها
”Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang itu lebih baik dari pada dunia dan isinya”. (HR. Ibnu Hibban).
Ibnu Abbas berkata: “Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu. Lalu aku menjadi mulia dan terhormat ketika sudah mendapatkannya. Apa yang dikatakan Ibnu Abbas di atas merupakan isyarat kepada para pencari ilmu supaya berpola hidup sederhana dalam menuntut ilmu. Sederhana dalam pakaian, makanan, minuman, pergaulan dan lain-lain, tidak perlu terlalu mewah. Karena kemewahan banyak mengantarkan pada kegagalan. Tinggalkanlah kemewahan dan kemuliaan itu. Biarlah ia datang setelah kita mendapatkan ilmu. Percayalah ia pasti datang. Allah berfirman:
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات المجادلة
“Allah pasti akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu”. (Q.S. Al-Mudajalah: 11)
2. Sikap kultural santri
Perkembangan ini patut untuk diapresiasi dan disyukuri. Namun yang tak kalah pentingnya juga budaya yang menjadi ciri khas santri harus tetap dirayakan dan dipertahankan. Jangan sampai perkembangan ini menggeser budaya santri yang selama ini bisa dibanggakan. Seperti hubungan saling membantu antara sesama santrinya (bukan malah saling meninggalkan untuk berkomunikasi). Hubungan santri dengan guru. Dan hubungan santri dengan masyarakat. “Akhlakul karimah harus terus diperjuangkan.”
3. Sikap Ke-hamba-an Santri
Renungan yang mesti dijalankan di dalam hati, akal dan pikiran santri adalah bagaimana ilmu yang ada pada dirinya benar-benar menjadi ilmu yang dicita-citakan oleh Rasulullah. Yaitu ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu (apa saja) yang bisa mengantarkan manusia sampai pada Allah Tuhan semesta alam. Oleh sebab itu Nabi sering berdo’a dalam rangka mengajari umatnya dengan do’a: ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-MU dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’ dan amal yang tidak dikabulkan. Harapan kita semua adalah, santri bisa sampai pada Allah dengan ilmu yang mereka kuasai. Sehingga nantinya, ada santri yang samapai pada Allah dengan ilmu Nahwu-Sharraf yang mereka kuasai. Ada yang sampai pada Allah dengan ilmu Fiqh-Ushul fiqh. Ada yang sampai pada Allah dengan ilmu Matematika, dengan ilmu ekonomi, dengan ilmu pendidikan, dengan ilmu Kimia, dengan ilmu Fisika, dengan ilmu Bahasa, dengan ilmu Tata Negara, dengan ilmu komputer, dengan ilmu Seni, dengan ilmu kedokteran, kebidanan dan ilmu-ilmu lain yang tak mungkin disebutkan semua di sini. Begitu juga dengan konsekuensi ilmu yang berupa jabatan, kedudukan ataupun pangkat, diharapkan bisa mengantarkan dirinya pada Allah. Paling tidak dengan cara tidak mencintai jabatan, kedudukan maupun pangkat yang mereka sandang. Di dalam Ihya’ Ulumiddin Imam Al-Ghazali menukil perkataan Imam Syafi’i bahwa “Barang siapa yang mengaku bahwa ia bisa mengumpulkan di dalam hatinya antara cinta pada dunia dan cinta pada Dzat yang menciptakan dunia maka ia telah berbohong”.
Paling tidak ada dua tawaran cara supaya seseorang bisa sampai kepada Allah dengan ilmu yang telah dimilikinya. Pertama adalah menundukkan, menghambakan diri dan menuju bersama-sama dengan ilmunya kepada Allah. Kedua selalu berkomunikasi secara intens antara dirinya dengan ilmunya. Karena dengan adanya komunikasi tersebut ilmu akan bertambah dan akan lebih mantap. Dengan tambahan dan kemantapan ilmunya ini seseorang diharapkan akan lebih mengenal Allah. Inilah yang disebut dengan ilmu yang bermanfaat. Yang pada akhirnya, seseorang akan sampai pada suatu kondisi batin di mana dirinya dan ilmunya hanya milik Allah. Kondisi agung ini akan semakin meningkat dahsyat tanpa batas sesuai tingkat ketundukan dan penghambaanya kepada Allah. Wallahua’lam…