Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tiang Ilmu Ushul Fiqh adalah pembahasan tentang metode memahami kandungan teks (nash), baik melalui indikator lafadz atau kata perkata (Dalalah al-Lafdzi) maupun melalui indikator redaksi teks atau rangkaian kata (Dalalah al-Nushush). Hal ini merujuk pada tujuan utama Ilmu Ushul Fiqh, yaitu istimbath (menggali) hukum dari nash-nash syar`i yang mana tidak mungkin tercapai atau tidak sempurna sebelum memahami kandungan teks dengan baik.
Sebagaimana penulis sindir diatas, terdapat dua metode didalam memahami nash. Pertama, metode memahami makna dari teks melalui kajian lafadz (طُرُقُ دَلّالَةِ الَّلفْظِ عَلَى الْمَعَانِى), dan kedua, metode memahami makna dari teks melalui kajian rangkaian lafadz (طُرُقُ دَلّالَةِ النَّصِِّ عَلَى الاَحْكَامْ). Pada kesimpulannya, kedua metode tersebut menyingkap makna sebuah teks yang dimaksud oleh syari` dan melahirkan sebuah hukum yang terdapat dari makna tersebut.
Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya, Ushul al-Fiqh al-Islamy lebih rinci lagi didalam menjelaskan metode ini, beliau membagi menjadi empat macam;
- Melihat peletakan lafadz terhadap maknanya, berisi tentang lafadz `am dan khos, dan tentang lafadz musytarok dan mu`awwal.
- Melihat penggunaan lafadz didalam maknanya, berisi tentang lafadz hakikat dan majaz, dan lafadz shorih, kinayah dan ta`ridl.
- Melihat dalalah lafadz terhadap maknanya dari aspek kejelasan makna (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam) dan kesamaran makna (Khofi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih).
- Melihat bagaimana dalalah lafadz terhadap maknanya dan cara memahami makna yang dimaksud dari lafadz tersebut, meliputi Ibarah al-Nash, Isyarah al-Nash, Dalalah al-Nash dan Iqtidlo` al-Nash.
Point terakhir inilah yang akan dibahas penulis pada makalah ini
A. Ibârah al-Nash
Adalah dalalah redaksi ayat (teks) terhadap makna yang dipahami tanpa ada kesulitan dari redaksi ayat dan makna tersebut dimaksud oleh syari`, baik dimaksud dari awal mula turunnya teks (makna asal) atau dimaksud dari pembawaan teks (makna tabi`).
Misalnya firman Allah swt.,
…وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَّرمَ الرِبَّا … الآية
Artinya; “…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275)
Dengan metode ini ayat tersebut memberikan dua pemahaman makna, pertama; bahwa bai` (transaksi jual beli) tidak sama dengan riba. Dan kedua; bahwa bai` dibolehkan dan riba diharamkan. Makna pertama merupakan makna asal diturunkannya teks, sedangkan makna kedua merupakan makna pembawaan yang ikut dalam redaksi teks.
Misalnya juga firman Allah swt.,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً …الآية
Artinya; “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” (Q.S. al-Nisâ`: 3)
Ayat ini memiliki tiga pemahaman makna melalui metode Ibarah al-Nash, pertama; kebolehan menikahi wanita yang disukai, kedua; membatasi maksimal menikahi wanita dengan empat orang, dan ketiga; kewajiban menikah satu perempuan jika dikhawatirkan tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya ketika menikah lebih dari satu. Makna pertama adalah makna tabi`, sedangkan makna kedua dan ketiga adalah makna asal.
Contohnya lagi pada Hadits Nabi saw. yang berbunyi,
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاءُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya; “Laut itu airnya suci mensucikan dan bangkainya halal”.
Hadist ini memberikan dua pemahaman makna, pertama; kesucian air laut yang merupakan makna asal. Kedua, kehalalan bangkainya ikan yang merupakan makna tabi`.
B. Isyârah al-Nash
Adalah dalalah yang diambil dari makna lazim (konsekwensi logis) bagi makna yang dipahami dari redaksi teks (Ibarah al-Nash), dan makna lazim tersebut bukanlah makna yang dimaksud oleh teks.
Misalnya firman Allah swt. yang berbunyi,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ …الآية
Artinya; “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu…” (Q.S. al-Baqarah: 187)
Dari redaksinya ayat ini menerangkan tentang kebolehan seseorang melakukan hubungan suami istri di semua bagian-bagian malam hingga terbitnya fajar sebagai tanda dimulainya puasa. Dan melalui Isyarah al-Nash ayat ini memberikan pemahaman tentang kebolehan seseorang junub di pagi hari (setelah terbitnya fajar) sebagai konswekunsi logis dari kebolehan berhubungan intim dimalam hari hingga fajar yang merupakan waktu akhir kebolehan menjima` istri.
Misalnya juga firman Allah,
…وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ… الآية
Artinya; “…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Q.S. Ali Imrân: 159)
Dari ayat ini dapat dipahami melalui metode Isyarah al-Nash tentang kewajiban membentuk semacam organisasi permusyawaratan sebagai makna lazim dari diwajibkannya melakukan musyawarah didalam memecahkan permasalahan.
Contoh lain misalnya firman Allah yang berbunyi;
…وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ … الآية
Artinya; “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Secara Ibarah al-Nash ayat ini menjelaskan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya, sedangkan makna Isyarahnya kewajiban tersebut hanya tertentu bagi suami dan tidak ada seorangpun (anaknya sendiri atau orang lain) dikenakan kewajiban ini.
C. Dalâlah al-Nash
Adalah makna yang diambil dari spirit nash atau adalah menyamakan hukum dalalah makna yang tidak disebut oleh teks (مَسْكُوتْ) dengan hukum dalalah makna yang disebut oleh teks (مَنْطُوقْ) dikarenakan adanya kesamaan illat hukum yang dipahami dari kajian bahasa. Baik spirit makna tersebut bernilai sama dengan makna teks ataupun lebih tinggi nilainya.
Misalnya firman Allah swt.,
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ … الآية
Artinya; “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan ‘ah’…” (Q.S. al-Isra`: 23)
Makna Ibarah al-Nashnya adalah larangan berkata “ah” kepada orang tua karena perkataan tersebut menyakiti orang tua. Dari alasan tersebut terdapat perbuatan yang lebih tinggi tingkat menyakitinya daripada sekedar berkata “ah”, yaitu memukul, mencaci, menahan dan tidak memberi makan. Pemahaman inilah yang diambil dari metode Dalalah al-Nash.
Misalnya juga firman Allah;
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya; “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. al-Nisa`: 10)
Makna Ibarahnya adalah haram makan harta anak yatim secara dzalim, kemudian dari kajian kebahasaan dapat dipahami bahwa spirit dari ayat ini adalah pelarangan melenyapkan harta anak yatim dengan cara apapun, baik dengan cara memakannya, membakarnya atau merusaknya. Metode pemahaman inilah yang diambil dari Dalalah al-Nash.
D. Iqtidhâ` al-Nash
Adalah dalalah dengan memperkirakan makna lain demi kesempurnaan makna yang dipahami, redaksi ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan benar atau baik tanpa memperkirakan makna lain. Baik anggapan tidak sempurna tersebut menurut akal ataupun menurut syara`.
Misalnya sabda Nabi;
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى اَلْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اُسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Secara akal sehat sebuah perbuatan yang sudah terjadi tidak mungkin dihapus dan dianggap tidak terjadi, maka yang dimaksud dihapus disini adalah dosa dari perbuatan tersebut. Memperkirakan makna dosa inilah yang menyebakan hadits ini dapat dipahami dengan baik. Jika diartikan ” Perbuatan yang timbul dari umatku berupa ketersalahan, lupa dan dipaksa (dosanya) dihapus “.
Misalnya lagi firman Allah SWT dalam Surat Yusuf ayat 82;
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Yang dimaksud dari ayat ini adalah penduduk desa, sebab secara akal sehat tidak mungkin bertanya kepada desa itu sendiri. Jika diartikan “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu”.
Contonya lagi firman Allah Surat al-Nisa` ayat 23;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Secara syara` sebuah hukum tidak berkaitan dengan dzat, melainkan berkaitan dengan perbuatan. Dari sini di perlukan makna lain demi kesempurnaan maknanya, yaitu menikahi. Jika diartikan “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”.
Pada akhirnya, keempat metode inilah yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid didalam istimbath hukum terhadap dalil-dalil syar`i. Dan perlu diperhatikan, bahwa didalam metode ini juga berlaku sistem keberurutan antar keempat metode tersebut sebagaimana urutan diatas. Artinya, jika terjadi ta`arud (kontradiksi) antara makna yang diambil dari Ibarah al-Nash dengan makna yang diambil dari Isyarah al-Nash maka makna Ibarah al-Nash yang harus dimenangkan. Demikian juga seterusnya.
Misalnya, makna Ibarah al-Nash dari firman Allah tentang kewajiban qishos bagi orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan. Allah berfirman Q.S. al-Baqarah: 178;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Ayat ini bertentangan dengan makna Isyarah al-Nash dari firman Allah bahwa orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan dengan sengaja balasannya (hukuman) adalah kelak di akhirat dengan dimasukkan ke neraka Jahannam sehingga tidak perlu mendapat hukuman di dunia (qishos). Allah berfirman QS. al-Nisa`: 93;
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
Dari ta`arud disini yang dimenangkan adalah makna Ibarah al-Nashnya, yaitu tetap dikenai qishos.