قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”
Dari ungkapan ayat di atas ditetapkan bahwa menutup aurat hukumnya wajib. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para fuqaha’, mereka sepakat akan keharaman membuka aurat, namun mereka berbeda pendapat dalam batas-batasan aurat. Dalam hal ini ada empat poin yang menjadi catatan:
1. Aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki
Auarat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki adalah anggota yang berada diantara pusar dan lutut. Oleh sebab itu, tidak halal bagi laki-laki melihat aurat laki-laki, yaitu anggota yang berada diantara pusar dan lutut, karena itu bagian aurat. Melihat selain anggota itu hukumnya halal. Rasulullah bersabda “seorang laki-laki tidak boleh melihat auratnya laki-laki. Begitu juga perempuan tidak boleh melihat auratnya perempuan”
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa auarat laki-laki adalah anggota tubuh yang berada diantara pusar dan lutut, sebagaimana tertera dalam hadits-hadits Nabi. Seperti hadits yang diriwayatkan dari جرهد الاسلامي, dia berkata: Rasulullah duduk bersama kami dan pahaku terbuka. Lalu Rasulullah bersabda: Apakah engkau tidak tahu bahwa paha itu aurat?
2. Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi perempuan
Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi perempuan sama halnya dengan aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi laki-laki, yaitu anggota yang berada diantara pusar dan lutut. Selain anggota tertentu itu, perempuan boleh memandangnya, kecuali perempuan dzimmi atau kafir. Bagi perempuan dzimmi dan kafir memiliki hukum tersendiri yang akan dijelaskan pada pembahasan lain.
3. Aurat laki-laki ketika menjadi obyek bagi peremuan
Dalam poin ini hukumnya ditafshil (dirinci). Pertama, jika laki-laki itu berstatus mahram, seperti ayah, saudara, paman dari ayah atau paman dari ibu, maka auratnya adalah anggota badan yang berada diantara pusar dan lutut. Kedua, jika laki-laki itu tidak berstatus apa-apa, maka menurut pendapat yang lebih shahih auratnya adalah anggota badan yang berada diantara pusar dan lutut. Sementara menurut pendapat yang lain adalah semua anggota badan. Dari itu, menurut pendapat yang kedua ini, seorang perempuan tidak boleh melihat kepada laki-laki, sebagaimana laki-laki tidak boleh melihat kepada perempuan. Ketiga, jika laki-laki itu berstatus suami, maka anggota badan laki-laki bukan aurat scara mutlak, karena firman Allah yang berbunyi:
إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
4. Aurat perempuan ketika menjadi obyek bagi laki-laki
Adapun aurat peremuan ketika menjadi obyek bagi laki-laki adalah seluruh anggota badannya. Pernyataan ini menurut pendapat yang shahih, yaitu Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Imam Ahmad menegaskan, semua anggota badan perempuan adalah aurat hingga (termasuk juga) kukunya.
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa semua anggota badan perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Dalil-dalil Malikiyah dan Ahnaf
Malikiyah dan Ahnaf berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1) Allah berfirman
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Ayat di atas mengecualikan sesuatu yang tampak, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan untuk dibuka dan ditampakkan. Sesuatu itu adalah wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini dikutip dari pendapat sebagian shahabat dan tabi’in, seperti Sa’id bin Jabir berkata, bahwa yang dimaksud dengan إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا adalah wajah dan kedua telapak tangan. Begitu juga, Atha’ berpendapat yang sama.
2) Hadits A’isyah: sesungguhnya Asma’ bin Abi Bakr menemui Rasulullah. Sementara Asma’ mengenakan pakaian lengan pendek . Lalu Rasulullah menyinggung akan pakaian itu, Rasulullah bersbda: “wahai Asma’, sesungguhnya perempuan yang sudah mencapai pada masa haid, tidak pantas perempuan dilihat kecuali ini dan ini”. Rasulullah menunjukkan wajahnya dan kedua tangannya.
3) Termasuk juga menjadi petunjuk bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, adalah perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat. Begitu juga ketika ihram. Jika memang wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat, lalu kenapa dibolehkan dibuka ketika shalat dan ihram. Padahal menutup auarat merupakan kewajiban, otomatis jika kedua anggota tersebut dibuka ketika shalat, maka shalatnya tidak sah.
Dalil-dalil Syafi’iyah dan Hanabilah
Dalil Syafi’iyah dan Hanabilah tentang pendanpatnya bahwa wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat adalah sebagai berikut:
1) Allah berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
Ayat di atas menunjukkan keharaman menampak perhiasan. Perhiasan ada dua bagian: orisinil dan inovatif. Wajah termasuk perhiasan orisinil. Karena wajah merupakan keindahan yang asli dan sumber fitnah. Sedangkan perhiasan yang inovatif adalah perhiasan yang diupayakan oleh perempuan untuk mendapatkan wujud yang tampak indah di mata (bukan di hati), semisal pakaian mode dan berbagai macam asesoris kecantikan, seperti selak, gincu, pelembab wajah dan sejenisnya. Perempuan melakukan semua itu tidak ada tujuan lain kecuali memamerkan kepada semua orang serta mengharapkan apresiasi dari kaum laki-laki. Dan, memang seperti itu kenyataannya, lebih-lebih di era modern ini. Padahal perbuatan seperti itu dapat mengundang syahwat birahi serta menjadi sumber fitnah. Oleh sebab itu, ayat di atas mencegah perempuan untuk menampakkan perhiasannya secara mutlak, serta mengharamkan membuka sesuatu dari anggota badannya di hadapan kaum laiki-laki.
Berkenaan dengan ayat إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا, Syafi’iyah dan Hanabilah mentakwil, bahwa yang maksud dengan ayat مَا ظَهَرَ adalah sesuatu yang tampak yang tidak disengaja, seperti angin nakal yang menyingkapnya sehingga tampaklah lutut, leher atau bagian anggota tubuh lainnya.
2) Beberapa hadits shahih:
a) Hadits Jarir bin Abdillah: Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan yang secara tiba-tiba, Rasulullah bersabda “palingkanlah pandanganmu”
b) Hadits Ali: “Wahai Ali, jangan kau menyusuli pandangan pertama, karena hanya pandangan pertama yang positif bagimu, sedangan pandangan kedua itu negatif bagimu”.
c) Hadits Khats’amiyah: diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, pada waktu haji wada’ datanglah seorang perempuan dari kaum Khats’am kepada Rasulullah untuk meminta fatwa. Ketika itu Rasulullah bersama seorang laki-laki yang tampan, Fadhl namanya. Entah disengaja atau tidak, Fadhl memandang perempuan itu. Begitu juga perempuan itu membalas pandangan si Fadhl. Lalu terjadilah satu titik pandangan yang sama. Kemudian –karena Rasulullah mengetahui kejadian itu- Rasulullah langsung memalingkan wajah Fadhl ke arah lain.
Teks-teks hadits di atas menunjukkan keharaman memandang perempuan ajnabiyat. Maka tidak diragukan bahwa wajah termasuk anggota badan yang tidak boleh dipandang karena itu aurat.
Selain itu, Syafi’iyah dan Hanabilah berdalil dengan ayat:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. (QS. Al-Ahzab: 53)
Ayat di atas –secara sharih– meniadakan kebolehan memandang. Walaupun ayat tersebut turun karena terkait dengan istri-istri Rasulullah, namun hukumnya dapat mencakup kepada selain istri Rasulullah dengan metode qiyas. Illatnya adalah semua anggota tubuh perempuan itu aurat.
d) Logika.
Memandang perempuan hukumnya tidak boleh, karena kahwatir terjadi fitnah. Fitnah memandang wajah seorang perempuan tentu sangat besar dari pada fitnah memandang mata kaki, rambut dan lutut.
Jika keharaman memandang rambut dan lutut disepakati hukumnya haram, justru keharaman memandang wajah min babi al-aula, dengan mempertimbangkan bahwa wajah adalah keindahan yang asli dan sumber fitnah.
Sumber gambar: fc01.deviantart.net