Persoalan bangsa ini makin menumpuk. Yang satu belum terselesaikan, sudah muncul persoalan lain. Dampak konkritnya, kesejahteraan rakyat, masih jauh dari kata cukup. Kemiskinan masih menjadi hantu yang sangat menakutkan. Salah satu akibatnya, banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Masa-masa pendidikan yang seharusnya menjadi modal dalam mengarungi kehidupan harus sirna hanya karena persoalan biaya. Parahnya lagi, masih banyak anak yang lalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mengamen, menjadi pedagang asongan, bahkan ada yang diajak mengemis atau disuruh mengemis oleh orang tuanya.
Selain itu, dibeberapa perusahaan kita juga bisa menjumpai beberapa pekerja dari golongan anak-anak. Perusahaan sangat diuntungkan dengan hal ini, sebab bayaran mereka tidak akan sebesar ketika yang bekerja adalah orang dewasa. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 sudah secara tegas pada pasal 68 disebutkan “Pengusaha dilarang memperkerjaan anak”. Pada pasal 69 diperbolehkan memperkerjakan anak, tapi dengan catatan perkerjaannya berupa pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.
Pada pasal yang sama, dalam ayat yang berbeda lebih diperjelas lagi syaratnya, yaitu: izin tertulis dari orang tua, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu sekolah, keselamatan kerja jelas, serta upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Demikianlah aturan yang telah ditetapkan dalam UU, yang dibuat semata-mata demi terwujudnya perkembangan anak bangsa yang cukup baik. Sekarang, bagaimana pandangan fiqh mengenai memperkejaakan anak, atau dengan bahasa lain mengeksploitasi anak?. Dan hal ini akhir-akhir ini menjadi persoalan yang cukup menjadi perhatian. Misalnya kita masih ingat bagaiamana persoalan ponari lalu menjadi perhatian pemerhati anak.
Untuk menjawab persoalan ini mari kita awali dengan menyimak ayat berikut,
Makanya tidak salah kalau dalam al-Qur’an disebutkan,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan Anak merupakan hiasan kehidupan dunia” (QS. Al-Isra’: 46)
Dalam ayat sudah dengan tegas Allah menyebutkan bahwa anak adalah hiasan dunia yang akan membawa kebahagian. Dengan bahasa lain anak merupakan anugerah terindah yang selalu didamba oleh setiap keluarga karena kehadirannya merupakan kebahagiaan yang tak terhingga, salah satu yang menjadi penghias dunia. Maka dari itu, Islam pun memberikan perhatian pada kehidupan anak. Salah satunya diwujudkan dengan menghapus kebiasaan kaum jahiliah yang membunuh anaknya karena hawatir miskin. Dengan tegas Allah melarang hal itu. Secara sharih di dalam al-Qur’an pun kita bisa menjumpai petunjuk-petunjuk tentang anak, misalnya tentang radha’ dan nafaqah. Semua ini diwujudkan demi kemaslahatan anak.
Masa kanak-kanak adalah masa pendidikan, masa di mana mereka harus diajari beberapa hal yang akan menjadi bekal ketika dewasa. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda ketika ditanya perihal kewajiban orang tua pada anaknya,
حق الولد على الوالد أن يعلمه الكتابة والسباحة والرمى
“Hak anak yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya adalah mengajarkan tulis-menulis, berenang, memanah” (HR. Baihaqi)[1]
Dalam hadits tersebut sudah dengan jelas Rasulullah menyebutkan beberapa hal yang perlu diajarkan oleh seorang bapak kepada anaknya. Tapi yang perlu diperhatikan, apa yang disebutkan beliau itu hanya sebagian hal saja. Dalam arti bukan hanya hal itu saja yang perlu diajarkan. Penyebutan nabi pada kata الكتابة والسباحة والرمى hanya sebagai sampel. Sehingga masih banyak lagi yang perlu diajarkan oleh kepada sang anak. Misalnya yang terkait dengan perkara wajib, seperti shalat dan baca al-Qur’an.
Syaikh Zainuddin al-Malibary menyebutkan dalam sebuah kitabnya,
“Wajib bagi orang yang telah disebutkan sebelumnya (orang tua) melarang anaknya dari melakukan hal-hal yang diharamkan, serta wajib pula mengajari hal-hal wajib dan semisalnya, berupa ajaran syari’at yang tampak, walaupun hanya perbuatan sunnah, seperti siwak”[2]
Dari hadits dan ungkapan di atas, bisa disimpulkan bahwa apa yang diajarkan kepada seorang anak bukan hanya terbatas pada perkara wajib. Melainkan juga perkara-perkara sunnah. Sebab hal itu semua bisa menjadi penunjang bagi keberlangsungan hidupnya nanti di saat dewasa. Sedangkan untuk konteks kekinian berarti sangat banyak yang perlu dipelajari oleh seorang anak. Mengingat tantangan yang akan dihadapi nanti juga banyak. Sehingga pendidikan (terutama di sekolah) itu memang harus ia dapatkan. Dan hal itu menjadi tanggung jawab orang tua.
Pendidikan anak yang menjadi tanggung jawab orang tua ini dibatasi sampai si anak baligh. Berarti ketika sudah masa baligh, secara otomatis tanggung jawab orang tua hilang. Begitulah pandangan sebagian ulama, termasuk al-Malibary.[3] Dalam sebuah hadits yang semakna dengan hadits di atas juga membatasi kewajiban orang tua itu, yaitu sampai berumur 12 tahun. Berikut ini haditsnya,
مِنْ حَقِّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ أَدَبَهُ وَ تَعْلِيَمهُ فَإِذَا بَلَغَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَا حَقَّ لَهُ عَلَيْهِ
“Hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah memperbaiki tatakramanya dan mengajarinya. Ketika sudah berumur 12 tahun, maka orang tua tidak wajib lagi melaksanakan hak anak itu” (HR. al-Baihaqy) [4]
Namun pandangan ini, terutama untuk konteks sekarang, perlu dikaji lagi. Sebab anak yang baru berumur masih belum bisa dipandang cukup bekalnya untuk mengahadapi masa depannya yang penuh dengan tantangan. Berbeda saat zaman dahulu, di mana tantangan kehidupan masih tidak terlalu berat. Sehingga umur ketika sudah baligh ia bisa dianggap cukup untuk belajar.
Oleh karena itu, pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua tidak lagi hanya terbatas sampai baligh. Melainkan sampai ia sudah dianggap mampu mengahadapi tantangan. Kalau mengikuti salah satu peraturan dalam dunia pendidikan, kita kenal istilah wajib belajar 9 tahun. Itupun sesungguhnya masih dianggap kurang.
Ketika disebutkan bahwa masak anak-anak merupakan masa pendidikan, sebagaimana disebutkan di atas. Maka sudah barang tentu pada masa-masa itu anak tidak layak diperkerjakan. Masih dini bagi mereka untuk bekerja. Bekal yang mereka bawa masih kurang. Sehingga walaupun mereka bekerja, maka pekerjaanya termasuk pekerjaan rendahan. Mengingat ia masih belum memiliki keterampilan baik yang bisa menunjang dalam bekerja.
Dalam rangka ةengomentari hal ini, al-Syarbini mengutip pendapat Al-Mawardi,
“Perkataan al-Mawardi menunjukkan bahwa orang tua tidak boleh mengajari pekerjaan yang akan menghinakan anaknya. Begitu juga tidak boleh bagi orang tua yang mempunyai pekerjaan terhormat mengajari anaknya pekerjaan yang buruk, demi menjaga kemaslahatan anaknya” [5]
Searah dengan ungkapan tersebut, berarti anak yang masih belum dewasa tidak perlu diajari sebuah pekerjaan terlebih dahulu, kalau dipandang bahwa hal itu tidak baik pada si anak. Dan memang mengajari pekerjaan saat terlalu dini bukanlah hal yang baik. Mengajari pekerjaan saja tidak baik, apalagi menyuruh dia bekerja. Hal ini tentu lebih tidak diperbolehkan. Mengingat orang tua juga mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pendidikan.
Sedangkan yang diperbolehkan bagi orang tua hanyalah mengajari pekerjaan yang baik pada anaknya, tidak sampai memperkerjakan anaknya. Ketika disebut mengajari, berarti pendidikannya yang lain tidak boleh terabaikan, semisal sekolah. Oleh karenanya, aturan yang telah dibuat oleh pemerintah yang mencantumkan syarat maksimal bekerja 3 jam dan tidak mengganggu jam sekolah sudah tepat.
Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa anak yang masih belum dewasa tidak boleh dipekerjakan. Sebab pada masa-masa itu ia berhak mendapatkan pendidikan dan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Sehingga orang tua pun harus dengan usaha kuat untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Sedangkan di saat orang tua tidak mampu membiayai pendidikannya, kerabat atau orang lain wajib memperhatikan pendidikannya juga. Sebab memang memperhatikan anak bukan hanya tugas dari orang tua, dalam arti bisa berpindah pada orang lain ketika orang tua tidak lagi mampu memberi perhatian lebih, terutama terkait dengan pendidikannya. Dalam hal ini al-Ribashy mengatakan bahwa semua orang islam juga wajib memperhatikan anak orang lain.[6] Peran serta orang lain untuk pendidikan anak yang tidak mampu ini sangat penting. Sebab memang tidak sedikit anak yang mengalami putus sekolah sehingga ia bekerja, padahal masih belum masanya bekerja. Dan saling membantu inilah selalu ditekankan dalam Islam.
Di samping itu, untuk mengatasi hal ini pemerintah juga harus turun tangan. Mengingat tujuan utama dari sebuah pemerintahan adalah bagaimana penduduknya hidup sejahtera. Oleh karenanya negara wajib memperhatikan pendidikan orang yang tidak mampu. Jangan sampai ada anak yang tidak bisa sekolah hanya karena faktor biaya. Kalau sampai hal itu terjadi, maka dosa jama’ah lah yang akan terjadi. Dari presiden, sampai semua aparatur negara di tingkat desa.
[1] Imam al-Baihaqy, al-Sunan al-kubra li al-Bayhaqy, juz 10, hlm.15.
[2] Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, hlm.4
[3] Ibid;
[4] Imam al-Baihaqy, Syuab al-Iman, juz 6, hlm.403
[5] Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati al-Fazhi al-Minhaj, juz 3, hlm.458
[6] Dr. Ahmad Riyashy, Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayat, juz 3, hlm.106.
Sumber Gambar: rimanews.com