Di dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 36 Allah berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langitĀ dan bumi, diantaranya empat bulan haram (sakral). Keempat bulan tersebut menurut ahli tafsir adalah Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
Bulan rajab sebagai salah satu dari empat bulan yang di sebutkan secara khusus oleh Al-Qur’an Ā merupakan Ā bulan yang memiliki keistimewaan tersendiri, baik keistimewaan tersebutĀ khusus bagi diri pribadi Rasulullah maupun umatnya. Adapun keistimewaan bulan rajab bagi diri Rasulullah adalah Allah berkenan menghadiahkan Ā sebuah paket tour eksklusif kepada beliau yang bertajuk ārihlah samawiyahā, yaituĀ berupa perjalanan wisata langit. Perjalanan eksotik-esoterik ini pada hakikatnya memiliki fungsi ganda. Pertama Ā bertujuan tasliyah nafs (menghibur diri rasul) di saat beliau bersedih karena ditinggal wafat kedua orang yang sangat dicintainya, Abu Thalib dan istrinya, Siti Khadijah ra. Kedua, sebagai Ā rihlah diniyah (wisata religi) yang pada akhirnya mengantarkan diri Rasul menerimaĀ kewajiban shalat, salah satu sendi utama dan pilar penyangga tegaknya agama Islam.
Dari peristiwa sejarah agung ini, ada beberapa renungan yang patut kita resapi bersama āSudah sampai di titik manakah shalat yang kita kerjakan dapat memberikan nuansa pencerahan terhadap kehidupan diri kita? Sudahkah kita melihat dan merasakan tanda-tanda shalat kita diteriam oleh Allah SWT? Atau bahkan, sudah sesuaikah shalat yang kita kerjakan dengan tuntunan syariāat? Bagaimana jika ternyata shalat yang dianggap sudah sah secara fiqh sekalipun karena telah memenuhi syarat dan rukunnya bukanlah merupakan jaminan bahwa shalat tersebut diterima, apa lagi yang belum lengkap syarat dan rukunnya?ā
Inilah barang kali pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan dan kita aktualisasikan setiap kali menyambut datangnya bulan rajab dibandingkan memperingatinya dengan acara-acara serimonial yang kurang efektif dan mencerahkan. Sehingga kita tidak selalu dipertontonkan olek sekeliling kita atau bahkan oleh diri kita sendiri dengan realitas keberagaman kita yang timpang; STMJ, shalat terus maksiat jalan, haji rajin sampai antre tapi budaya korup menjadi segmen yang tidak terpisahkan, khususnya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,Ā shalat yes, tapi prilaku; main sikut kanan kiri , masih terus mengelayut dan menggerogoti hati.
Di dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: āAkan datang suatu zaman dimana terdapatĀ sekelompok orangĀ berkumpul di masjid untuk melakasanakan shalat berjamaah tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin.ā Dalam hadist lain, yang dimuat didalam kitab Kanzul āUmmal, Rasulullah saw. Juga bersabda: ā nanti akan datang suatu zaman; seorang muazzin berazan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi diantara mereka tidak ada yang mukminā.(hadis no.3110).
Dari dua hadist Nabi tersebut dapat dipahami bahwa diakhir zaman nanti banyak orang shalat bahkan berjamaah namun shalatnya tak lebih hanyalah simbolĀ ke-islamannya belaka. Artinya shalat dilaksanakan hanyalahĀ sekedarĀ mengugurkan kewajiban saja akan tetapi tidak diterima di sisi Allah karena mereka belum memiliki sifat dan prilaku seorang mukmin.
Adapun diantara tanda-tandanya orang yang beriman (mukmin) adalah sebagaimana yang telah dimuat dalam kitab Ā shahih Bukhari, Rasulullah bersabda;
- Barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya diaĀ Ā menghormatiĀ tetangganya.
- Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.
- Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara yang benar, dan kalau tidak mampu bicara dengan baik, maka lebih baik ia berdiam diri.
- Tidak dianggap sebagai orang beriman, Ā apabila kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara para tetangga kamu kelaparan di sampingmu.
- Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan dan menhormati tamu-tamunya.
DenganĀ memahami lima buah hadits di atas, kitaĀ melihat bahwa diantara tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawabnya, terutama tanggung jawab sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Kalau dia menghormati tetangganya, memuliakan setiap tamu yang datang, kalau dia menyambungkan tali persaudaraan, kalau dia berbicara benar dan kalau dia memiliki rasa keprihatinan di antara penderitaanĀ yang dirasakan oleh saudara di sekitarnya, maka berdasarkan sabda Nabi di atas bisa dinobatkan sebagai seorang mukmin dan shalat yang dilaksanakannya insyaallah dimaqbul (diterima).
Sebaliknya, jika ada orang yang mendirikan shalat tetapiĀ tidak pernah akur dengan tetangganya, mengecewakan tamu yang hadir, memutus tali persaudaraan di antara kaum muslim, suka mengadu domba, menggunjing aib saudaranya, menyebarkan Ā fitnah dan tuduhan yang tidak layak terhadap sesama muslim, maka hakikatnya dia bukanlah seorang mukmin.Ā Mereka yang melaksanakan shalat tetapi tidak sanggup mengatakan kalimat yang benar, tidak peduli sertaĀ acuh tak acuh dengan penderitaan yang dirasakan sesamanya. Kata Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang melakukan salat, akan tetapi tidak diterima shalatnya.
Rasulullah saw. Juga pernah bersabda: āAda dua orang umatku melakukan shalat, rukuk dan sujudnya sama, akan tetapi nilai shalat kedua orang itu sangat berbeda jauh bagaikan langit dan bumi ā.
Dalam sebuahĀ hadits Qudsi, juga disebutkan tentang orang yang diterima shalatnya oleh Allah SWT:āSesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima shalat dari orang yang dengan salatnya ia merendahkan diri ke hadapan-Ku. Ia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Ia tidak mengulangi maksiat kepada-ku. Ia menyayangi orang-orang yang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan bungkus shalat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh malaikat untuk menjaganya; orang itu akan memperkenankanya. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surgaā.
Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang diterima shalatnya oleh Allah SWT;
Dia datang untuk melaksanakan shalat dengan merendahkan diri kepada-Nya.
Dalam al-Quran, keadaan seperti itu disebut dengan istilah khusyuā. Sedang khusyuā itu sendiri merupakan inti dari pelaksanaan sholat itu sendiri. Imam Ghazali mengatakan bahwa khusyuā dalam shalat menempati rukun.
Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain.
Orang yang diterima shalatnya ialah tidak takabbur. Takabur adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Menurut Al-Ghazali, takabbur ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih hebat dari pada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain. Boleh jadi hal itu karena ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak-buah dan kecantikannya.
Dalam hadis lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ātidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu sajaā.
Tidak mengulangi maksiatnya kepada Allah SWT.
Nabi yang mulia bersabda: ābarangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari kejelekan dan kemungkaran, maka shalatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT.ā Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. Mengatakan: ānanti pada hari kiamat ada orang yang membawa salatnya di hadapan Allah. Kemudian salatnya diterima dan dilipat-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu salat itu dibantingkan ke wajahnyaā.
Allah tidak menerima salat itu karena salatnya tidak dapat mencegah perbuatan maksiatnya setelah ia melakukan maksiat tersebut. Bukankah al-Qurāan telah mengatakan:ā¦ sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan perbuatan keji dan mungkarā¦. (QS 29:45)
Menyayangi orang-orang miskin.
Jika diterjemahkan dengan kalimat modern ialah orang yang mempunyai solidaritas social. Dia bukan hanya melakukan rukuā dan sujud saja, tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rizkinya untuk membahagiakan orang lain. Bukan hanya saleh secara ritual tapi juga saleh secara sosial.
Kala kita dalam shalat sudah merasakan kebesaran Allah dan tidak takabur, dan kalau kita sudah tidak mengulangi perbuatan maksiat sesudah salat, dan kalau kita sudah memiliki perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain, maka insyaallah, Allah menerima shalat kita. Allah akan melindungi kita dengan jubah kebesaran-Nya. Allah akan memberikan kepada kita kemulian dengan kemuliaan-NyaĀ dan akan membungkus kita dengan busana kebesaran-Nya. Di samping itu, Allah akan menyuruh para malaikat untuk menjaga kita, dan para malaikat itu akan berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qurāan:
āKamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamuāĀ (QS 41:31)
Mudah mudahan Allah SWT. yang Maha Pemurah dan Penyayang melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada kita semua. Amin ya rabbal āalamin…! (Author: Khairuddin Habziz, img: burjalsaheb)