Sikap Istri Jika Suaminya Nusyuz

0
1357

Tentang praktik-praktik nusyuz dari pihak suami telah ditulis di alamat ini (http://cyberdakwah.com/2013/04/suami-yang-tak-sayang-dianggap-nusyuz/). Kali ini akan membahas tentang solusi (sikap) bagi isteri jika suaminya menlakukan nusyuz. Solusi tersebut sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an yang berbunyi:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. an-Nisa’ :128).

Berkenaan dengan ayat di atas yang menjelaskan nusyuz dari pihak suami dan solusinya, M. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya, jika hal kesalahpahaman tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pasangan suami istri, dan perselisihan sudah mencapai satu tingkat yang mengancam kelangsungan hidup rumah tangga, maka ayat di atas mefatwakan bahwa: dan jika seorang istri khawatir menduga dengan adanya tanda-tanda akan nusyuz, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan antar keduanya perdamaian yang sebenar-benarnya, misalnya istri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya.[1]

Jika dijelaskan lebih lanjut dari apa yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab, maka solusi menyikapi nusyuz suami adalah melakukan perdamaian dengan cara si istri merelakan hak-haknya yang telah diabaikan oleh suami. Berbeda dengan pendapat Syaikh Imam Nawawi, beliau mengatakan, jkia suami nusyuz dengan semisal tidak memberi giliran pada istrinya, tidak memberi nafkah dan tempat tinggal, maka Hakim mengatasi masalah tersebut. Jika suami tidak baik dalam bergaul bersama istri seperti memukul tanpa sebab dan mencaci maki maka Hakim melarangnya dan mentakzirnya.[2] Demikian juga dalam kitab al-Bajuri dijelaskan bahwa jika suami melakukan nusyuz sperti tindakan tersebut, maka Qadhi meminta kepada suami untuk memenuhinya jika istri menunutut. Jika akhlak suaminya tidak baik sperti memukul maka Qadhi harus melarangnya, tapi jika suami tetap nusyuz maka Qadhi mentakzirnya.[3] Begitu juga apa yang dipaparkan oleh Syaihk al-Mawardi.[4]

Dari pendapat diatas bisa diambil kesimpilan, bahwa bagi isteri diperkenankan memilih antara dua hal, yakni:

a)      Bersabar dan mengikuti jalan damai dengan cara, misalnya, meminta pengertian dan mengingatkan ”kelalaian” suaminya, atau menggunakan perantara juru damai untuk menengahi dan membantu menyelesaikan masalah.

b)      Mengajukan tuntutan pada Hakim, agar Hakim bisa mengatasi masalah yang sedang terjadi di rumah tangga, berupa tindakan suami yang menunjukkan sikap nusyuz.

c)       Atau mungkin, jika memang tindakan suami tidak bisa dimafaakan, istri langsung mengajukan khulu’ sebagai langkah akhir utuk menyelesaikan masalah yang sangat besar dan rumit.

(img: xFSpiLtymHA)


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, juz II, hlm 604

[2] Imam Abi Zakariyya Muhyiddin bin Syarif an-Nawawi, al-Majmu’ Syar al-Muhadzdzab, jilid XIII, hlm. 127

[3] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, Juz I, hlm. 129

[4] Imam Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, jilid XII, hlm. 241

Tinggalkan Balasan