[Cerpen] Riak-riak Samudra

0
1136

 “Aku tahu ini mengganggumu, tapi maafkan aku, aku  harus mengatakannya, Al.” Faiz terus berbicara tanpa menoleh kebelakang. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk mengatakannya. Bisakah, aku membantumu menyembuhkannya?” terdiam, Aini yang tersentak dengan bentakan Faiz hanya mampu mematung dengan gugup, Almas mengalihkan perhatiannya kekursi kemudi, tidak menyangka Faiz serius dengan ucapannya, “Maksudku, maukah kamu menikah denganku?”

***

            “Mas. Tunggu!” teriak Aini saat Faiz tidak menghiraukan panggilannya sesaat setelah mereka tiba didepan rumah. Aini menarik lengan Faiz yang terlihat enggan diintrogasi hari ini. Melihat tatapan Aini yang kukuh, dia menyerah sambil menarik nafas panjang.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Faiz seketika, mereka masih berdiri didepan pintu rumah, Aini melepaskan genggamannya, menatap kakaknya tajam.

“Sejak kapan? Sejak kapan Mas menyukai Almas?” Aini bertanya dengan nada menuduh disetiap kata yang dilontarkannya. Menunggu eksekusi ini, dia tidak menganggap sama sekali Aini akan bersikap protektif seperti ini walaupun dia tahu betul Aini sangat menyayangi Almas.

“Apakah itu penting untuk dibahas?” Faiz berlalu dan membuka pintu rumahnya, berjalan cepat sementara Aini mengejar, berdiri dihadapannya. “Ai, apa sebenarnya masalahnya? Almas tidak sedang dalam proses dengan siapapun, tidak setelah Sulthon melanggarnya, apa Mas melakukan kesalahan?” Faiz berkata perlahan setelah melihat Aini kembali berkaca, tidak mengerti apa masalahnya.

“Kenapa Mas tidak memberitahuku?” Faiz mendesah pelan, berharap Aini tidak bersikap berlebihan.

“Mas tahu tidak boleh banyak mengharapkannya sebelum Mas sendiri siap untuk melamarnya. Sudah lama, sudah sangat lama, Ai. Mas tidak akan membiarkan Sulthon-Sulthon lain mencegah Mas melakukannya,” Faiz berkata lambat-lambat, Aini masih bersikukuh dengan sikapnya, “Memang seberapa pentingnya itu?”

“Penting!” jeritan Aini menggema diseluruh ruang, yang hanya diisi oleh mereka berdua. Orang tua mereka lagi-lagi belum pulang bekerja. Faiz menunggu bagian terburuknya, Aini sekarang sudah menangis. “Aku tidak bisa membiarkan kedua sahabatku terluka sekarang. Luka Almas tidak akan bisa diobati hanya karena Mas ingin menikahinya, dan, Wilda. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hubungan kami nanti setelah Wilda mengetahui hal ini.”

Faiz terlihat bingung, “Apa maksudmu… dengan Wilda?”

“Dia menyukai Mas, selalu, sejak pertemuan pertama kalian.” Aini berkata pelan, menunggu Faiz mencerna informasi ini, kemudian melanjutkan. “Apa Mas pikir Almas akan merasa lebih baik jika orang yang dicintai sahabatnya memilih untuk menikahinya?”

Faiz gamang, terlihat bimbang. “Tapi, bagaimana bisa? Mas tidak pernah terlibat komunikasi dengannya…”

“Apa Mas masih bisa berpikir cinta hadir dengan alasan?” tukas Aini, “cinta selalu hadir tanpa diminta, cinta itu juga yang membawa Wilda bergabung dengan IKPAR, dan sekarang, aku ingin Mas menyelesaikannya tanpa melukai keduanya.”

***

            Beberapa hari Almas mengurung diri, dengan kepergian Wilda untuk membenahi data observasinya, dia merasa justru lebih merana. Lantunan ayat suci yang tidak berhenti dibacanya selama tiga hari tidak kunjung menyembuhkan lukanya. Semakin dia menghayati arti dari ayat-ayat suci itu, semakin deras air mata tumpah membanjiri mushafnya. Tanpa istirahat, tanpa sesuap pun makanan mengisi lambungnya. Berkali-kali Linda dan Farha mengetuk kamar Almas, tetapi sang penghuni masih bungkam, sibuk dengan ayat-ayat pengobat lukanya.

“Kak, Kak Almas tidak keluar dari kamar, sudah tiga hari ini. Tidak menjawab panggilan kami, apa yang harus kami lakukan?” panik, Linda langsung menyerang Wilda dengan kekhawatirannya.

“Dobrak saja pintu kamarnya.” Wilda memberi solusi, “Aku pulang sekarang juga. Kemungkinan besok pagi aku tiba. Lakukan apapun yang kalian bisa untuk membuatnya keluar. Kalau perlu, telpon Mas Faiz. Nanti kukirimkan nomornya.” Entah mengapa selalu Faiz yang menjadi solusi terakhir.

Linda dengan segera menghubungi Faiz, setelah tenaga wanitanya tidak mampu mendobrak kamar Almas. Diluar dugaan, Faiz merespon cepat. “Aku kesana sekarang.”

Beberapa menit kemudian, Aini telah menggedor-gedor pintu kosan, dan langsung menyerbu masuk kedalam, melewati pernyataan Linda dan wajah panik Farha. Faiz untuk pertama kalinya memasuki kosan khusus wanita itu dan sama tegangnya dengan Aini.

“Al. Almas. Buka, Al.” Aini menggedor pintu, dan berusaha membuka kenopnya. Linang air mata kecemasan telah mengalir dipipinya. Faiz menyentuh bahunya dan mengisyaratkan untuk mundur.

“Hati-hati, Kak. Mungkin Almas ada tidak jauh dari pintu.” Farha memberitahu. Faiz mengangguk dan mengambil ancang-ancang untuk merusak kenop, bukan pintu. Dengan tiga tendangan, pintu triplek itu bolong dan mengayun pelan, memperlihatkan kondisi kamar Almas dan tubuh Almas dalam balutan mukena tergeletak dilantai memeluk mushaf didada kirinya.

Aini menyerbu masuk, dan berusaha mengangkat Almas dari lantai. Faiz terlihat berusaha sekuat mungkin untuk tidak mendorong adiknya dan mengangkat Almas dengan tangannya sendiri. Farha dan Linda membantu setelah Aini tidak mampu mengangkatnya keatas ranjang. Faiz terdiam, melihat sosok Almas yang kini terbaring dan memperlihatkan riak air mata di kedua pipinya yang membentuk jalur menghitam.

Terenyuh, sakit luar biasa. Faiz merasakan dada kirinya kini berdenyut hebat seolah menanti detik-detik terakhir hidupnya. Almas yang begitu kokoh tak mampu menyembunyikan kerapuhannya dihadapan sang Khalik. “Mas. Telpon dokter Frans.” Perintah Aini menyadarkannya untuk bertindak logis. Almas bisa saja sakit parah. Tiga hari tanpa makan dan tidur.

Faiz sungguh mengerti kepedihan yang dirasakan Almas, saat seorang yang dicintainya dan telah merengkuh janji untuk bersama justru mencampakkannya dan memilih wanita lain-sahabatnya-sebagai pendamping hidup selamanya.

Dia bukan tidak mengerti perasaan Almas, seperti yang telah Aini katakan dengan terang tiga hari yang lalu, tapi dia hanya tidak bisa tahan membiarkan Almas limbung tanpa pegangan. Dia tidak peduli jika hati Almas masih terpaut untuk Sulthon, hanya kebahagiaan Almas yang menjadi prioritasnya. Dia bersedia mengorbankan kebahagiaannya untuk menutupi luka Almas yang menganga. Apapun, untuk menyembuhkan hatinya seperti semula, seperti tujuh tahun lalu yang pernah diingatnya.

Beberapa jam setelah dokter memeriksa dan memberikan arahan kepada Aini mengenai obat-obat yang harus dikonsumsi Almas, termasuk cara memakai infus karena Almas tidak bisa membiarkan lambungnya menerima makanan setelah terluka begitu parahnya, Faiz masih mematung didepan pintu, menatap Almas tanpa henti, berkali-kali menyesal, karena dia ambil bagian dalam luka ini.

“Sebaiknya Mas pulang, aku akan menjaganya disini.” Tukas Aini saat melihat Faiz begitu merana. Faiz menggeleng, menarik nafas panjang.

“Mas akan menunggu disini,” ujarnya. “Tidak bisa, Ai. Mas tidak bisa hanya menunggu dirumah dan tidak tahu bagaimana kondisinya.” Lanjutnya saat Aini bermaksud protes.

Aini meluruskan tatapannya ke arah Almas yang kini mulai banyak berkeringat. “Aku tidak tahu apa ini baik untuk dilakukan. Tapi tunggulah diluar jika mengkhawatirkannya. Aku akan memanggil Mas jika terjadi sesuatu.”

Faiz menurut dan beranjak ke teras kosan. Sudah tengah malam, dan suara jangkrik mulai terdengar, mengisi ruang kosong dihatinya. Apakah yang akan dilakukan Almas saat terbangun dan melihatnya? Akankah dia menyambut permintaannya? Atau berbalik menjauhinya?

Sunyinya malam telah dikoyak oleh suara tilawah Aini, menggantikan Almas yang sebelumnya selalu mengoyak malam-malamnya, mengumandangkan tasbih berkali-kali ditepi ranjang Almas, diluar, Faiz duduk memejamkan mata namun tak bisa terlelap, dan diranjang yang lain, Zeola sedang belajar bangkit dibantu ibunya dengan Sulthon disisinya, menemani kesenyapan malam yang kontras dengan tempat sahabat mereka…

Pagi-pagi sekali, ketika Faiz selesai shalat Shubuh di masjid dan hendak kembali ke rumah kos Almas, Aini menelponnya. “Mas, Sulthon disini, dia memaksa bertemu Almas.” Tanpa menjawab lagi, Faiz berlari menuruni undakan tangga terus melesat sampai nafasnya tersengal. Dia melihat Sulthon terus memohon dibalik pintu yang ditutup Aini rapat-rapat. Emosi bergemuruh didadanya, tak lagi terelakkan, dia begitu ingin menghajar Sulthon hingga pingsan.

Namun, mendadak yang terlintas dibayangannya hanyalah, kegetiran dan gemetar yang Almas tahan saat Faiz nyaris melakukannya beberapa bulan lalu. “Apa yang kamu inginkan?” tanya Faiz dingin, tak ada kesabaran dari kata-kata yang diucapkannya. Begitu banyak yang ingin dikatakannya, tapi dia bungkam menahan semua perasaan yang nyaris meledak keluar bersamaan dengan kepalan tangannya.

Sulthon menoleh dengan cepat, dan tanpa ragu menghampiri Faiz. “Aku mohon, Kak. Aku ingin menjelaskan semuanya, aku tahu alasan ini tidaklah kuat, tapi aku yakin Almas akan mengerti…” Sulthon telah merengkuh satu lengan Faiz, meminta izin. Faiz ingin sekali menampar wajah dihadapannya ini atas segala masalah yang timbul akibat keberadaannya. Semua hal yang berubah tepat setelah kehadirannya diantara mereka lagi.

“Aku tidak bisa memahaminya,” Faiz berkata dengan dingin, menghempaskan tangan Sulthon dan mundur beberapa langkah, “sekeras apapun aku memikirkan alasan yang mungkin telah membuatmu berubah pikiran, aku tidak bisa mempercayainya. Kau mengkhianatinya, Sulthon.” Tukas Faiz, terlihat mengerikan dengan penekanan yang sama sekali tidak bersahabat.

Sulthon terlihat merana. “Aku tahu, Kak. Aku tahu aku sudah mengkhianatinya, tapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa membiarkan Zeola begitu saja setelah……….. Dia kehilangan rahimnya karena menyelamatkan nyawaku.” Lirih, Sulthon terlihat jauh lebih merana. Setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Samudra itu kini berombak, badai tengah menggoncangnya dengan kuat.

Pintu dibelakang mereka terbuka lebar, kedua pria yang berseteru berpaling. Terlihat Aini melangkah dengan wajah basah penuh air mata, membantu Almas berjalan keluar dengan wajah kaku yang sulit dilukiskan. “Lalu, untuk apa kamu menemuiku?” suara Almas jauh lebih mengerikan daripada Faiz.

Sulthon terpana melihat keadaan Almas. Almas yang dikenalnya… tidak seperti ini… Almas yang dikenalnya… tidak akan menampakkan wajah letih tak berdaya kepada orang-orang yang telah menyakitinya… Almas yang dikenalnya akan langsung pulih segera setelah cobaan itu berhasil dilompatinya… Almas yang dikenalnya…. apakah Almas telah menjelma menjadi orang lain dalam waktu 3 malam?

Almas masih berdiri dengan kedua tangan bersidekap dibawah dadanya, seolah melindungi diri dari serangan fisik yang tidak mungkin datang. Dia telah menurunkan tangan Aini yang bersikeras menopangnya, harga dirinya masih ada. Dia tidak akan pernah memperlihatkan sisi terlemahnya pada siapapun.

“Al. Afwan jiddan. Aku benar-benar memohon maaf darimu…..”

“Tidak perlu bertele-tele, Sulthon.” Potong Almas kejam. “Jika maaf yang kau minta, aku telah melakukannya sejak semalam. Hanya saja, butuh waktu panjang untuk melupakannya.” Suara Almas yang tenang terdengar kelam. Seolah setelah kata-kata itu dilontarkan, langsung menancap ke setiap sanubari yang mendengarkan.

“Lalu apa yang harus kulakukan untuk menebusnya? Aku tidak ingin melihatmu menderita dan itu semua sala—“

“Itu urusanku.” Potong Almas. Suaranya pelan namun dingin, mampu membuat Sulthon terperangah dan kemudian menyesali apa yang akan dikatakannya. “Aku memang sudah berfikir kamu lelah menungguku.” Almas tertawa hambar. Sulthon tersentak.

“Aku sama sekali tidak pernah berfikir untuk mundur, Al.. ini hanya masalah…. tanggungjawab. Aku bisa mengubah keputusanku, jika itu menyakitimu. Aku bisa membuat Ze mengerti…”

“Aku tidak sedang mengharapkan kau kembali setelah apa yang telah kau lakukan.” Tukas Almas tegas. Aini bergidik dibelakangnya, sementara Faiz terus melihat kedalam bola mata Almas, mencari perasaan gadis itu yang sesungguhnya. Namun, dia benar-benar hanya menemukan kekosongan dimata itu. Satu hal lagi yang membuatnya begitu ingin menghancurkan Sulthon. “dan aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kamu menyakiti hati Zeola dengan cara yang sama seperti yang kau lakukan padaku. Menikahlah dengannya. Aku akan tutup mulut mengenai semua yang pernah terjadi diantara kita, aku juga akan meminta Aini, Wilda, dan Mas Faiz untuk melakukan hal yang sama.”

Aini meremas bahu Almas, dan Almas tidak menolak perlakuannya itu. Sulthon terlihat hendak menangkis semua ucapan Almas, namun melihat kesungguhan Almas mengatakannya, dia tidak sanggup. “Aku tidak mencintainya, kamu tahu itu. Aku hanya mencin–”

“Aku tidak akan memaafkanmu jika kamu mengatakan hal ini pada Zeola. Belajarlah mencintainya, cinta yang seharusnya. Anggaplah kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya, Sulthon. Anggaplah pertemuan kita hanyalah kesalahan skenario yang Allah goreskan pada takdir kita berdua…”

Aini terisak dalam diam. Dia meredam suaranya dengan kedua tangannya yang telah melepas bahu Almas. Faiz menatap langit-langit, berusaha mencegah air matanya keluar, sementara Sulthon menatap Almas dengan sedih, gundah. Almas sudah memutuskan untuk melupakannya, dan itu pasti dilakukannya. Sebelumnya dia tidak pernah melihat Almas menarik keputusan yang telah diyakininya. Keputusan ini justru akan menyakiti mereka semua…

“Baiklah, Al. Aku menyesal, sungguh.” Matanya sayu menatap Almas yang tetap bergeming. “Aku— Semoga kamu bahagia. Assalamu’alaikum.” Sulthon pergi, melewati Faiz dengan cepat seolah dia khawatir akan kembali ragu pada detik-detik terakhir. Almas menarik nafas lega, Aini kembali meremas bahunya. Semburat warna telah terpancar dari wajahnya yang semula pucat, Aini merengkuhnya dengan sayang. Almas tidak lagi menangis seperti kedatangan Sulthon beberapa bulan yang lalu, tidak lagi.

Faiz memandang Almas dengan kepedihan hati yang menyayat, “Izinkan aku melamarmu, Al.” Pintanya, lirih. Almas membalas tatapan Faiz dingin, jawabannya sudah ada diujung bibir saat suara kelontangan pagar dibelakang Faiz, memunculkan sosok Wilda yang berkaca-kaca dan menghambur masuk kedalam rumah.

***

            Aini menatap Faiz tidak percaya dalam perjalanan pulang. Sejak tadi mereka membisu. Serta merta Almas berjalan cepat menyusul Wilda sementara Aini dimintanya untuk      membawa Faiz pergi.

Almas, yang masih tertatih menata hatinya kini mengetuk kamar Wilda yang tetap bergeming tidak membukanya. “Wilda… kamu kok langsung masuk kamar? Ada apa?” tegurnya parau. Wilda tetap diam. Almas tahu betul alasannya, tapi dia menunda serangan langsung dari Wilda dengan berpura tidak tahu.

Almas menunggu, sementara tubuhnya semakin lemah, Farha dan Linda hanya saling menatap dan kemudian memutuskan pergi tidak ikut campur dengan masalah pribadi kedua seniornya itu. Beberapa menit setelah menunggu, Wilda keluar, dengan wajah keras yang biasa dipasangnya ketika menghadapi musuh, ketika menhadapi geng jelita di MTs dahulu, Almas tahu betul.

“Kamu senang?” tuduhnya, Almas menatap mata Wilda nanar. Menunggu ledakan selanjutnya. “bertahun-tahun kamu tahu bagaimana perasaanku, dan sekarang, aku tahu kenapa Mas Faiz tidak pernah memandangku! Karena kamu!” sayatan ini lebih dalam dibandingkan sayatan yang pernah menembus hatinya kemarin. Lebih berakibat fatal, tak tersembuhkan.

“Bukan keinginanku, Wil… aku tidak pernah menginginkannya seperti ini… kamu tahu sejak dulu aku selalu mendukungmu.” Mohon Almas, jarak mereka hanya satu setengah meter, tapi Almas merasa mereka terpisah sangat jauh, dengan jurang dalam diantaranya.

“Heh, seperti aku tidak mengetahuinya saja.” Tuduhan Wilda semakin menjadi, “siapa yang tahu kamu hanya berpura-pura dibelakangku, menusukku dari belakang. Pengecut!”

Almas tersentak, “Astaghfirullah.. aku tidak akan pernah melakukannya Wilda.. kamu sudah seperti saudara bagiku, bagaimana mungkin kamu berfikir seperti itu, setelah sepuluh tahun kita bersahabat..” kilau air mata nyaris kasat mata, namun  dia menahannya.

“Sejak dulu, begitukah kau menganggapku?” sinis, komentar Wilda sangat melukai hatinya. Hancur sudah persahabatan mereka. “Aku merasakan hal sebaliknya. Bertahun-tahun aku khawatir kau akan merusak kepercayaanku seperti ini, selalu kekhawatiran, kamu tidak tahu kan bagaimana rasanya tumbuh besar dibawah bayang-bayang putri sempurna yang selalu menjadi poros segalanya?”

Almas bergeming, tak menduga sama sekali sedangkal ini persahabatan mereka. “Kamu tahu  aku tidak akan merebut Mas Faiz darimu!” jeritnya akhirnya. Wilda menatap Almas dingin.

“Seandainya kamu bukan temanku” tandasnya. Almas menatap mata sahabatnya itu dengan berkaca-kaca, “aku bisa bebas membencimu sepuasnya.”

BLAM

Suara pintu ditutup tetap tidak meredam suara karang yang pecah dihati Almas.

***

            Almas mengemasi barang-barangnya. Dia butuh waktu untuk memikirkan segalanya seorang diri, terlebih, dia ingin semua orang mengerti situasi seperti dirinya yang menyadari, kehadirannya ditengah kebahagiaan itu justru akan memperumit masalah. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukan Faiz atau Aini, mungkin dengan sejenak mengambil langkah menuju impiannya, dia akan bisa melupakan semua yang telah terjadi dan kembali dengan dirinya yang baru.

Almas dengan segera mengkonfirmasikan kebersediaannya mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Lintas Benua yang akan diselenggarakan di Berlin, Jerman selama dua tahun penuh untuk program doktor. Undangan yang telah diterima Almas dua pekan lalu tidak meruntuhkan tekadnya untuk kembali memulai langkah pasti menuju impiannya. Dia pergi tanpa berpamitan pada siapapun. Untuk kebaikan semuanya, dia tau dia harus melakukannya..

***

4 TAHUN KEMUDIAN..

Almas memandangi undangan pernikahan yang tergeletak diatas mejanya, menarik nafas panjang, dan memikirkan pilihan-pilihannya. Empat tahun penuh tanpa komunikasi dengan masa lalunya, sepenuhnya hidup dalam dunia yang benar-benar baru, hanya dinaungi langit yang sama, masih langit yang seringkali gelap, menunggu turunnya hujan, Berlin, Jerman.

Senyumnya merekah melihat nama yang terukir diatas undangan yang didapatnya dari Herald, teman satu fakultasnya yang menghabiskan liburan musim panas di Indonesia dan kebetulan masih bersaudara dengan Zeola. Hubungan pertama setelah empat tahun yang dibutuhkannya untuk menyembuhkan luka itu. Kini hatinya diliputi kerinduan, terutama kepada salah satu sosok yang dihormatinya… Sudahkah Mas Faiz bahagia? Sudahkah Sulthon dan Zeola memperoleh kebahagiaan mereka sepenuhnya? Sudahkah… Wilda memaafkannya?

Sudah diputuskan, sudah saatnya dia kembali. Kembali kepada negara yang dicintainya, kepada orang-orang yang dicintainya. Moment pernikahan inilah yang akan mempertemukan mereka. Betapa segala hal bisa seimbang mulai saat ini.

Usai menyelesaikan program doktornya, Almas memutuskan untuk tidak kunjung pulang, dia mengubur dalam-dalam luka di hatinya juga kerinduannya dengan menyibukkan diri dengan kegiatan di kedutaan Indoesia di Jerman. Setelah sukses menyatukan PPI se-Eropa dalam misinya membangun masjid-masjid dan pembebasan rakyat Islam yang terdiskriminasi di Eropa, begitu banyak yang dilakukannya, tapi tetap saja setiap malam, hatinya selalu gelisah, selalu membayangkan aktivitas penuh cinta di negri kelahirannya.

Pesawat yang telah mengantarkannya ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta mendarat pukul 08.00 WIB, Almas bergegas menyetop taksi dan memintanya untuk mengantar ke Masjid At-Tin, Jakarta Timur, disanalah resepsi akan diselenggarakan.

Tiba didepan gerbang masjid megah itu, Almas langsung tahu melihat dekorasi yang telah dipasang. Berbekal keteguhan hati, dia melangkah masuk. Selepas mengisi buku tamu, matanya bertumbukkan pada sosok Faiz, yang sedang menyalami tamu ikhwan dan kini menatap kearahnya, terpana. Tentunya dia tidak menduga kedatangan Almas sama sekali. Faiz buru-buru menyudahi pembicaraannya dan menghampiri Almas.

“Almas?” serunya terpukau. Almas tersenyum.

“Selamat ya, Mas.” Ujarnya tulus menangkupkan kedua tangannya didepan dada, Faiz masih terkesima. “Kukira, aku juga diundang?”

“Tentu saja!” Faiz berkata dengan senang hati, “Tapi bagaimana kamu tahu…..”

“Al!” seru suara yang tak lagi asing ditelinga Almas, Zeola datang berlari menghampirinya dengan Sulthon berjalan dibelakangnya. Almas serta merta memeluk Zeola dengan haru. Sungguh perpisahan itu begitu kejam, setelah air mata perpisahan ditumpahkan, kini dia harus kembali menangisi pertemuan mereka. Lama sekali rasanya mereka menumpahkan kerinduan, sampai akhirnya merasa cukup, mereka saling melepas peluk, saling menatap wajah saudarinya yang kini basah bersimbah air mata.

“Rindu sekali, Ze, rasanya senang sekali bertemu.” Ungkap Almas lirih. Sulthon telah berada disamping Zeola sekarang.

“Alhamdulillah kamu menerima undangan yang kutitipkan pada Herald, aku hampir frustasi mencarimu. Kupikir kamu tidak akan ingin menyianyiakan pernikahan ini.” Ze mencercanya dengan gemas. Almas tertawa dan menjawil hidung saudaranya.

“Untungnya kamu benar.” Tukasnya, kemudian menoleh ke arah Sulthon yang kini salah tingkah, “Senang bertemu juga denganmu, Sulthon.” Almas melempar senyum tulus kepadanya, kemudian berbalik menemui Faiz, “Jadi, dimana aku bisa menemui mempelai wanita?”

Faiz harus menguasai dirinya dulu untuk menjawab, “Kamu bisa mengantar Almas ketempat rias, Ze? Biar Sulthon membantuku disini.” Ze tersenyum lebar dan mengangguk.

Mereka berjalan cepat menuju masjid, Ze tidak berhenti-berhentinya menceritakan kalau mereka sudah memutuskan akan mengadopsi anak, Almas sangat senang mendengarnya dan bersedia memenuhi permintaan Ze untuk membantu memilih.

Almas berdegup kencang menunggu sampainya didepan pintu rias, kekhwatiran melandanya. Sudahkah mereka saling memaafkan.. sudahkah masa lalu itu kini tinggal kenangan?

Pintu itupun terbuka, Almas melihat wajah kedua sahabatnya dari balik cermin besar. Wilda yang lebih dulu, tidak seperti biasanya, melepas sepatu hak tingginya, dan berlari memeluk Almas. Air mata Almas mengalir deras, sungguh pertemuan yang mengharukan, setelah segalanya yang terjadi.

“Aku minta maaf, Al. Sungguh aku tahu aku keterlaluan menghakimimu sekejam itu, tapi—tapi—aku—“ direngkuhnya kembali tubuh Almas dengan erat, seakan tumpah sudah perasaan mereka. Aini menangis, tentu saja ditempatnya duduk, membuat riasannya berantakan.

“Aku mengerti, aku sangat mengerti.. Wilda.” Ujar Almas membalas tangisan Wilda dibahunya.

Setelah puas memeluk Wilda, kini tatapannya tertumbuk pada Aini, dengan gaun pengantinnya yang elegan dia menghampiri Almas, memeluknya juga dengan haru yang sama kuatnya.

Puas dengan kehangatan ini, Almas melepas pelukannya dan merengkuh wajah Aini, “Jadi, teman kecilku ini mendahuluiku! Benar-benar kamu ini.” Almas mencubit pipi Aini dengan lembut.

Aini tertawa, tidak ada lagi kata-kata yang mampu diucapkan dengan benar jika atmosfir perasaan begitu kental melayang diudara. Serta merta, Wilda menghampiri kedua sahabatnya, merengkuh bahu Almas.

“Aku menyerah, Al.” Ujar Wilda, dengan ketenangannya yang luar biasa. Almas memiringkan kepalanya, tidak mengerti kenapa Wilda memilih kata-kata itu. Aini melepas rengkuhannya kepada Almas, dan menatap kedua sahabatnya dengan pandangan sedih. Kisah ini begitu menyedihkan.

“Sudah satu tahun aku menyerah mengharapkan Mas Faiz beralih kepadaku.” Lanjutnya. Almas berusaha terlihat rileks, dia tidak menduga Wilda akan membicarakan hal ini dihadapannya. “Aku menyerah, sedih sekali melihatnya menderita seperti itu. Begitu inginnya aku mendapat kesetiaan sebesar itu, jika saja itu memang milikku. Tapi tidak, Al. Mas Faiz tidak pernah berhenti menunggumu.”

Almas tercengang, ingin sekali dia menangis lagi saat itu juga. Tapi tidak, banyak hal yang harus dikonfirmasikannya.

“Begitukah? Apakah Mas Faiz menyakitimu?” tanyanya sedih. Aini sudah menangis lagi, menolak perias untuk membenahi wajahnya. Zeola yang tidak mengerti, sedikit banyak menghela nafas, berusaha memahami sebab kepergian Almas..

Wilda mengangkat bahu, “Akulah yang sudah menyakiti diriku sendiri, Mas Faiz tidak pernah menolak keberadaanku, tapi dia tidak pernah memandangku, hanya pekerjaan yang menyita waktunya. Sampai aku tahu… semuanya dari buku diary-nya yang sudah ditulisnya selama 14 tahun. Aku merasa jahat sekali memisahkan kalian seperti itu..” Wilda menggeleng-gelengkan kepalanya. Riak air mata masih terus mengaliri pipinya.

Almas menghapus air mata yang mengalir dipipi sahabatnya. “Kamu tidak pernah memisahkan kami, Wilda… karena kami tidak pernah bersatu. Jangan salahkan dirimu.. karena—“ Almas menungu dan menarik nafas “ada beberapa hal yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu.”

Wilda kembali memeluk Almas begitu erat. Aini bergabung bersama mereka, menangis bersama. Setelah beberapa waktu, Almas melepaskan pelukannya, dan memandang kedua wajah sahabatnya dengan aliran rasa sayang yang begitu besar.

“Sudahlah. Ai, kamu tidak mau terlambat hadir saat akad kan?” candanya. Aini mengangguk, tapi terlihat berfikir.

“Al.. apakah.. apakah kamu.. masih…” Aini melirik kearah Zeola taku-takut. Almas mencegahnya melanjutkan perkataannya.

“Tidak, Ai. Seperti kataku. Waktu telah menyembuhkan segalanya.”

Aini terlihat bimbang, “Apakah… kamu bisa mencintai kakakku? Sudahkah hatimu berlabuh kembali?” Wilda menatap Almas lekat-lekat sekarang.

“Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya, Ai..” Almas berkelit.

“Please, Al, please.. Wilda sudah menyerah, dia ingin Mas Faiz bahagia, dan aku ingin kamu bahagia lebih dari siapapun…” Aini memelas. Almas melihat ke arah Wilda yang kini tersenyum tulus, ke arah Ze yang berseri-seri, dia menarik nafas panjang.

Kemudian mengangguk.

Aini memeluknya lagi, bahagia. “Mas, masuklah.” Faiz masuk dan memandang lurus ke arah Almas dengan tatapan yang tidak pernah dilupakan Almas, tatapan yang selalu memberikan ketenangan dan perlindungan, seperti delapan tahun lalu.

“Tawaranku empat tahun yang lalu masih berlaku, Al, jika kamu mau mengambilnya.” Faiz dengan mata sayu seolah telah lama menahan kerinduan ini berkata dengan lembut dan tegas. Almas tersenyum.

“Ya, aku akan mengambilnya.” Almas menyetujui dengan rona cantik diwajahnya. Ze memeluk Almas, sementara Faiz mendesah lega.

“Ini permintaanku, tolong kalian berdua mengabulkannya.” Aini berkata dengan serius, sama sekali bukan kebiasaannya. Almas menatapnya curiga. “Aku ingin, hari ini ada dua pernikahan” sebelum yang lainnya syok dan menolak, Aini melanjutkan. “Orang tua Almas sudah kuundang, mereka bagian keluarga, menurutku, dan orang tuaku pasti setuju, orang tua Mas Farhan pasti ikut bahagia. Ayolah. Ini impianku.”

Almas menggeleng-gelengkan kepalanya heran, tak habis pikir. “Please…” pinta Aini lirih.

Almas menoleh ke arah Faiz. “Siapkah Mas mengambilku dari waliku hari ini?” tanya Almas. Sementara Wilda dan Ze tercengang, Faiz mengangguk.

“Sesegera mungkin, harapanku. Sudah terlalu lama aku menunggu.”

Luapan bahagia terlontar dalam ruangan itu diiringi dengan kehadiran orangtua ketiga pihak yang bahagia merayakan pernikahan keempat anaknya.

Terkadang, kesabaran itu sangat diperlukan, baik untuk menunggu… maupun untuk membiarkan waktu memperbaiki masa yang telah berlalalu….

Oleh : Masturaa Aria, (Jl Wibawa Mukti Rt 01 Rw 06 No 53 Jatisari Jatiasih Bekasi), Img: jXjNHVQ1zSA/

Tinggalkan Balasan