Treng treng treng..
Suara pukulan kaleng berisi batu terdengar di jalanan daerah kota Tasikmalaya. Terlihat seorang bapak tua berumur sekitar 60 tahunan. Kulit wajahnya yang mulai keriput tak mampu menahan kucuran keringat yang mengalir di tepian bibirnya. Kumis tebal di bibirnya tak mampu menghalangi tarikan nafas kelelahan dari mulutnya. Kulit wajahnya yang kecoklatan tak mampu menyamarkan kulit merahnya yang terbakar sinar matahari yang cukup terik saat itu. Hanya tatapan matanya yang masih terlihat bertenaga, tatapan mata yang mengisyaratkan suatu tekad yang sangat besar berada dalam hatinya.
Orang tua itu bernama pak Deni, seorang tukang becak di daerah Kota Tasikmalaya. 25 tahun sudah Pak Deni menjadi penarik becak di kota ini, 25 tahun sudah beliau menjadi ‘pemilik’ jalanan di pusat kota Tasikmalaya. Pak Deni adalah seorang yang cukup di kenal di jalanan yang sering di sebut Hajet itu. Beliau dikenal sebagai orang yang ramah, beliau juga menjadi salah satu tukang becak senior di daerah tersebut. Beratus kali beliau melewati regenerasi tukang becak yang beralih profesi menjadi pedagang atau menjadi tukang ojek, mereka yang beralih profesi karena menilai menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang sangat melelahkan namun tidak sesuai dengan hasil yang didapatnya. Hal itu tidak berlaku bagi Pak Deni, beliau tetap setia menjadi penarik becak meski tak jarang ia pulang hanya dengan membawa uang 10 ribu rupiah saja. Baginya menghasilkan uang 10 ribu rupiah jauh lebih baik dari menghasilkan uang 100 ribu rupiah tapi dengan berhutang terlebih dahulu.
Pak Deni adalah seorang duda dengan satu anak yang sekarang menginjak kelas 3 SMA. Anaknya bernama Wildan. Istrinya telah lama meninggal pada saat WIldan berusia 10 tahun akibat penyakit kanker payudara dan keluarganya tidak mampu untuk membiayai pengobatan istrinya.
Wildan adalah seorang anak yang sangat baik, dia tidak pernah banyak meminta kepada ayahnya karena ia tahu bagaimana keadaan ekonomi mereka yang sangat kurang. Ia seorang anak yang bangga dengan apa yang ia miliki sekarang, terutama kebanggaannya pada ayahnya yang luar biasa besar. Ayahnya adalah sosok yang sangat ia kagumi karena kegigihannya dalam menafkahi keluarganya. Setiap hari mengayuh becak dari pagi hingga malam hanya demi keluarganya bisa tetap hidup dan anak semata wayangnya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Setiap akan menghadapi masa-masa ujian sekolah ayahnya selalu bekerja lembur menarik becak dari pagi buta sebelu matahari terbit sampai matahari menghilang, itu dilakukan karena masa-masa ujian adalah masa di mana anaknya harus membayar iuran sekolahnya, jika tidak tentu Wildan tak dapat mengikuti ujian sekolah. Perjuangan Pak Deni akhirnya membuahkan hasil, Wildan kini telah lulus dan sebentar lagi akan meninggalkan masa SMA-nya, walaupun Wildan tidak menjadi siswa dengan nilai terbaik namun hasil ujiannya sangat memuaskan dan membuat bangga ayahnya.
Pada satu malam setelah pulang shalat berjamaah di masjid, wildan mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah.
“Pak, Idan mau kuliah ya pak. Mau ambil jurusan kedokteran.” Ucap Wildan.
“Jang (nama panggilan ayah kepada anak di kalangan orang sunda), bapak senang kamu sekarang sudah lulus dengan nilai yang baik. Bapak juga bangga dengan semangat belajarmu yang sangat tinggi. Tapi…” belum selesai ayahnya berbicara Wildan langsung memotong pembicaraan ayahnya.
“Pak, Idan tahu kalau kuliah itu membutuhkan biaya yang besar apalagi di kedokteran. Idan juga sadar jika bapak saat ini sudah tidak muda lagi, tidak sekuat dulu mengayuh becak. Sudah seharusnya bapak istirahat di rumah. Idan tidak meminta uang bapak, Idan hanya minta do’a bapak agar cita-cita Idan menjadi dokter di ridhoi Allah. Allah pasti memberi kesempatan untuk Idan agar bisa kuliah, bapak tidak usah khawatir. Idan ingat dulu ucapan bapak saat Idan akan masuk SMA. Jangan menyerah dengan keadaan, bapak akan berusaha semampu bapak untuk menyekolahkan kamu, Jang. Jadi bapak tidak usah khawatir, Idan sudah mendapat bekal yang cukup dari bapak. Bekal semangat dan tekad Bapak, itu sudah cukup. Kemarin guru Idan menawarkan agar Idan mengikuti program beasiswa di salah satu tempat kuliah di Yogyakarta, Idan langsung terima dan kemarin sudah mengirim semua persyaratannya. Do’akan agar Idan bisa mendapat beasiswa itu agar bisa kuliah tanpa membebani Bapak. Idan juga sudah Tanya kepada alumni sekolah Idan yang kuliah di sana, ada banyak pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa di Yogyakarta sana. Itu bisa Idan gunakan untuk membiayai kehidupan Idan di sana.” Jelas Idan kepada ayahnya.
Pak Deni tertegun dan terharu dengan semua penjelasan anaknya. Anaknya yang dari dulu ia banggakan kini telah mampu merencanakan hidupnya. Ia pun tidak kuasa menolak keinginan anaknya.
“Ya sudah, Jang. Walau berat bapak menyetujui keinginanmu, tapi bapak tidak ingin menghalangi apa yang jadi cita-citamu. Kejar cita-citamu, Jang! Buat bapakmu yang bodoh ini bangga padamu, Jadilah orang yang berguna disana, jangan menghabiskan waktumu untuk hal-hal yang tidak berguna. Jangan pikirkan bapakmu yang renta ini, fokuslah kamu disana untuk belajar. Do’a bapak selalu menyertaimu.” Ucap ayahnya sambil berlinang air mata.
***
Alhamdulillah, anak semata wayangnya berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di fakultas kedokteran. Besok ia berangkat ke Kota Yogyakarta. Pak Deni hari ini libur tidak menarik becak untuk membantu persiapan keberangkatan anaknya ke perantauan. Berat rasanya ditinggalkan anak semata wayangnya, walau kepergiannya itu untuk mengejar cita-citanya. Tapi ia harus terlihat tegar agar tidak mengganggu konsentrasi anaknya dalam menuntut ilmu. Ia harus tampak ceria walau dalam hati ingin menangis.
***
Tiga tahun sudah Wildan menuntut ilmu di perantauan, ia kini tumbuh menjadi anak yang tampan dan berwibawa. Ia menjadi kepercayaan beberapa dosen di tempat kuliahnya karena keseriusannya dalam belajar dan nilai akademiknya yang cukup tinggi. Karena menjadi kepercayaan dosen, Wildan pun diminta menjadi asisten dosen dalam mata kuliah yang di ajarkannya. Penghasilannya sebagai asisten dosen mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari bahkan dapat dikirimkan kepada ayahnya walau nominalnya tidak besar, namun pasti cukup untuk menghilangkan kekhawatiran ayahnya terhadap dirinya di perantauan yang jauh dari keluarga.
Wildan masih tetap menjadi anak yang sederhana, tiap hari ia pergi ke kampus dengan menggunakan becak. Ia pun dengan bangga menyebutkan bahwa ayahnya adalah seorang tukang becak kepada teman-teman atau pun dosennya yang menanyakan asal-usulnya. Tidak ada yang memalukan dengan pekerjaan ayahnya, justru baginya menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang paling mulia, pekerjaan yang tidak hanya menghasilkan uang yang halal tanpa membebani orang lain, tapi juga pekerjaan yang menghasilkan banyak pelajaran bagi hidupnya.
Waktu begitu cepat berlalu, lima tahun menuntut ilmu di perantauan kini tiba saatnya Wildan untuk wisuda. Wildan dengan sangat senang mengabarkan kepada ayahnya bahwa minggu depan ia akan wisuda.
Dalam satu minggu itu Pak Deni bekerja dengan sangat giat, tak kenal lelah demi bisa pergi mendatangi wisuda anaknya. Ia harus bekerja ekstra karena harus mengumpulkan uang untuk ongkos pergi kesana. Sengaja beliau tidak memberitahukan pada anaknya bahwa beliau akan datang biar jadi kejutan pikirnya.
Namun perjalanan seseorang untuk mencapai keinginannya tidak selalu mulus, Pak Deni sakit karena terlalu memporsir tenaganya. 2 hari ia terbaring tidak dapat bekerja. Namun Alhamdulillah uang yang terkumpul sudah cukup walau hanya untuk ongkos berangkat kesana. Biarlah nanti pulangnya dipikirkan saat disana. Dalam keadaan sakit ia tetap bertekad untuk pergi ke Yogyakarta, tak apa jika ia harus sakit parah setelah itu, sakitnya terbayar dengan melihat anak semata wayangnya mengenakan baju kebesaran dan topi toga dengan membawa piagam penghargaan tanda lulus dari tempat kuliahnya seperti yang sering dilihatnya saat ia mengantarkan pelanggan becaknya ke acara wisuda anak-anak mereka. Kini ia merasakan sendiri bagaimana bangganya melihat anak yang selama ini diperjuangkannya menggapai mimpinya.
Hari yang di nanti pun tiba, Pak Deni telah sampai ke Yogyakarta sekarang bersiap pergi bersama anak kesayangannya. Dengan mengenakan pakaian terbaiknya baju batik khas Tasikmalaya yang telah pudar warnanya, ia berjalan beriringan menuju kampus anaknya. Setiap bertemu dengan teman-temannya Wildan dengan bangga memperkenalkan Bapaknya yang sering ia ceritakan kepada mereka.
Pak Deni merasa terharu dengan sikap anaknya yang tidak malu sama sekali padahal dilihat dari pakaian yang digunakannya ia jauh dari elegan seperti orang tua mahasiswa lainnya, tapi Idan anak kesayangannya nampaknya tidak mempedulikan hal itu, yang ia rasakan saat ini hanya rasa bangga pada dirinya dan pada ayahnya.
***
“Selanjutnya, dengan nomor induk mahasiswa 0690879 Wildan Tegar Anggara Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada lulus dengan IPK 3,70.” Suara dari pembawa acara terdengar dengan jelas di dalam ruangan.
Riuh rendah tepuk tangan seisi ruangan yang mendengar pengumuman dari pembawa acara wisuda mengantar Wildan yang langsung naik ke podium, Pak Deni tak mampu menahan air matanya melihat anaknya berjalan dengan gagah menuju podium untuk menyalami satu persatu pengajarnya.
“Allhamdulillah ya Allah.“ Ia bersujud syukur saat itu juga di tempat duduknya sebagai ucapan syukur atas rahmat kuasa Allah yang telah mengabulkan do’a ayah dan anak itu. Subhanallah.
Inilah bentuk balasan dari Allah atas apa yang telah beliau dan anaknya ikhtiarkan dan pasrahkan. Keyakinan luar biasa, kebulatan tekad mengantarkannya pada Ridho Allah atas apa yang ia harapkan.
***
Dua tahun berlalu setelah hari yang special tersebut, kini Wildan telah menjadi seorang dokter di salah satu rumah sakit di Kota Tasikmalaya, Pak Deni ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu akibat serangan jantung. Pak Deni meninggal dengan sangat baik dan terlihat tidak menyakitkan. Bukan karena memang tidak menyakitkan karena ia yakin sakaratul maut itu sangat menyakitkan sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad SAW dalam hadistnya, namun karena beliau telah merasa tenang setelah berhasil melihat anak semata wayangnya menggapai mimpinya dan menyaksikan langsung tergapainya mimpi anaknya sehingga tidak ada beban dalam hatinya saat ia tahu bahwa ia telah dihadapkan pada kematian.
Becak adalah satu-satunya barang peninggalan ayah yang diwariskan kepadanya. Becak itu masih tersimpan dengan cantik di Depan rumahnya yang kini bukan lagi sebuah gubuk. Becak itu disimpan di ruang tamu di dalamnya terdapat foto dia dan ayahnya saat ia di wisuda. Biar semua orang yang bertamu ke rumahnya tahu tentang perjuangan ayahnya dengan becak tersebut untuk menghidupi dan menyekolahkannya. Becak yang mengajarkan arti perjuangan, becak yang menjadi saksi betapa hebatnya kekuatan sebuah tekad dan harapan seorang ayah pada anaknya, becak yang menjadi sejarah terindah dalam hidupnya. Ya, becak itu adalah becak yang mampu mengantarkan semangat dan tekad dari tempat kelahirannya Tasikmalaya menuju tempatnya menuntut ilmu Kota Yogyakarta.
Becak, the spirit of Java.
Becak the spirit of my life.
Oleh: Galih Permana Putra, Mahasiswa kelahiran Ciamis