Hati-hati, Kenikmatan Sebenarnya Adalah Ujian!

0
649
Kenikmatan Sebagai Ujian

Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia (Ziinatu hayaatid dunya). Keduanya sama-sama memberikan warna dalam kehidupan, baik itu kesejahteraan maupun kebahagiaan dalam hati. Bahkan seringkali oang tua sangat membangga-banggakan putra-putrinya yag cantik, gagah, pintar dan cerdas. Kewajaran ini memang bukan berarti sebuah kesalahan, akan tetapi apabila salah dalam memposisikan anak sebagai harta yang paling dicintai ini sungguh sangat berbahaya. Sebagai orang tua, sungguhlah sangat bersyukur dikaruniai putra putri yang shalih dan shalihah. Lebih-lebih keshalihannya itu didukung dengan kepandaian yang luar biasa. Berbagai prestasi ditorehkan selama perjalanan hidup, banyak kejuaraan diraih dalam berbagai perlombaan dan lain sebagainya.

Namun perlu diingat bahwa itu semua hanyalah perhiasan semata, kita tidak boleh sama sekali lalai dengan kewajiban utama yaitu beramal shalih sebagai bekal nanti. Karena amal yang baik itulah yang akan senantiasa kita harapkan pahalanya kelak di akhirat. Anak tidak bisa dijadikan sebagai ketergantungan orang tua akan keselamatan dirinya di hadapan Allah SWT, anak bukanlah penyelamat yang ulung dan mampu menebus kesalahan dan dosa orang tua. Bukankah kita masih teringat kisah Nabi Nuh a.s, bagaimana sedihnya beliau saat putranya enggan naik ke dalam perahu saat banjir besar. Putra seorang Nabi Allah, bahkan sampai tidak percaya kepada orang tuanya sendiri. Ia memilih jalannya sendiri sehingga akhirnya celaka dan jauh dari keselamatan. Seperti itulah posisi seorang anak di samping orang tuanya.

Karena perhiasan sekaligus amanah dari sang Maha Pencipta, maka sudah sepantasnya hamba Allah menjaganya dengan baik dan penuh kepercayaan, tidak mendzalimi apa yang diamanahkan lebih-lebih pada Dzat Yang Maha Suci, Sang Pencipta alam semesta seisinya. Mendzalimi apa yang sudah dikaruniakan kepada seorang manusia, berarti tidak cukup bersyukur kepada yang memberi. Menyakiti apa yang sudah dianugerahkan kepada seorang hamba, berarti menyakiti pula Dzat Yang Maha Pemurah. Karena Dia memberikan apa yang kita butuhkan bahkan lebih dari kebutuhan kita, Dia senantiasa mencukupi rejeki kita tanpa perhitungan. Sebagian hamba diberinya hanya sekedar cukup untuk nafkah dirinya dan keluarga. Dan sebagian yang lain diberikan rejeki yang berlimpah, sampai-sampai ia harus menyewa gedung unuk menampung hartanya yang cukup banyak. Sungguh keberuntungan yang besar, jika rejeki yang banyak itu dibarengi dengan keturunan yang shalih dan shalihah. Alangkah bahagianya kelak di akhirat, mereka reuni bersama anggota keluarganya; ayah kandung, ibu kandung, dan anak-anak kandung keduanya. Mereka bercengkerama dalam sorga yang keindahanya melebihi keindahan apapun di dunia ini. Dipan-dipan yang terbaik, gelas-gelas yang bersinar dan minuman yang tidak memabukkan, menjadi bagian dari hari-hari keluarga bahagia itu.

“Ya Allah, semoga Engkau jadikan keluarga kami menjadi keluarga yang senantiasa dekat dengan-Mu. Mendapatkan ridho-Mu dalam segala amal shalih kami, dan senantiasa Kau anugerahkan ampunan pada kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang kami lakukan”.

Sederet doa ini barangkali pernah kita lantunkan dalam keheningan malam, di kala keluarga mendapatkan kesusahan atau kebahagiaan atas nikmat-nikmat-Nya. Anak-anak dan harta yang berharga menjadi hiasan hidup yang sama sekali bukan yang terpenting, melainkan semua itu adalah bonus dari Sang Pemberi Rizki. Karena memang keduanya tidak bisa disamakan dengan amal shalih seorang hamba. Amal shalih melebihi keduanya bila memang diterima oleh Allah SWT. Alangkah bahagianya seseorang yang dikaruniai umur panjang dan amal shalih yang banyak. Timbangan kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, niscaya kelak akan datang kepadanya, sosok malaikat Allah yang memberikan buku catatannya dari sebelah kanan dan diterimanya dengan tangan kanan yang ikut tersenyum atas pemberian itu. Lalu wajah hamba ini bersinar-sinar, berseri-seri dan cerah bagaikan bulan purnama karena mendapatkan keberuntungan yang agung.

Oleh karenanya, amal shalih yang dilakukan secara terus menerus setidaknya menjadi tabungan kita di akhirat kelak dan bekal perjalanan menuju Allah SWT. Betapa panjang dan jauh perjalanan kita untuk sampai pada Dzat yang Maha Suci, berjumpa secara langsung di sorga-Nya bersama hamba-hamba shalih lainnya. Perjalanan hidup kita, kalau mau dihitung sejak dalam kandungan sampai masuk dalam liang lahat tidaklah cukup lama. Dalam kandungan 9 bulan ditambah, 60 – 70 (atau lebih) tahun di alam dunia. Setelah itu, kita akan berjalan dengan menempuh perjalanan yang amat sangat jauh. Waktu sekian puluh tahun tersebut adalah masa paten untuk kita mengumpulkan bekal berupa amal shalih. Mau minta ke mana lagi tatkala amal jariah kita sedikit? ilmu kita tidak banyak yang bermanfaat bagi sesama, dan kita tidak bisa menjamin keturunan kita menjadi anak yang shalih-shalihah semua? Pertanyaan ini mari kita renungkan dan pahami bersama serta kita tindak lanjuti dalam pola hidup kita yang belum teratur sesuai Al-Qur’an dan Hadits.

Sungguh kerugian yang sebenar-benar kerugian yaitu seorang hamba yang rugi dunia dan rugi akhiratnya. Banyak diantara kita mungkin pernah merasakan kerugian yang besar di dunia ini, namun masih bisa tergantikan dengan yang lain. Atau Allah menggantikan dengan sesuatu yang lebih besar manfaatnya. Dikatakan bahwa “Rugi dunia tak jadi apa, Rugi akhirat bakal celaka”. Rugi dunia saja kalau kita masih mau berhusnudzan (positif thinking), sebenarnya bukanlah kerugian melainkan keberuntungan yang besar. Dikatakan bahwa ada seorang kaya raya yang mengalami kerugian dalam perusahaannya. Siang di tempat kerja, malam lembur. Paginya berangkat lagi. Dan begitu seterusnya. Padahal anak-anaknya sudah menginjak usia remaja dan dewasa.

Singkat cerita salah satu anaknya terkena kasus narkoba dan berurusan dengan kepolisian. Masalah pun kian menumpuk. Perusahaan bangkrut dan keluarga berurusan dengan penegak hukum. Pada suatu malam, keluarga tersebut menginstrospeksi diri (muhasabah) kenapa ujian mereka cukup berat. Dan ditemukanlah beberapa kesimpulan dengan menggunakan kepala yang dingin. Pertama, bapak sebagai kepala keluarga terlalu sibuk sendiri di perusahaannya sehingga perhatian terhadap anak-anaknya kurang bahkan nol besar. Kedua, ketidakmampuan seorang ibu yang mengurus putra-putrinya sendirian karena memang perhatian kepada buah hati tdak cukup oleh seorang ibu.

Setelah kejadian ini, secara perlahan masalah dapat diselesaikan meski dengan tertatih-tatih. Dan akhirnya mereka menyadari bahwa perhatian terhadap amanah Allah tidak bisa dikesampingkan dengan seenaknya saja karena mengejar dunia. Kerugian dunia keluarga tersebut tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kerugian akhirat yang disebabkan oleh kesalahan seorang hamba dalam membina rumah tangganya. Lalu apakah kita mengatakan bahwa kerugian perusahaan keluarga tersebut merupakan kerugian yang harus disesali? Mari kita renungkan bersama.

Demikianlah Allah memberikan ujian dan cobaan pada hamba-hamba-Nya yang berupa kebaikan dan keburukan. Suatu saat Dia memberikan banyak kebaikan dan kenikmatan pada hamba-Nya seperti rumah bak istana, kendaraan yang mewah, dan keluarga yang pandai dan cerdas. Namun semua itu perlu disadari, bahwa kebaikan yang diterima merupakan salah satu ujian hidup. Kategori ujian seperti ini sungguh banyak yang lalai dan kurang menyadarinya. Selain itu yaitu ujian berupa keburukan yang berupa kekurangan harta, kematian, kehilangan tempat tinggal karena bencana dan lain sebagainya. Sungguh untuk ujian yang satu ini banyak hamba-Nya yang mengeluh, tidak kuat dan ingkar terhadap kenikmatan-kenikmatan yang pernah diterimanya.  Terkait hal ini, Allah SWT  telah berfirman dalam Q.S Al Anbiya :36 yang artinya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (Author: Wawan Hariyanto, S.Pd.I)

Tinggalkan Balasan