Inklusifisme Pesantren

0
362

Pada era globalisasi sekarang ini, Alvin Toffler penulis buku The Third Wave, membayangkan akan terciptanya “masyarakat informasi” (the information society) , sebagai dampak adanya abad informasi (information age) yang sulit dihindari oleh negara manapun, termasuk Indonesia. Sehingga fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam berbagai aspek, sebagai konsekuensi-logis dari penerapan teknologi tinggi (high-technology), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di Dunia. Daniel Bell, menyebutnya dengan abad masyarakat pasca- industri (the post industrialized society) .

Sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan Islam dalam dunia Muslim , tidak banyak lembaga pendidikan Islam yang mampu untuk bertahan seperti Pesantren. Kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum. Pesantren telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad (mulai abad ke-15 hingga sekarang) dan sejak awal berdirinya, pesantren telah menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Dilihat dari transformasi sosial budaya, sikap para kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan menjadi dua kelompok.

Pertama, para kiai yang mempertahankan nilai ortodoksi Islam dalam sistem pendidikan pesantren dengan cara-cara melakukan usaha-usaha untuk melestarikan tradisi ulama-ulama salaf. Oleh karena itu, kiai ini disebut kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut dengan pesantren salafiyah. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa mereka tidak menolak perlunya pembangunan atau modernisasi sarana dan prasarana fisik pesantren, perengkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain, para kiai salaf tadi membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan prasarana pendidikan dipesantren mereka.

Kedua, para kiai yang sudah memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam. Mereka dikategorikan sebagai kiai khalaf dan pesantren yang mereka pimpin dinamakan pesantren khalafiyah.

Gambaran di atas mengindikasikan bahwa pesantren tidak phobia, tidak anti perubahan sosial, tidak anti pembaharuan, tidak anti modernisasi dan tidak ekslusif. Keaslian dan dan kesejatian unsur-unsur tradisi pesantren tetap dipertahankan sementara unsur-unsur modernisasi dapat pula diserap oleh pesantren. Dalam memberikan respon terhadap arus transformasi sosial budaya yang begitu cepat, banyak pesantren (terutama yang bersentuhan dengan pengaruh peradaban modern) melakukan terobosan-terobosan, modifikasi-modifikasi terhadap sistem pendidikannya.

Pesantren-pesantren tersebut telah membuka sekolah/madrasah dengan sistem klasikal sejak dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ini pertanda fenomena penting keberadaan dan sistem pendidikan pesantren sejak perempat terakhir abad ke-20.  Masyarakat santri merupakan salah satu kelompok yang sangat penting dalam umat Islam di Indonesia. Kepercayaan, sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat pesantren, terutama cara saling mempengaruhi masyarakat luar pesantren dan anggapan bahwa pesantren sebagai “alternatif ideal”  membuat kebudayaan pesantren agak berbeda daripada masyarakat Indonesia pada umumnya, dan juga umat Islam yang lebih luas.

Oleh karena itu, menurut Abdurrahman Wahid misalnya, kebudayaan pesantren bisa dibicarakan sebagai sub-kultur. Pesantren dan masyarakat santri, dalam pemimpinan kiai, sudah membentuk Islam di Indonesia sejak zaman awal, seperti dikatakan oleh Benda, “Memang, sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial dan ekonomi di Indonesia”.   Pengaruh masyarakat santri terhadap masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran pesantren sebagai pusat tarekat  maupun pendidikan anak-anak. Hal ini menunjukkan adanya keyakinan masyarakat pesantren sebagai sarana alternatif pendidikan agama Islam yang  mengajarkan nilai-nilai inklusifistik, egalitarian (tasammuh), persaudaraan (ukhuwah), berpikir rasional-analitik (tawassut) yang saat ini semakin memudar seiring banyaknya komersialisme dalam dunia pendidikan.

Author: Moh. Toriqul Chaer, Img: wikimapia

Tinggalkan Balasan