Judul kitab : Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Matni al-Jurumiyyah
Nama pengarang : Al-‘Allâmah al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
Tebal kitab : 28 halaman
Peresensi : Noviasari Maimunah
***
Agama Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabinya. Sebagai penyempurna ajaran agama Islam, Allah telah menurunkan master piece-Nya kepada nabi terbaik, nabi pilihan, dan nabi terakhir, Muhammad saw.
Sebagai salah satu kader bangsa Quraisy arab, Nabi Muhammad tentunya juga menggunakan bahasa percakapan untuk berkomunikasi berupa bahasa Arab. Kaum Nabi Muhammad pun, pada awal dakwahnya, merupakan bangsa Arab Makkah. Oleh karena itu, Allah menurunkan buku petunjuk untuk umat Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab pula.
Pada masa permulaan Islam, bahasa Arab masih murni dan terjaga serta bebas dari pengaruh bahasa asing di luar Arab. Namun, setelah wafatnya nabi, umat Islam mulai melakukan ekspansi ke berbagai negara, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas menyebabkan masyarakat Islam Arab mulai bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat non Arab. Sehingga sedikit demi sedikit, bangsa Arab mulai mengikuti pola dan gaya budaya masyarakat non Arab. Salah satu aspek budaya yang ikut terpengaruh adalah gaya bahasa.
Bahasa selain Arab, yang dalam kitab klasik seringkali disebut sebagai bahasa ‘ajamiy, sudah mulai dipakai sedikit demi sedikit oleh bangsa Arab. Gaya bahasa ini pun mulai merambah ke daerah-daerah asli Arab. Kondisi yang seperti ini mungkin tidak akan memberi pengaruh besar bila hanya terjadi beberapa tahun saja. Namun, bila gempuran budaya luar itu terus masuk selama puluhan tahun, meskipun sedikit, maka budaya lokal pasti akan hangus, tak bersisa.
Itulah sekilas yang terjadi pada masyarakat Arab setelah sekian ratus tahun sepeninggal Rasulullah, Muhammad saw. Banyak bangsa Arab sendiri yang sudah melupakan tata bahasa Arab yang murni. Sehingga, untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadits, yang notabene menggunakan bahasa Arab murni (klasik), mereka merasa kesulitan. Oleh karena itulah, kemudian muncul ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu nahwu.
Ilmu nahwu merupakan ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dikaji. Ilmu ini sering kali disebut-sebut oleh ulama sebagai “ummu al-‘ilm” (ibu segala ilmu), karena dengan ilmu ini kita bisa mengetahui posisi atau kedudukan suatu kata dalam susunan kalimat dan memelihara lisan dari kesalahan melafalkan bahasa arab yang merupakn modal dasar mempelajari ilmu-ilmu syari’ah yang lain. Pada gilirannya, ilmu ini digunakan sebagai perantara untuk memahami al-Qur’an dan al-Hadits. Disamping itu, ilmu nahwu juga disebut sebagai “ilmu alat” karena semua ilmu agama, seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, tasawuf dan semua ilmu yang berbahasa arab akan mudah dipahami bila telah menguasai ilmu ini.
Kitab Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Matni al-Jurumiyyah merupakan sebuah kitab dasar dalam ilmu nahwu yang merupakan sharh dari kitab matan al-jurumiyah karangan Imam al-Shanhaji atau lebih dikenal sebagai Ibnu Ajurum. Kitab ini, sebagaimana kitab matannya, merupakan kitab yang sangat populer di kalangan santri dan termasuk satu dari sekian mata pelajaran yang distandarisasikan untuk kalangan santri pemula di pesantren.
Kitab ini terdiri dari 25 bab dan dilengkapi dengan taqrizdât di bagian awal kitab. Taqridzât ini ditulis oleh salah seorang pecinta muallif yang namanya tidak disebutkan, membahas secara singkat namun menukik pada materi substansial ilmu nahwu. Selanjutnya, dalam taqridzât ini pula disinggung sekilas pertumbuhan embrional ilmu nahwu, yang diawali oleh rintisan seorang sahabat yang bernama Abu al-Aswad al-Duâly, serta hadits-hadits yang menyebut arti penting dan kedudukan ilmu nahwu.
Taqridzât, dilanjutkan dengan bab al-kalam, yang merinci definisi kalam, aspek-aspek pembentuk kalam (isim, fi’il, huruf) yang dilengkapi dengan contoh-contoh (shûrah). Selanjutnya bab al-i’rab mengikuti bab terawal ini. Rincian dalam bab ini berkisar pada haddu al-i’râb, naw’u al-i’râb, lengkap dengan shûrah dan amtsilah. Bab ketiga adalah bab ma’rifati ‘alâmâti al-i’râb, yang mengurai alamat-alamat i’râb yang empat (rafa’, nashab, jar dan jazm), kalimat-kalimat tempat alamat-alamat i’râb itu berbeda. Selanjutnya adalah 23 bab yang secara berturut-turut membuat kajian kilas -namun demikian tetap mengenai detil obyek tentang beberapa peristilahan dalam bidan nahwu seperti: penjelasan marfû’ati al-Asmâ’ (isim-isim yang dibaca rafa’) secara global yang kemudian dirinci pada bab-bab setelahnya yakni bab fâ’il, nâibul-fâ’il, mubtada’ khabar, al-‘awâmili ad-dâkhilati ‘ala al-mubtada’ wa al-khobar, an-na’at, al-athafi, at-Taukidi, al-badali yang kemudian dilanjutkan pada bab manshûbati al-asma’ secara global yang kemudian dirinci juga pada bab-bab selanjutnya yakni mengenai maf’ûl bih, mashdar, dharaf, hâl, tamyîz, istitsnâ’, bab lâ, munâda, maf’ul min ajlih dan maf’ûl ma’ah. Pada bagian terakhir dari kitab ini adalah sebuah bab tentang makhfudlâti al-asmâ’, isim-isim yang mempunyai kondisi permanen jar pada huruf akhirnya. Kajian utama dari bab ini adalah susunan mudlâf-mudlâf ilaih serta beberapa aspeknya.
Ke-25 bab ini tersusun dalam suatu sistematika yang runtut dan urut yang mengikuti alur-gradual, mulai dari pembicaraan tentang aspek-aspek kalam yang eksklusif sampai yang inklusif, yang dengan demikian sajian diskripsionalnya memberikan perspektif nahwiyyah utuh, lengkap dan sistematik.
Namun demikian, dalam kitab ini tidak banyak memberikan contoh-contoh konkrit dan menyisakan banyak persoalan yang belum terselesaikan. Salah satu contoh adalah banyaknya bab yang diakhiri dengan redaksi “Tuthlabu fî al-Muthawwalât” (Perlu dicari lebih lanjut dalam kitab yang lebih besar/luas). Banyak bab-bab yang menyisakan syarat-syarat penting untuk diketahui tetapi tidak dijelaskan dalam kitab ini.
Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa kita pandang sebagai sebuah kelemahan, melainkan sebagai suatu kelebihan karena memang kitab ini diperuntukkan bagi pemula. Bagi para pemula, penjejalan pemahaman yang terlalu rumit akan membuat orang menjadi malas untuk mempelajari ilmu nahwu.
Secara keseluruhan, terlepas dari cerita magis bahwa kitab ini bertahan direndam selama 40 hari di dalam air, merupakan kitab yang patut menjadi pegangan bagi para santri pemula yang benar-benar ingin mendalami atau mempelajari kitab yang berbahasa Arab (kuning). (Img: pustakamuhibbin)