Deretan perempuan berkerudung tampak berdiri sambil mendongak ke atas langit, Selasa 9 Juli 2013. Mereka mengenakan kacamata hitam. Di depan mereka, seorang laki-laki meneropong langit menggunakan teleskop besar. Semua tampak serius. Itulah anggota Club Astronomi Santri Assalam (CASA) di Pondok Pesantren Modern Assalam, Pabelan, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Perempuan berkerudung dan pria yang mengamati objek langit itu tak lain merupakan santri dan santriwati yang menempuh pendidikan di pondok pesantren modern itu. CASA didirikan bertepatan dengan Hari Astronomi tanggal 16 April 2005. Awalnya, klub astronomi ini hanya punya satu teleskop kecil, bantuan dari Kementerian Agama.
CASA dulu hanya dianggap sebagai klub amatir biasa yang menjadi bagian dari kegiatan ekstrakurikuler di Pondok Pesantren Assalam. Peminat klub ini pun sedikit. Kegiatan CASA banyak bersentuhan dengan Islam, misalnya melakukan rukyat melalui pengamatan hilal (bulan sabit) untuk menentukan permulaan dan penghabisan puasa Ramadan, menentukan arah kiblat, dan melihat gerhana.
Namun seiring waktu, CASA makin berkembang dan mendapat tempat prestisius di kalangan komunitas pencita ilmu falak (perbintangan). CASA menjalin kerja sama dengan Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, Jawa Barat, dan membangun jaringan internasional dengan Astronomers Without Borders, Astronomy Clubs, Moonsighting Committee Worldwide, sampai National Aeronautics and Space Administration (NASA) milik pemerintah Amerika Serikat.
“Kami membangun jaringan dan ikut dalam komunitas astronomi level internasional,” kata pengajar Ponpes Assalam, Ustad AR Sugeng Riyadi. CASA bahkan mendapat serifikat dari NASA karena berhasil mengamati dan mendokumentasikan Transit Venus pada Juni 2012. Transit atau gerhana Venus ini fenomena alam langka yang terjadi 105 tahun sekali ketika planet Venus melintas tepat di permukaan matahari.
CASA terus tumbuh. Kini klub astronomi pesantren itu telah memiliki 10 teleskop bernilai ratusan juta rupiah. Di dalam kompleks pesantren bahkan dibangun observatorium lengkap dengan kubah astronomi atau dome yang menyerupai Observatorium Bosscha. Dome itu terletak di lantai enam Gedung Assalam Center II. Sebelum membangun observatorium, pihak pengasuh CASA melakukan studi banding ke Bosscha untuk mengetahui detail pembangunan dome.
“Kami juga sedang berencana mendatangkan teleskop yang cukup besar untuk mengisi dome tersebut. Tapi pengadaan teleskop itu masih menunggu karena harganya bisa mencapai ratusan juta hingga Rp1 miliar,” kata Sugeng.
Berawal dari hilal
CASA sekarang kerap menjadi pusat pengamatan hilal untuk menentukan awal bulan Ramadan. Sejak dua tahun terakhir, Kementerian Agama memanfaatkan fasilitas yang dimiliki CASA untuk mengamati hilal di wilayah eks Karesidenan Surakarta. Tak hanya itu, pengamatan hilal yang dilakukan CASA juga bisa dilihat live streaming melalui situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Hilal ini pula yang menjadi salah satu motivasi pendirian CASA delapan tahun lalu. Sugeng saat itu prihatin karena selalu ada perbedaan penentuan awal bulan Ramadan di tanah air. “Saya bertanya-tanya kenapa di era modern seperti ini bisa muncul perbedaan awal Ramadan,” kata dia.
Keprihatinan Sugeng bertambah karena banyak santri dan karyawan di Ponpes Assalam yang tidak memahami hilal. “Jika jika berbicara tentang hilal, maka mau tak mau kita harus belajar astronomi. Maka terbentuklah CASA,” ujar Sugeng.
Ia menyadari ilmu astronomi tak begitu popular di kalangan masyarakat. Padahal Islam terkait erat dengan astronomi karena penentuan waktu ibadah salat, penentuan 1 Ramadan, dan penentuan Idul Fitri serta Idul Adha, semua dilakukan melalui astronomi. Kini CASA kerap membuka pengamatan astronominya untuk umum agar masyarakat dapat memahami pentingnya ilmu ini. (Viva)
Berita yang sangat menggembirakan, namun kalau bisa jangan diawali dengan Wow, karena Nabi Mengajarkan untuk mengucapkan Alhamdulillah atau Subhaanallah…