(Cerpen) Cinta Membuatku Tersesat di Jalan Kebenaran

0
582

Jika kau bertanya kepadaku apa alasanku mengenakan pakaian tertutup begini, maka aku akan menjawab “Tentu saja karena panggilan hati”. Namun sebenarnya bukan itu yang dikatakan oleh hatiku. Ia akan berkata, “Bukankah karena lelaki itu?” Jawaban yang satu itu benar karena hatiku tidak dapat berbohong. Semua ini bermula setahun lalu saat aku mulai tertarik kepada seorang lelaki, Bayu namanya. Seorang lelaki manis, murah senyum, dan saat itu menjabat sebagai ketua salah satu organisasi sekolahku. Memang sudah setahun sebelumnya aku tahu dia satu sekolah denganku dan kelasnya bersebelahan dengan kelasku, namun baru saat itu aku tertarik padanya.

Nina yang dulu berbeda dengan Nina yang sekarang, semua gara-gara Bayu. Tapi aku bersyukur hal itu terjadi dan proses menjadi Nina yang baru sangat mengesankan. Dulu, pakaian seragamku tidak panjang seperti sekarang juga tidak ada kain yang menutupi kepalaku. Beberapa perilaku yang dulu sering kulakukan kini sudah tidak lagi kulakukan, seperti ber-gossip ria dengan teman-teman sebelum kelas dimulai. Namun Nina tetaplah Nina meskipun terjadi beberapa perubahan pada dirinya. Nina tetaplah gadis biasa yang sedang berusaha menapaki jalan kebenaran.

Setahun yang lalu, aku sama sekali tak punya pengalaman dekat dengan lawan jenis, mungkin hanya sekedar mengagumi seseorang. Namun karena banyak temanku saat itu yang lebih ahli dalam urusan tersebut, mereka memberiku pelajaran harus bagaimana jika menyukai lelaki. Mereka mengajarkan tindakan yang mereka sebut sebagai “PDKT”. Sebuah pelajaran yang sekarang aku tahu itu salah. Dalam ajaran teman-temanku tersebut,  salah satu cara “PDKT” adalah berusaha menarik perhatian si dia dengan mengetahui tipe wanita yang diinginkan olehnya. Karena ingin melaksanakan ajaran tersebut, aku bertanya pada temanku yang sekelas dengan Bayu, Lana. Saat pertama kali aku bertanya, Lana tak langsung menjawab karena menurutnya dia perlu bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Diliputi rasa malu dan cemas, aku meminta Lana tidak mengatakan bahwa aku lah yang menanyakan hal tersebut padanya.

“Dia suka cewek yang hatinya baik lho, yang selalu berusaha menghindari larangan dari Allah…” Begitu kata Lana tiba-tiba saat kami bercakap-cakap saat jam istirahat.

Jawaban tersebut memberikan angin segar dalam paru-paruku. Tidak sulit untuk melakukan itu, sepertinya. Maka setelah pembicaraan tersebut aku mengoreksi sifat dan sikapku. Sudahkah aku memenuhi kriterianya, dan juga manakah perilaku yang seharusnya kuubah untuk mendapatkan perhatiannya. Aku bertanya pada setiap temanku tentang sifat dan sikapku. Aku juga bertanya pada mereka bagaimana ciri-ciri orang yang hatinya terjaga menurut mereka. Tak jarang mereka bertanya balik kenapa aku menanyakan hal itu, namun kuacuhkan.

Mengubah perilaku ternyata bukanlah hal mudah, apalagi bila perilaku tersebut sudah mendarah daging. Terpikir sebuah cara yaitu menuliskan sifat dan sikap apa yang harus kuubah sehingga apabila sifat atau sikap tersebut kambuh aku tetap bisa menandai kalau hal tersebut salah. Dasar, gara-gara Bayu aku melakukan semua itu. Lalu setelah aku merasa telah memenuhi kriteria yang satu itu, dengan PD aku menanyakan lagi pada Lana tentang kriteria yang lain.

“Dia suka cewek yang berjilbab…”

Merasa tertindih sebuah batu yang cukup besar, aku tetap berusaha menerimanya. Sepertinya aku harus menyerah saja untuk merebut hatinya. Membayangkan aku memakai kain itu di kepalaku untuk waktu yang lama saja sudah membuat sesuatu di perutku menggeliat. Apalagi jika benar-benar melakukannya.

“Semangat, Nin. Kamu pasti bisa kok.” Lana sepertinya mengatakan itu karena melihat perubahan raut mukaku.

Dengan senyum yang sedikit kupaksa, aku berpikir dan berpikir lagi. Haruskah aku melakukan perubahan itu demi seseorang yang kuanggap istimewa. Mungkin kalau aku melakukan itu, dia bisa tertarik padaku. Tapi bisa jadi dia telah menaruh hati pada orang lain dan semua pengorbananku ini akan sia-sia. Aku tahu memang berjilbab adalah perintah dari Allah, namun aku belum rela mengenakan pakaian tertutup begitu secepat ini. Aduh, aku benar-benar bingung.

Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk membicarakan rencanaku untuk mengenakan penutup kepala kepada ibuku. Entah apa yang akan dikatakan ibu.

“Wah, ya bagus toh itu. Ibu setuju, sangat setuju. Kalau kamu benar-benar sudah siap ya ibu dukung keinginanmu itu. Tapi kok tiba-tiba? Ada apa?”

Aku kaget mengetahui ibuku begitu antusias mendengar rencanaku. Padahal tak pernah sekali pun ibu memaksaku memakai kain itu. Dengan meringis aku menjawab pertanyaan ibu, “Ndak ada apa-apa, Bu.”

“Oh, ya sudah. Yang konsisten pakainya, yang benar juga. Jangan kayak ibu gini. Lurusin niatnya juga lho.”

Deg, kata-kata terakhir ibuku sepertinya menyindirku. Tapi kenapa ibu bisa ngomong begitu. Ah, mungkin cuma kebetulan ibu ingin memberi wejangan seperti itu. Yang penting, deklarasi persetujuan yang telah “ditandatangani” oleh ibuku tersebut semakin memberiku semangat untuk memakai kerudung.

Beberapa hari setelahnya, entah setan atau malaikat yang merasuki diriku, aku memakai seragam yang berbeda dari seragam lamaku. Teman-teman sekelasku ribut melihat perubahan pada diriku. Mendengar pujian dari mereka membuat hatiku sedikit bergolak, seperti bukan aku yang dipuji. Memang bukan aku, karena aku tak melakukan ini untuk diriku melainkan untuk orang itu. Aku tak suka dengan pujian itu, aku merasa tak pantas dipuji seperti itu. Makin lama dadaku makin sesak, entah mengapa. Seperti ada anak panah yang terus berusaha mengoyak jantungku.

Aku berjalan lemas menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan ternyata Bayu berjalan dari arah berlawanan. Perasaan yang kurasa saat itu berbeda dari perasaan yang kurasa saat berpapasan dengannya di lain kesempatan. Tak ada kupu-kupu yang menggelitik perutku, tak ada pula awan yang siap membawaku terbang ke angkasa. Hanya sisa-sisa anak panah yang tadi mengoyak jantungku. Dan saat dia hanya melirik sebentar ke arahku tanpa mengucap “Hai!” seperti biasanya, membuat perasaanku makin tak karuan.

Sesampainya di dalam kamar mandi, aku melepas kerudungku dan meremasnya.

“Haruskah aku tetap memakai ini? ”

Lama aku berperang dengan pikiranku mencoba mencari jawaban, tapi tak berhasil kutemukan. Akhirnya tetap kukenakan kain yang telah kuremas-remas itu. Karena bila tidak begitu, aku yakin aku akan mencoreng nama wanita berjilbab lain. Aku pun kembali masuk kelas meski tahu bel masuk sudah lama berdering.

Saat jam istirahat, aku melakukan hal yang tak biasa kulakukan, pergi ke mushola sekolah. Kuhiraukan ajakan teman-teman karibku untuk menuju kantin. Entah apa yang mendorongku melakukannya. Di sana aku bertemu Lana.

“Mau sholat dhuha, Nin?” Tanyanya.

Aku merasakan kepalaku bergerak ke kiri-kanan. Memang, aku tak tahu mau apa ke mushola. Tak ada keinginan, tak ada tujuan, pikiranku sedang kacau.

“Oh, ya sudah. Aku sholat dulu ya.”

Aku duduk bersandar di baris paling belakang dalam mushola. Kulepas kerudungku. Tak terasa butiran-butiran kristal bening bergulir di pipiku. Aku malu menampakkan kesedihanku itu, maka kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Tangis itu semakin lama semakin membuat dadaku sesak. Entah, aku tak paham dengan apa yang kurasakan, apa yang membuat aku menangis.

Seseorang menepuk pundakku. “Kenapa, Nin?”

Lama aku tak menjawab. Aku tahu itu suara Lana, tapi aku tak tahu harus berkata apa.

“Tenang ya. Kamu bisa cerita apapun ke aku, nggak bakal bocor deh.” Dia mengelus-elus pundakku.

Merasa mendapatkan kembali sedikit kekuatan, isakku berhenti. Kubuka tanganku dan kutatap Lana yang sedang duduk di sampingku.

“Aku ndak pantas memakai ini. Aku membohongi semua orang.” Akhirnya ada juga kalimat yang bisa keluar dari mulutku setelah seharian aku mengunci rapat mulutku.

“Kenapa kok ngerasa nggak pantas? Tiap muslimah pantas kok pakai kerudung.”

“Karena… Karena… Kamu tahu lah kenapa aku pakai ini, masa cuma gara-gara dia. Sepertinya aku belum siap. Tapi kalau kulepas lagi, aku merasa…”

“Kenapa harus dilepas lagi? Kenapa belum siap?”

Kenapa aku belum siap memakainya?  Aku hanya merasa bulum siap menerima tanggung jawab yang akan menimpaku saat aku memakai penutup kepala ini.

“Kalau nggak siap ya disiap-siapin aja. Kan nggak ada ruginya juga pakai kerudung, banyak untungnya malah.”

Aku diam mencerna kata-kata Lana. Haruskah aku seperti itu? Bisakah?

“Nanti sepulang sekolah ada kajian khusus cewek lho di sini. Datang ya kalau bisa, aku juga datang. Tenang aja, kajiannya resmi kok.”

Aku mengenakan lagi kerudungku dengan malas. Mungkin karena melihatku tak bersemangat, Lana membantuku merapikan kerudungku.

“Ayo balik ke kelas.”

Hari itu sepulang sekolah aku menanggapi undangan Lana untuk datang ke mushola. Yah, hari itu aku memang aneh. Tak biasanya aku mau menghadiri kajian. Saat itu sudah lama aku tak menghadiri kajian, sejak kajian bulan ramadhan yang lalu.

“Kajian hari ini tentang apa?” aku bertanya kepada temanku yang duduk di sampingku.

“Wah, pangling aku kamu datang, Nin. Tentang ‘Muslimah di jaman modern’ katanya.”

“Oh…” Sepertinya menarik.

Memang benar, kajian hari itu sungguh menarik. Masalah yang dibahas seperti mewakili kegelisahanku.

“Kita sebagai seorang muslimah tidak seharusnya takut tidak mendapatkan isi dunia ini gara-gara mengejar ridho-Nya. Allah sudah janjikan kepada kita kemudahan mendapatkan isi dunia apabila kita tetap memegang teguh ajaran agama islam…” Wanita yang sedang berbicara di depan tersebut bukan orang biasa-biasa saja, katanya. Dia adalah alumni sekolahku dan sudah menjadi entrepreneur yang cukup sukses. Kajian tersebut secara tak langsung memberikan semangat kepadaku untuk tetap mengenakan kerudungku dan mencoba menata kembali niatku.

Sesi tanya jawab dimulai. Aku ingin menjadi salah satu penanya, dan kesempatan menghampiri.

“Saya Nina, ingin bertanya. Bagaimana cara mengatasi ketakutan tidak dianggap oleh masyarakat karena kita berjilbab? Kalau misalnya cari kerja nanti kan banyak yang menetapkan harus pakai seragam ini itu tanpa jilbab, terus harus gimana menghadapinya? Terima kasih.” Tanyaku.

Aku mendengarkan baik-baik jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkan olehku maupun oleh pendengar yang lain. Sangat memberi pencerahan bagiku. Rasanya aku mendapat semangat baru juga motivasi baru untuk mengenakan terus kerudungku. Seakan motivasiku karena ingin mendapat perhatian dari Bayu itu tersingkirkan digantikan oleh motivasi yang baru kudapat barusan. Dan akhirnya kajian berakhir dengan menyisakan banyak pelajaran dalam diriku.

“Kawan-kawan semua, saya meminta izin untuk berbicara sebentar.” Suara yang kukenal, suara Lana, terdengar dari depan. “Hari ini saya mengajak kawan saya, anggota keluarga baru kita. Nina namanya. Dia baru belajar memakai jilbab. Saya ingin kita sebagai jilbaber senior bisa menyemangatinya untuk tetap mempertahankan jilbabnya.”

Aku seperti menjadi bintang dadakan. Setiap pasang mata, hampir dua puluh pasang, tertuju padaku. Sedikit risih memang, tapi ada perasaan bahagia melihat senyuman dari setiap wajah itu. Beberapa orang yang tak kukenal menyodorkan tangan meminta berkenalan denganku. Baru kali itu aku merasakan kehangatan aneh yang bisa menghilangkan semua perasaan-perasaan yang beberapa jam sebelumnya kurasakan. Harus kuakui, aku senang berada di antara mereka.

“Besok-besok datang kajian lagi ya, dik Nina. Sampai jumpa.” Kakak kelas yang baru kukenal berpamitan lalu pergi. Kajian telah usai. Aku berjalan keluar mushola menuju tempat parkir.

“Nina…” Lana datang menghampiriku.

“Lana, makasih ya. Aku dapat banyak pelajaran.”

“Ok, sama-sama. Kamu nggak marah kan tadi aku ngomong begitu di depan?”

“Enggak, aku senang malah, bisa dapat banyak kenalan baru.”

Dari arah jam dua kulihat Bayu sedang berjalan ke arah kami. Aku berusaha mengendalikan gejolak yang muncul tiba-tiba dalam hatiku.

“Lana, nih bukumu nggak tahu kenapa tadi ada di tasku.” Kata Bayu sambil menyodorkan buku tulis milik Lana.

“Ok, terima kasih sudah dibalikin.”

“Aku duluan ya. Assalamu alaikum.” Tanpa memandang ke wajah kami dia berlalu pergi.

“Oya, yang di sampingmu itu murid baru kah?” Bayu berbalik arah untuk menanyakan itu.

“Ha? Bukan, ini Nina.”

“Oh, maaf. Kelihatan beda soalnya.” Bayu pun berlalu pergi.

Ternyata dia tadi tidak menyapaku karena tidak mengenaliku. Maaf, aku salah sangka.

Setelah kajian yang satu itu, aku hampir tak pernah absen dari menghadiri kajian rutin di mushola sekolah itu. Aku pun jadi sering bergaul dengan para akhwat yang kukenal dari pengajian itu. Kehidupanku pun seperti berubah. Tapi aku bersyukur mengalami perubahan itu. Rasa syukur itu tak habis kurasakan bahkan hingga saat ini, setelah aku lulus dan berpisah dengan orang-orang yang membuatku terperosok dalam dunia kebaikan.

Hari ini aku melakukan promosi jurusan tempatku kuliah sekarang ke sekolah lamaku. Di saat akan pulang, aku melihat lagi sebuah wajah yang begitu kukenal. Lana.

“Hai, ukh… Lama nggak ketemu.” Wajahku sumringah saat mendengar lagi suara itu.

“Hai. Kangen banget rasanya.”

“Gimana kabar hati anti?”

“Ih, apaan sih? Baru ketemu kok tiba-tiba ngomong aneh. Maksudnya?”

“Ya tentang penyerangan ‘virus’ ke hati anti waktu itu. Sudah terobati atau masih tersisakah?”

“Oh, kirain apa. Alhamdulillah sudah diobati. Semoga ndak terinfeksi lagi.”

“Ana minta maaf ya waktu itu sudah bohongin anti.” Kata-kata Lana mengejutkanku. “Begini ceritanya. Dulu ana cuma mengarang tentang tipe gadis idaman dia. Aku cuma ingin anti jadi kayak sekarang gini. Maaf ya kalau caranya salah.”

Entahlah, tak ada rasa kecewa atau apa pun mendengar pengakuan Lana. “Aku suka kamu menjebakku seperti itu. Untung ya waktu itu aku curhat ke kamu, mungkin kalau orang lain bakal makin ruwet masalahnya.”

Kami melanjutkan obrolan melepas kerinduan kami, saling bercerita tentang kehidupan baru kami di kampus masing-masing. Aku senang kini aku terjebak di jalan kebaikan ini. Aku berharap bisa terus bersama mereka, orang-orang yang mencintaiku karena Allah. Aku sungguh bersyukur telah terjebak dalam jalan ini.

Oleh: Atiqotun Niswah, mahasiswa ITS Surabaya

 

Tinggalkan Balasan