Rabu cerah dan berangin. Suara gesekan daun dan ranting disertai kicauan burung berirama menjelma menjadi simfoni alam yang subhanallah indahnya. Satu demi satu daun-daun terlepas dari rantingnya terbawa angin, melayang, berputar hingga akhirnya jatuh ke tanah. Menunggu waktu yang mengubahnya menjadi coklat layu, lalu bakteri mengurai tubuhnya dan menjadi bagian dari tanah. Sesekali angin bertiup terlalu kencang sehingga menebarkan debu pasir di sekitarku. Tak jarang pasir-pasir itu malah mendarat dimataku dan memburamkan pandanganku. Aku duduk di sebuah bangku panjang tepat menghadap lapangan. Di sebelah kanan tak jauh dari kursi yang kududuki berdiri kokoh sebuah pohon. Pohon itu besar dan terlihat sangat tua. Banyak anak-anak iseng menggores batangnya dengan kata-kata cinta tak berguna, nama kekasih hatinya bahkan umpatan-umpatan aneh untuk si “guru killer”. Tapi itu tak berpengaruh sedikitpun padanya. Dia tetap terlihat seperti pohon kokoh, tak peduli sebanyak apa pun goresan di tubuhnya.
Tepat dihadapanku kulihat teman sebayaku berlari kesana kemari menggunakan baju olahraga berwarna biru berpadu dengan celana berwarna dongker. Sudah lama rasanya aku tak mengenakan baju seperti mereka. Tak ku lihat di antara mereka yang sedih, semua menikmati siang ini dengan riang. Dari tempat kududuk suara canda tawa mereka terdengar jelas. Sesekali mereka berteriak tak jelas namun segera berganti lagi menjadi tawa. Tampak aneh ketika melihat mereka tertawa dan bercanda ria dengan sesamanya sedang aku hanya duduk manis ditemani daun-daun pohon yang mulai berguguran dari induknya.
Terkadang aku melemparkan senyum pada teman-teman ku yang tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan ku. Tak banyak dari mereka yang membalas senyumku, mereka hanya menatap lekat sesaat lalu beralih begitu saja. Terkadang mereka membalasnya dengan menyunggingkan sedikit ujung bibirnya. Entah ekspresi macam apa yang ingin di tunjukannya padaku. Yah, mungkin perlakuan itu sedikit aneh, tapi ku coba membiasakannya.
Angin tak bertiup sekencang tadi, suara gesekan daunpun berangsur menghilang dari gendang telinga. Tanpa sadar sebuah bola basket menggelinding ke arah ku dan berhenti beberapa centi dari ujung kakiku. Aku amati bola itu sejenak. Aku seperti sangat mengenal bola itu. Warnanya orange dan sedikit kusam, beberapa garis berwarna hitam melingkar di permukaannya. Di bola itu kulihat sebuah tanda, berbentuk emot “smile” seperti ini J.
“oh iyaa, ini bola milik Kila” seruku bersemangat tapi sangat pelan.
Aku kembali melihat ke lapangan dan ternyata benar aku melihat Kila berjalan ke arahku. Hmm… tapi entahlah, mungkin bukan ke arah ku, lebih tepatnya kearah bola yang sedang berada di depanku.Langkahnya cepat, wajahnya yang terlihat selalu berseri kini suram muram tanpa ekspresi, tak sedikitpun matanya beralih dari bola itu, melirik padaku pun tidak.
“Kilaaaaaa…” sorak ku riang sambil melambaikan tangan kearah Kila. Dia hanya melihat sekilas dengan tatapan datar, tak menyahut sedikit pun, lalu kembali memperhatikan bola miliknya. Aku terdiam sejenak. Aku mulai merangkai kemungkinan baik lainnya yang dapat melipur sedikit sakit di hatiku saat ini. Setidaknya aku masih bisa tersenyum. Kila terlihat semakin mendekat kearah ku. Aku berusaha beranjak dari tempat duduk ku, ingin mengambilkan bola miliknya. Belum sampai kaki ku yang satunya menyentuh tanah, Kila sudah berlari dan mengambil bola miliknya. Seketika itu pula bola itu hilang dari pandanganku. Kila terlihat berlari semakin menjauh dariku. Angin kembali bertiup kencang. Butir-butir pasir kembali bertebaran di sekitarku mengiringi langkah Kila yang semakin menjauh. Kila tak lagi terlihat, ia membaur dengan puluhan siswi yang mengenakan pakaian yang sama dengannya.
JJJ
Kedua tongkat yang menopang tubuhku berayun selaras di ikuti kedua kakiku yang juga benar-benar berayun. Suasana kali ini terasa berbeda dari biasanya. Aku bisa memacu laju tongkatku sesuai yang kuinginkan. Aku tidak perlu memasang rem mendadak untuk menghindari tabrakan antara aku dan siswa lainnya yang seringkali berlarian di sekitarku dan nyaris menabrakku, seperti biasanya. Ini memang sudah jam pulang sekolah, tapi sekolah tidak terlihat seramai biasanya. Hanya beberapa siswa yang masih menampakkan diri di lingkungan sekolah. Sudah lama aku tidak mengahabiskan waktu sore di sekolah, pantaslah aku merasa sedikit asing dengan suasana seperti ini. Aku baru saja dari masjid usai melaksanakan sholat ashar dan tujuanku selanjutnya yaitu lapangan. Tempat yang paling ku rindukan.
Tidak terasa sekarang aku benar-benar telah berada di tengah lapangan, benar-benar hanya aku dan pohon tua di ujung lapangan. Pohon itu masih juga belum puas menggugurkan daun-daunnya. Tapi aku suka suasana seperti ini, saat angin bertiup syahdu, jilbab putih yang menutupi kepalaku berayun pelan diiringibenda-benda hijau yang mulai berjatuhan dari induknya. Itulah cara alam menunjukan pesonanya. Ku tutup kedua mataku, mulai menarik nafas, perlahan O2 masuk melalui rongga hidungku. Aduhai, kurasa betapa banyak nikmat yang diberikan Allah SWT padaku selama ini. Lalu ku buka mataku sambil menghembuskan CO2 yang telah bercampur dengan H2O hasil pengolahan di alveolus melalui mulutku.
Aku sedang memegang sebuah bola di tangan kananku, pandanganku hanya tertuju pada satu arah, yaitu ring basket. Kesanalah bola itu akan ku masukkan. Perlahan aku mulai mengangkat kedua lenganku, bersiap melemparkan bola. Aku mengalami sedikit kesulitan. Ketika aku mengangkat kedua lenganku, tongkat yang terapit di kedua lenganku sulit menopang tubuhku dengan baik. Aku tau resiko yang aku dapat jika aku terus memaksakan keinginanku, tapi terserahlah aku tak peduli. Saat ini aku masih dalam posisi siap melempar dengan tubuh yang bertumpu pada tempat yang kurang seimbang. Aku sudah membayangkan gerak parabola yang akan aku bentuk dari lemparan bolaku. Bismillahirrahmanirrahiim. Satu… Dua… Tigaa… Saraf-saraf di otakku mulai memberikan perintah. Tanganku terangkat lebih tinggi dan bolanya melambung. Tapi, seperti yang ku duga, tongkat yang tadinya menopang tubuhku terjatuh. Aku bisa merasakan tubuhku bertopang pada kedua kakiku, tapi itu tak lama. Aku kehilangan keseimbangan dan tubuhku terhempas ke tanah. Sesaat kemudian aku mendengar lantunan bola. Ketika aku melihat ke arah ring, bolanya sudah menggelinding di tanah. Sayang sekali aku tidak bisa melihat bolaku masuk atau tidak tapi aku sempat melihat bola itu membentuk gerak parabola yang kuinginkan. Pada akhirnya aku berhasil merasakan apa yang selama ini kurindukan, terlepas dari semua rasa sakit di tubuhku. Aku sangat senang hari ini. Mata ku masih memandang benda bundar berwarna orange itu. Mataku sedikit berkaca-kaca. Aku teringat Kila.
Aku masih belum puas. Aku berusaha menjangkau kedua tongkatku ingin kembali berdiri. Tiba-tiba dari arah belakang aku mendengar teriakkan sangat keras dan sepertinya sangat ku kenal. Suaranya serak dan terdengar sedikit dipaksakan.
“BERHENTI SOK KUAT SALMA !!!” teriak seseorang dari arah belakang.
Aku tersentak dan perlahan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya aku, ternyata itu Kila.Dia berdiri beberapa meter di belakangku. Wajahnya merah padam, nafasnya terengah-engah. Dari sini aku bisa melihat air mata menggenang di setiap sudut matanya walau sangat samar. Entah apa yang ku rasakan saat ini. Aku tak mengerti dengan perkataan Kila di tambah lagi dengan tingkahnya selama ini padaku. Apa maksudnya dengan sok kuat? Tapi sudah lama sekali rasanya Kila tak memanggil namaku.
“Hei Kila, kamu dari tadi ya di sana? Itu artinya kamu melihat lemparan jelekku, ya maklumlah aku memang jarang berlatih akhir-akhir ini, hahaha” jawabku mengalihkan, sambil berusaha menjangkau kembali tongkatku. Jelas sekali aku mengabaikan perkataan Kila tadi. Aku tak sanggup melihat matanya. Ia terlihat sangat berbeda.
“Salma, kumohon berhentilah seperti ini, berhentilah sok kuat di hadapanku dan dihadapan semua orang. Jika kamu ingin menangis atas semua yang menimpa mu, menangislah. Jika kamu ingin mengeluh padaku, mengeluhlah. Kamu tak harus selalu bersembunyi di balik senyum mu itu. Kamu nggak tau aku benar benar tersiksa dengan semua sikap mu, dengan semua senyum polos mu” ucap Kila lirih, air matanya mulai mengalir. Aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudnya. Aku telah berhasil menjangkau tongkatku. Sekarang aku berusaha berdiri, beberapa kali aku gagal, dan berkali-kali tubuhku terhempas ke tanah. Yah, ternyata bangkit setelah jatuh itu memang sulit, aku masih dalam posisi duduk saat ini. Aku beristirahat sejenak, sambil mencerna kembali perkataan Kila. Aku sedih melihatnya terisak seperti itu. Tanpa sadar genangan air di mataku akhirnya tumpah ruah. Aku tak ingin membuat keadaan menjadi lebih tak karuan. Ku usap air mataku secepat mungkin, ku pastikan tak membekas sedikit pun.
Perlahan ku putar tubuhku kebelakang tepat menghadap Kila. Atmosfer ketegangan mulai kurasakan saat melihat Kila. Entah ia marah, sedih atau apa. Tak bisa ku deskripsikan tentang ekspresi apa yang hendak disampaikan dari raut wajahnya. Dia menundukan kepala sambil mengusap air mata dan memaksakan agar air mata itu tidak lagi mengalir. Alam pun seakan mendukung. Suasana hening, hanya sayup angin yang sesekali terdengar menyapa gendang telinga. Gumpalan awan memayungi kami, melindungi dari terpaan sinar mentari sore. Aku dan Kila seakan jadi dua tokoh utama sebuah melodrama.
“Kilaa” sapa ku lembut. Aku tau dia muak dengan senyumku tapi apa pun ekspresiku saat ini, senyum, nangis, manyun, teriak histeris, atau ekspresi lainnya itu tidak akan mengubah apapun. Kila mengangkat kepalanya perlahan dan menatapku sendu. Sekarang ku rasa Kila terlihat lebih menyedihkan dari pada diriku. Matanya merah sembab dan ada cekungan yang terbentuk sedalam kurang lebih 2,7 meter di bawah matanya. Jilbab putihnya terulur basah, aku rasa jika jilbabnya di peras, airnya bisa menyelamatkan kekeringan di Ethiopia. Sepertinya ia tak sempat mempersiapkan tissue sebelumnya. Pikirku ngaur berusah menghibur diri sendiri.
“Untuk apa aku menangis dan mengeluh? Apa yang akan berubah?Bukankah lebih banyak hal yang patut ku syukuri dari pada ku keluhkan. Ada apa dengan senyumku? Aku lebih suka terlihat sok kuat dari pada berlagak jadi gadis cengeng yang minta di kasihani” jawabku dengan senyum simpul 2 cm di wajahku yang terkesan sangat dipaksakan. Kila terlihat bingung dan tidak puas dengan jawabanku.
“Salma, kamu nggak pernah sadar bagaimana mereka memandang mu selama ini? mereka memandangmu berbeda. Aku nggak kuat melihatmu diperlakukan seperti itu. Sedang aku hanya terpaku, aku juga nggak bisa melawan, aku nggak bisa menuntut mereka atas perlakuannya pada mu. Aku merasa nggak berguna Salma” gumam Kila sambil menahan tangis. Aku mulai menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk dihatiku selama ini. Tentang Kila dan sikap anehnya.
“Kila, cukuplah Allah yang menjadi pelindung bagiku. Aku nggak minta apapun dari kamu. Bahkan saat semua orang memandangku dengan tatapan berbeda, tatapan kasihan. Dengan semua kekuranganku. Aku belum punya cukup alasan untuk menangisi hal ini. Jika kamu bilang aku sok kuat, mungkin aku memang sok kuat. Bukankah lebih baik aku jadi sok kuat dari pada hanya mengeluh dan menyalahkan takdir” balasku panjang lebar. Kila terdiam. Ku pandangi langit sejenak, ku lihat gumpalan awan membalut langit sore begitu indah.
“Kila, jika ada orang yang paling pantas untuk mengeluh, orangnya bukan aku, orangnya adalah Nabi Muhammad. Kamu tau kan, bagaimana Baginda rasul kita di ejek dan dicaci maki. Tapi beliau tidak mengeluh, malah mendo’akan orang yang telah menzaliminya itu. Mungkin aku nggak bisa semulia itu. Tapi mengeluh dan menangis hanya hal sia-sia. Tak akan ada yang berubah ” sambungku. Hasrat ku untuk berdakwah seketika muncul.
“Bagaimana mungkin kamu menanggapi semua ini semudah itu Salma? Lalu apa yang ada di pikiran mu saat semua orang jauhin kamu termasuk aku?” Tanya Kila beruntun. Aku berpikir sejenak. Semua yang kujalani sebenarnya tidak mudah, bahkan sangat jauh dari kata mudah. Diriku punya konflik bathin tersendiri. Saat logikaku merangkai suatu kemungkinan, hatiku meluruskan. Saat hatiku merangkai suat kemungkinan lain, logikaku menyalahkan. Sangat sulit melepas sesuatu yang sudah terlalu lama bersama. Jika tidak memaksakan kuat berarti memilih mati terlindas laju kehidupan.
“Mudah? Hmm… nggak kok, itu nggak semudah seperti yang terucap, itu sangat sulit Kila. Hati dan pikiranku sering tak sejalan, bantah membantah dan saling menyalahkan. Dalam beberapa waktu aku nggak siap menerima perubahan ini, termasuk sikap kamu ke aku. Tapi ternyata aku diberi kekuatan dari Yang Maha Kuat, aku di beri pemahaman dari Yang Maha Mengetahui, aku dibimbing oleh Yang Maha Pemberi Petunjuk dan jadilah diriku yang sok kuat seperti yang kamu lihat saat ini” jawabku menjelaskan. Kila menatap mataku lekat. Air matanya kembali berlinang. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia duduk bersimpuh tepat dihadapan ku. Kedua tangannya menutupi wajahnya.
“Kilaa, maafin akuu, maafiin akuu. Aku tau aku salah, aku bodoh. Nggak seharusnya aku jauhin kamu di saat kamu lagi sakit kayak gini. Harusnya aku yang jadi pelengkap kamu” tangis Kila kembali meledak. Melihat Kila yang seperti ini aku malah merasa bersalah padanya. Ternyata benar dugaanku, tidak mungkin Kila melupakan ku begitu saja. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
“Nggak papa, aku ngerti kok Kila, mungkin kamu kayak gitu karena nggak mau nyusahin aku kan” ujarku polos. Tiba-tiba tangis Kila berhenti, ia melihatku sesaat dengan mata merah sembab melalui sela-sela jari tangannya yang masih menutupi wajahnya. Mungkin karena mendengar ucapanku atau ada hal ghaib yang membisikan sesuatu ditelinganya hingga ledakan tangisnya bisa berhenti seketika. Haah entahlah. Ternyata dugaanku salah. Tangisnya malah makin keras.Aku panic.
“hei… hei.. Kila, kok malah makin keras sih nangisnya, dasar kapten basket cengeng” ledekku agar tangisnya berhenti
“Apaa? Cengeng kamu bilang. Siapa yang cengeng, aku nggak cengeng kook” ujar Kila berusaha menyangkal. Tangannya tidak lagi menutupi wajah sembabnya. Untuk saat ini tangisnya benar-benar berhenti. Ternyata ledekkan ku tak sia-sia.
“Haduuuh, nggak cengeng gimana, mata merah sembab, ingus meler kemana-mana, jilbab acak-acakan dan kamu masih bilang nggak cengeng” balasku lebih menjengkelkan. Kila mengusap air mata dan ingusnya dengan cepat. Beberapa kali ia mengucek-ngucek matanya, tapi tak berpengaruh sedikitpun, matanya malah terlihat lebih sipit dengan cekungan dibawah kedua matanya.
“I… i… ini sih bukan cengeng, ini cuman nangis yang melebihi batas normal akibat goncangan jiwa atau bathin karena adanya peristiwa atau hal-hal lain yang dapat dikategorikan kedalam keadaan mengharukan” Kila mulai berargumen panjang lebar. Dia seakan lupa apa yang baru saja terjadi. Aku mulai melihat Kila yang dulu lagi.
“Aku benar-benar rindu saat-saat dulu kita seperti ini” balasku disertai senyuman penuh arti. Kila pun tersenyum sama sepertiku.
“Aku juga, aku tidak akan mengulangi sikap bodohku lagi Salma, benar-benar tidak akan” ujar Kila. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. Dia mengambil kedua tongkatku yang berada tak jauh dariku. Kila membantuku berdiri. Satu tangannya memegangi tongkatku dan tangannya yang lain menopang tubuhku. Aku sadar memang bangkit setelah jatuh itu sulit, tapi jika kita bisa membuka mata dan lebih melapangkan hati kita pasti bisa melihat banyak tangan yang akan terulur.
“Terimakasih Kila” ujarku. Sekarang aku sudah berdiri dengan kedua tongkat ku lagi. Kila berdiri di sebelah ku.
“Sudah seharusnya aku membantumu kan” balas Kila dengan senyum sumringah. Aku tertawa kecil. Tampak lucu ketika matanya yang sembab malah semakin menyipit ketika senyum lebarnya diluncurkan.Tak terasa matahari sudah berangsur tenggelam, memberikan kesempatan bulan dan bintang meramaikan langit malam. Aku dan Kila berjalan meninggalkan lapangan basket. Langit sore menawarkan keindahannya. Cahaya jingga bertaburan di langit Barat berhias gerombolan awan seperti biri-biri.
“Hei Salma, tadi aku benar-benar melihat lemparan yang kamu bilang jelek tadi. Termasuk saat benda bundar itu masuk ke ring basket dengan indah” ujar Kila menatapku bahagia.
“Haaah… iyaa? Benarkah? Tapiii aku kaan…” aku tak percaya, ragu, terkejut, senang, semua bercampur aduk.
“Haah, sudahlah pokoknya aku bahagia hari ini”sambungku. At the end Allah always makes everythings okay.
Inilah secarik kecil kisah dari potongan-potongan rahasia hidup. Semua tentang sabar, syukur dan senantiasa husnuzon pada-Nya. Tidak akan ada masalah yang terasa berat jika kita tidak menyibukan diri dengan mengeluh dan dapat merealisasikan syukur dalam kehidupan dan semua akan indah pada waktunya. Entah bagaimana cara menjelaskan sempurnanya rencana Allah, janji-janji-Nya, dan pembuktian-Nya dengan jalan yang tak pernah terduga. Yang perlu kita yakini although we plan, Allah also plan, and Allah is the best of planners.
Oleh: Latifah Hanum, Padang, Sumatera Barat
BEESLOT KINI HADIR DENGAN EMAS MELIMPAHNYA.
Segera daftar kan akun anda dan klaim EMASMU.
Hanya dengan deposit minimal 200.000 saja.
Beeslot OKE OKE Jika berminat bisa hubungi saya di Whatsapp saya.
No Whatsapp Official Beeslot
👉 +85567520160