(Cerpen) Selamat Jalan, Nak

0
1016
P

agi yang indah diwarnai suka cita. Ku senang sebentar lagi aku memiliki buah hati yang sudah lama ku nantikan. Memang sih ini bukan anak pertama yang mungkin tidak akan sebahagia ketika melahirkan anak pertama. Tapi, aku tetap gugup karena ini adalah anak perempuan pertama yang akan aku dan suamiku miliki. Rasa mulas terus menyerang sekujur tubuhku, nampaknya ada yang tidak beres dengan kandunganku. Aku bertanya-tanya apa ini yang akan membuat aku tidak bisa melahirkan dengan normal.

Aku memang pernah mengalami hal yang pahit dalam proses kelahiran anak pertama. Apalagi dengan keadaan pinggulku yang sangat kecil, akupun tidak bisa melahirkan dengan normal. Aku terus khawatir, apakah mungkin hal ini terjadi lagi. Semakin ku memikirkan hal ini, sekujur tubuhku semakin sakit. Akupun tak kuasa menahan derita ini. Apa boleh buat, aku harus mengatakannya pada suamiku.

“Mas, kenapa ya. .kok badanku sakit begini, perutku juga mulas?” aku mengatakannya sambil menahan rasa sakit pada sekujur tubuhku.

“Masya Allah..mungkin sudah waktunya anak kita lahir, ayo. .mas bawa kamu ke rumah sakit!” suamiku semakin khawatir dengan keadaanku.

“aku tak mau, mas.., usia kandunganku kan masih 7 bulan” Aku mengelak dibawa ke bidan karena aku merasa belum saatnya melahirkan.

Melihat keadaanku yang seperti ini, suamiku bersikeras untuk membawaku ke rumah sakit. Akupun tak kuasa untuk menolak lagi dengan keadaan yang merintih kesakitan.

Sesampainya di rumah sakit, aku dikejutkan dengan kondisi yang mengharuskan ku melahirkan dengan tidak normal karena seperti biasa, keadaan pinggulku yang tidak memungkinkan. Aku dan suamiku setuju menyerahkan semuanya pada ahlinya yaitu dokter.

Melewati perjalanan yang panjang, bayi mungil itu lahir dengan berat yang kecil. Bayi yang sangat cantik meskipun aku belum boleh melihatnya. Suamiku mengatakan ada yang tidak beres dengan organ-organ pada bayi kami sehingga ia harus menerima perhatian yang lebih di ruang incubator. Aku menangis atas hal ini, sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya dapat terjadi pada kami. Dalam dzikir ku berdoa, dalam sujud ku berdoa, dalam tangisan ini ku berdoa “Ya Allah..berikanlah mukjizat pada bayiku..”

Aku berusaha tegar, aku yakin Allah akan memudahkan semuanya. Aku yakin dibalik kesulitan ini pasti ada kemudahan. Akan tetapi, aku ingin sekali bertemu dengan bayiku. Aku ingin melihat senyum tipisnya, mendengar tangisannya dan mengatakan padanya “Ibu sayang kamu, nak.., ibupun merasakan apa yang kamu rasakan, tetaplah semangat melawan rasa sakitmu..”

Rasanya, seperti melihat bidadari surga merintih kesakitan dan tak kuasa mengatakannya. Wajah cantik itu tertutupi kesedihan dalam raut yang tak segar lagi. Aku semakin khawatir dengan keadaan bayiku sejak suamiku mengatakan semuanya.

“Bu, yang sabar, ya!” suamiku berusaha menenangkan hati ini.

“iya, mas. Aku tau ini pasti hanya ujian dari Allah…” Walaupun berusaha untuk tegar, tapi air mata ini tetap mengalir.

“Bukan hanya itu, Bu, kita harus memberi perhatian lebih pada anak kita atas segala keterbatasannya. Mas takut ketika dia sudah besar, dia akan minder atas keadaannya” Suamiku berusaha menerangkan sesuatu yang sebelumnya belum aku ketahui.

“Maksud mas apa?” Aku semakin tidak mengerti dan berusaha menanyakannya.

“Ibu yang sabar, ya! fisik bayi kita tidak seperti harapan setiap orangtua. Jari tangan kanannya ada enam dan kata dokter letak telinganya pun terlalu di bawah.” ,Suamiku berusaha menceritakan semuanya sambil meneteskan airmata.

Aku terdiam, aku tak tahu harus mengatakan apa. Hatiku semakin sakit. Bukan karena takdir Allah ini, tapi hatiku sakit karena merasakan penderitaan yang dialami bayiku. Aku bersikeras untuk bertemu dengan bayiku. Saat semua keluarga tahu, mengapa aku sang ibu yang melahirkannya tidak berhak tahu?

Melihat wajahnya yang mungil dan penuh belas kasih, akupun meneteskan air mata. Mata ini tak kuasa melihatnya menderita. Tak kuasa melihat wajah pucatnya yang menahan rasa sakit, tak kuasa atas semua penderitaan bayi mungilku.

Kini aku hanya bisa pasrah, meskipun ku tahu ini adalah kesalahanku. Sama sekali bukan kesalahan suamiku. Sejenak aku ingin mengulang kesempatanku untuk menjaga kandunganku agar ini semua tidak pernah terjadi. Tapi, ku tahu ini adalah rencana Allah untuk menguji kesabaran diriku dan suamiku.

Tanpa pikir panjang, suamiku pergi menemui dokter untuk menanyakan perkembangan anakku.

“Jadi, anak bapak masih belum bisa dideteksi, penyakit apa yang ia derita.. tapi, saya takut kalo organ tubuhnya ada yang bermasalah.., nah. .nanti kalo air susu ibunya sudah ada, berikan saja langsung untuk mengecek apakah organnya bermasalah atau tidak, terutama paru-paru.” Jelas dokter dengan panjang lebar perihal perkembangan anakku.

Suamiku menganggukkan kepala seraya mendengar semua penjelasan dokter tentang keadaan bayi mungil kami. Ia tetap tegar dan optimis untuk berusaha semaksimal mungkin agar kesehatan bayi kami tetap terjaga sampai besar nanti. Bahkan ia berusaha membuat ku tetap tegar dan memberi semangat saat tetes air mata ini jatuh.

Suamiku memberi tahu semua yang dikatakan dokter tentang perkembangan bayi kami.., satu hal yang membuatku tersentak , yaitu saat ia mengatakan air susu ini sangat menentukan kesehatan bayi kami.

“Apa yang harus ku lakukan? Mengapa air susu ini tidak kunjung keluar? Mengapa ini selalu menjadi masalah bagi kami?” Beribu pertanyaan semakin menekan pundakku, ku rasa pundak ini akan runtuh, tak sanggup memikul beban lagi.

Satu minggu bagiku sudah berlalu, tapi tidak untuk bayi mungilku. Terpaksa, ia harus tetap menginap di rumah sakit, di ruang incubator. Sedih saat harus meninggalkannya.  Padahal ia sangat membutuhkan sentuhan lembut seorang ibu.

Dengan terpaksa aku meninggalkan rumah sakit karena tak mungkin juga aku tetap di rumah sakit sementara keadaanku sudah mulai pulih, aku dan suamiku ingin mengantisipasi biaya perawatan yang membengkak, meskipun tak tega melihat bayi mungil kami  terbaring lemah. Suamiku yang sangat setia tetap menemaniku pulang, walaupun begitu aku berusaha menolak karena takut bayi kami membutuhkan kami.

“Mas, sebaiknya diam di rumah sakit aja. Pliss!” aku sangat memohon pada suamiku.

Suamiku tetap terdiam sambil mengantarku pulang.  Rupanya suamiku merasa aku lebih membutuhkannya dan nanti juga ia akan kembali ke rumah sakit,  melihat kembali kondisi bayi kami. Senyum tipisnya selalu terbayang dalam ingatan suamiku, saat ia selalu memandang bayi mungil yang terbaring lemah di ruang incubator.

Dua minggu  itu sudah tiba, aku senang waktu begitu cepat berputar, sehingga bayi kami sudah tiba di rumah.  Walau hati ini teriris melihatnya yang harus memakai bantuan pernapasan. Tapi, tetap ku syahdukan beribu hamdalah dengan senyuman penuh optimis pada Ilahi Robbi.

Dari hari ke hari keadaannya mulai membaik, tangisannya semakin merdu di telinga. Aku dan suamiku semakin bersemangat untuk menjaga dan merawat bayi mungil kami. Aku bangga pada bayiku. Di samping rasa sakitnya, dia tetap ceria tanpa meneteskan air mata. Harapanku yang sekaligus menjadi doa dalam sujudku. Semoga Allah memberikan kesempatan bayi ku untuk tumbuh besar sampai ia bisa mandiri dan meraih cita-citanya.

Seperti biasa waktu terus berputar. Akan tetapi, untuk kali ini keadaannya malah semakin buruk. Bayiku sudah tak mau menerima air susu lagi, napasnya terengah-engah, dia sudah tak bisa menahan penderitaannya lagi..

Tak tahu harus berbuat apa, akupun menghubungi suamiku yang ada di luar kota. Memang suamiku selalu ke luar kota untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai karyawan sebuah perusahaan asing di bidang pertambangan.

“Assalamu’alaikum, Mas..!” salam hangatku tetap ku sampaikan pada suami tersayang.

“Wa’alaikumsalam, Bu. Kenapa, kangen, ya?” Suamiku berusaha memberikan keceriaannya padaku.

“Iya, Mas, kangen banget, nih. Mas kapan pulang?”  Aku tak mungkin memberitahu keadaan bayi kami, mengingat suamiku juga lelah akan tugas-tugasnya.

“Mas juga kangen ibu, kakak dan bayi kita. Insya Allah Mas pulang dua minggu lagi ya. Ibu yang sabar ya!” Suamiku tak tahu harus bagaimana, walaupun ia ingin sekali bertemu kami. Tapi, tetap harus memenuhi tanggung jawabnya dulu.

“Ya sudah ya Mas, sampai di sini dulu. Mas kan harus kerja lagi” Aku menutup telpon dan tersadar bahwa bayiku sendiri di kamar. .

Aku langsung menghampiri bayiku dan melihat keadaannya. Atagfirullah, bayiku, bayiku, bayiku sedang sekarat. Apa yang harus ku lakukan? Aku takut dan semakin takut kehilangan bayiku. .

Sesaat kemudian ayah dan ibuku datang, aku memang memohon mereka untuk mengantarkan bayiku ke rumah sakit. Tapi, ibu tidak mengijinkanku untuk ikut dengan alasan kesehatanku masih belum stabil. Aku tetap bersikeras untuk ikut demi bayiku, bidadari syurgaku.

Tak sampai tiba di rumah sakit, bayiku sudah memenuhi panggilan sang pencipta, sang penguasa segalanya dan pemilik kekal bayiku ini. Air mata ini tak kuasa ku tahan untuk terus mengalir. Ayah dan ibu berusaha membuatku tabah. Mengapa bidadari syurga ini harus pergi secepat ini? Padahal ayahnya masih jauh dengannya dan belum melihat keadaannya untuk terakhir kali.

Aku tak kuasa jika nanti ayahnya menanyakan tentang bayi kami. Buah hati yang selama ini ia damba dan ia tunggu-tunggu kehadirannya. Tapi, aku pun tak bisa membohongi suamiku sendiri. Sudahlah, aku harus mengikhlaskan semua ini. Aku hanya ingin mengecup kening anakku seraya berkata “Selamat jalan, Nakkk. Ku Harap Engkau Bidadari Syurga-Nya!!!”. .

Semoga doa ini dapat mengobati kepedihanku dan suamiku.  Bagaimanapun juga bayiku bukan semata-mata milikku dan suamiku.  Bayiku merupakan kekasih-Nya, bayiku milik-Nya, dan aku harus mengikhlaskan Sang Pemilik untuk mengambil milik-Nya. .

Innalillahi wa innailaihi raji’un.

Oleh: Syifa Kawakib Nurul Afiah, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta

Tinggalkan Balasan