Menata Hati Menuju Taman Ilahi

0
727

Hati bak cermin yang pada awalnya cemerlang berkelap-kelip, namun setelah sekian lama tercemari oleh debu-debu akhirnya kejernihan cermin akan pamit tanpa permisi, yang tertinggal hanyalah kotoran yang menghapus kejernihan cermin. Begitu pula gambaran hati. Bahwa secara fitrah Allah telah membekali tiap manusia dengan hati yang bersih, jernih, dan murni. Namun apakah manusia mampu untuk memelihara kejernihan hatinya ataukah membiarkan hatinya berkarat bagaikan rongsokan yang tiada guna. Ikutilah sajian TA edisi kali ini!

Hati adalah raja yang senantiasa meremote setiap gerak-gerik manusia. Di setiap detik hati akan selalu berdetak memberikan instruksi yang akan selalu di amini seluruh anggota badan.  Sebagai kekuatan maha dahsyat yang dapat menyentak indera manusia untuk melakukan tindakannya, baik dan buruk. Jika segumpal daging ini bersih, niscaya seluruh perangkat tubuh akan menjadi baik. Tapi sebaliknya, apabila hati dilingkupi oleh kerat hitam, maka akan menyeret tubuh yang membungkusnya ke dalam kubangan yang ‘gelap’, penuh noda dan nista. Wajar bila Allah tidak pernah peduli kepada bentuk tubuh dan kemolekannya. Melainkan hanya memandang kepada hati yang ada di dalamnya. Karena itu, sungguh heran apabila seseorang mempermak tubuh seindah dan semolek mungkin agar tampak aduhai bila dipandang. Tapi lupa untuk mempercantik hatinya.

Sejak pertama kali manusia mengenal dunia, Allah telah membekalinya dengan hati yang jernih, putih dan bersih, bagai kertas putih tanpa coretan tinta noda sedikitpun. Tetapi celaka, manusia telah merenggut kesuciannya, sehingga kertas yang semula putih kini dipenuhi oleh coretan-coretan hitam, karena dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Hati nan suci itu kini tampak muram dan kehilangan auranya, ia mengkristal dan keras sekali. Sarat dengan penyakit. Dan  membentuk kepribadian jiwa yang keras kepala dan enggan menerima kebenaran. Dalam benaknya hanyalah nafsu keji. Syetan telah bersarang dalam hatinya dan mengajak manusia ke lembah kesesatan.

Hal ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Karena akibatnya akan sangat fatal sekali, manusia harus segera mencucinya dan mengembalikan pada fitrahnya yang asli. Sehingga ‘tombol’ jiwa dan raga ini kembali jernih dan mampu menuntun pemiliknya lebih dekat kepada penciptanya. Karena tidak mungkin Tuhan yang maha suci mau menerima hati yang penuh dengan kerak noda dari keping-keping dosa yang diperbuatnya. Bagaimana cara mencucinya? Hati bukanlah benda kasar yang dapat di gosok untuk memudarkan karat-karat yang melekat padanya. Karena itu, untuk membersihkannya harus menggunakan alat yang halus pula. Yakni, melakukan polah tingkah yang baik dan meninggalkan yang jelek. Ini bukan usaha yang remeh, karena harus di upayakan secara konsisten dan tekun. Lalu cara apa yang paling efektif untuk membersihkan hati yang kotor? Dan apa kiat-kiat untuk melatih hati agar dapat sampai kepada Tuhan?

Sebenarnya hati yang ternoda berawal dari rangkaian dosa-dosa yang telah diperbuat manusia. Dosa-dosa tersebut memberikan efek negatif. Hati yang semula polos, kemudian dipenuhi oleh goresan noktah-noktah hitam. Hal ini seperti yang telah digambarkan dalam sabda Nabi:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ  إِذَا اَذْنَبَ  كَانَتْ  نُكْتَةٌ  سَوْدَآءُ  فِى قَلْبِهِ,  فَاِنْ  تَابَ  وَ  نَزَعَ  و َاسْتَغْفَرَ صَقُلَ  قَلْبُهُ,  وَاِنْ  زَادَ  زَادَتْ  حَتَّى  يَعْلُو َ قَلْبَهُ  ذَاكَ  الرَّيْنُ.

Artinya: “Sesungguhnya orang mukmin ketika berbuat dosa akan berwujud noktah hitam dalam hatinya. Apabila ia sudah bertaubat, menyudahi perbuatannya, dan beristighfar, maka hatinya akan cemerlang lagi. Namun apabila ia menambah dosanya, maka akan bertambah pula kotoran hitam tersebut sehingga hatinya dipenuhi dengan karat” [Musnadu Imam Ahmad bin Hanbal, II:575]

Senada dengan hadits di atas firman Allah:

كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلى قُلُوْبِهِمْ مَاكَانُوْ يَكْسِبُوْنَ   كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Artinya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhan mereka” [QS. al-Mutathfifin, 13-14]

kehendak ayat tersebut adalah dosa yang bertumpuk akan menuangkan tinta hitam dalam hati yang pada akhirnya akan membentuk noktah hitam, matanya akan tertutup, tidak akan perduli lagi terhadap penciptanya. Lupa dzikir dan terlempar jauh sekali dari rabbul ‘alamin. Mengomentari ayat di atas, Imam Mujahid berkata bahwa seseorang yang melakukan perbuatan maksiat, hatinya akan terselimuti oleh bayangan dosa. Tapi anehnya orang tersebut masih tetap saja berbuat dosa sehingga seluruh hatinya tertutup rapat dengan kotoran dosa. Lebih dari itu, perbuatan dosa akan menjadikan penghalang bagi manusia untuk menuju Tuhan. Dengan demikian hati yang penuh dengan noda akan sulit berinteraksi dengan Tuhan karena terhalangi oleh tabir tebal. Dari sini, perlu sekali usaha untuk menyembuhkan hati yang penuh dengan penyakit. Agar tujuan awal untuk membangun hubungan yang erat dengan Tuhan dapat terealisasi (terwujud). [al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, XIX:259-262]

Al-Sayyid Ibrahim al-Khawwas menawarkan resep untuk mengobati hati, seperti yang kerap kali kita dengar dari lantunan pujian sebelum shalat, yaitu,  5 obat penerang hati. Pertama, baca al-Qur’an sambil merenungkan maknanya. Karena dengan membaca al-Qur’an hati akan menjadi lapang, bersinar, dan menimbulkan rasa takut dan berserah diri  kepada Allah. Kedua, mengosongkan perut. Sebab perut yang lapar mampu menyegarkan hati, membersihkan dari kedhaliman dan kesombongan, mengantisipasi datangnya penyakit sehingga dapat menimbulkan gairah untuk beribadah. Ketiga, beribadah di tengah malam (Qiyamul Lail). Qiyamul Lail merupakan pengangkat dosa, penolak penyakit, dan termasuk kebiasaan orang-orang saleh. Keempat, berdzikir pada waktu sahur. Waktu sahur merupakan waktu yang paling sesuai untuk bermunajat (berbisik) kepada Allah di mana do’a lebih di dengar pada saat itu. Kelima, berkawan dengan orang saleh. Karena dengan bersahabat dengan orang saleh dapat meneladani sifat-sifat terpuji mereka sehingga hati kita terasa sejuk di sisi mereka. [Kifâyatu al-Atqiyâ’ wa Minhâju al-Ashfiyâ’, 49-50]

Untuk mengentaskan hati dari keterpurukan di lembah kotor, Ibnu Taimiyyah memberikan komentarnya bahwa hati dapat dicuci dengan meninggalkan keharaman, mengerjakan amal kebajikan, mempertebal keimanan dan dasar keyakinan di dalam hati. Karena pada dasarnya penyucian hati merupakan proses untuk mengembalikan hati kepada relnya. Caranya tentu dengan melakukan kebalikan dari penyakit hati yang mewabah pada diri manusia. sebagai contoh, sifat kikir harus dilawan dengan melatih diri untuk suka berderma. Sombong harus disingkirkan dengan sikap rendah diri. [Majmû’ Fatâwâ Ibni Taimiyyah, X:625&635; Sirâju al-Thâlibin, II:44]

Sedangkan al-Ghazali memberikan prioritas kepada penyakit hati yang harus disembuhkan terlebih dahulu, yaitu sifat dengki, riya’, dan ‘ujub karena ketiganya merupakan pangkal dari sifat-sifat tercela yang lainnya. Setelah ketiga penyakit ini sembuh, maka baru melangkah untuk menangani penyakit yang lain. Dengan berkomitmen yang sungguh untuk menjauhi ketiga sifat tersebut akan membuat hati terbebas dari belenggu kotoran hati. [Bidayatu al-Hidâyah, 76]

Bagaimana melatih hati agar dapat menuju kepada Tuhan? Hati bagaikan anak kecil yang harus selalu dirawat agar tidak melenceng ke jalan yang tidak benar. Tentunya hati perlu dilatih dengan menyucikan jiwa dan membersihkan hati. Kuncinya adalah membangun akhlaq dengan mengkonsumsi sifat-sifat yang terpuji dan membuang jauh-jauh sifat-sifat tercela. Ini perlu dilakukan karena akhlaq bisa dibentuk dan dirubah. Sebejat apapun hati manusia masih ada peluang yang lebar untuk memperbaiki diri. Sesungguhnya  Rasulullah diutus ke dunia tak lain untuk menyempurnakan akhlaq. Di samping itu Rasulullah menyuruh untuk memperbaiki akhlaq. Jadi, mana mungkin akhlaq tidak bisa berubah sementara Rasulullah menyuruh manusia memperbaiki akhlaqnya. Lalu apa gunanya nasihat dan pendidikan bila akhlaq tidak bisa dibentuk. Oleh karena itu, hati yang sudah berkarat sampai parahpun masih bisa dilatih untuk  dipermak bagus sehingga menjadi hati yang jernih dan siap hadir ke haribaan Tuhan. [Ihyâ’ Ulûmu al-dîn, III:60-61]

Melatih hati merupakan proses menjernihkan akhlaq, menghinakan nafsu dan menyematkan pada diri akan sifat penghambaan. Dengan membiasakan diri merasa rendah dan hina akan membakar penyakit-penyakit yang selalu menggerogoti hati. Di dalam tasawwuf di kenal istilah tahalli, takhalli, dan tajalli. Ketiganya merupakan rangkaian proses yang dilalui untuk menuju pada hakikat kebenaran Tuhan. Pertama, tahalli merupakan penghiasan diri dengan asma Tuhan dimana ketika melihat sesuatu akan selalu teringat kepada Tuhan. Disini diperlukan pemupukan sifat-sifat terpuji. Kedua, takhalli, artinya mengosongkan jiwa dan memalingkan diri dari sesuatu yang dapat mengganggu dari keterkaitannya kepada Allah. Tentunya menjauhi sifat-sifat yang dapat merusak hati. Ketiga, tajalli yang merupakan puncak yang akan dicapai dari proses yang dilalui sebelumnya. Pada tataran ini hati akan terbuka dan dapat menyingkap rahasia-rahasia kebenaran yang gaib. [al-Futuhat al-Makkiyah, II:484-489]

Pada akhirnya, untuk membentuk hati yang bersih dan jernih di perlukan usaha yang serius dengan menggosok kotoran-kotoran sifat tercela. Apabila tidak bisa secara purna dihabisi sekaligus, maka perlu dilakukan secara bertahap. Mulai dengan membersihkan sifat tercela yang paling ringan dan secara konsisten dilanjutkan sampai habis seluruhnya. Disamping itu hati perlu dilatih dengan membiasakan menata akhlaq yang mulia. Namun, kalau toh dengan berbagai upaya yang ditawarkan di atas masih belum mampu memperbaiki hati, misalnya dengan baca al-Qur’an dan memperbanyak dzikir masih belum berhasil menyembuhkan hati bukan berarti kesalahan pada konsep yang ditawarkan. Tapi justru kesalahan kita sendiri yang tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu perlulah bagi kita untuk introspeksi diri. Afala tatafakkarun

Tinggalkan Balasan