Aku mendengar gelombang suara yang merambat masuk ke gendang telingaku. Kucari sumber suara itu berasal. Ternyata, ayah dan ibu telah menungguku di meja makan. Aroma yang menyengat seakan menusuk masuk ke lobang hidungku. Hidangan yang beraneka ragam pun telah tersaji di atas meja. Hanya menunggu semua berkumpul dan menyantapnya bersama.
Makanan yang dibuat ibu tiada tandingannya. Rasa masakannya menggetarkan papila-papila yang ada di indera pengecapanku. Rasanya hati ini ingin makan lagi. Namun, semua rongga yang ada di ususku sudah penuh dan sesak sehingga tak dapat dipaksa.
Seusai makan, kedua orang tuaku kembali membuka lembaran lama. Mau jadi apa aku nanti? Semua terasa membingungkan. Selera makanku yang bergejolak seakan lenyap seketika. Raut wajahku yang semula ceria hanya bisa tertunduk dan diam tanpa kata-kata. Aku bisa membaca maksud dan tujuan mereka yang tergambar jelas dari paras dan sorot mata mereka. Aku tahu, terbesit kecewa di benak mereka semenjak aku belum berhasil lulus SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jalur undangan atau non-tertulis. Aku berusaha menyakinkan hati mereka pada pilihan yang aku sukai yaitu Fakultas Kedokteran. Dokter adalah ambisiku semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMA.
Namun, ibuku melarang keras diriku menjatuhkan hati pada pilihan itu. Kurasakan kepercayaan ibuku telah memudar sekejap mata terhadapku bak goresan di tepi pantai yang terhempaskan ombak, tetapi berbanding terbalik dengan ayahku, beliau masih menyakinkan diriku terhadap pilihan hatiku. Apa daya dan upaya ayahku tak bisa membelah apa-apa. Aku tak dapat membendung gejolak amarah yang semakin memanas di dada, maka kuluapkan semua. Terjadi perkelahian mulut antara aku dan ibuku. Sekelumit kata-kata kasar terucap di lidahku dan keluar begitu saja dari mulutku.
Tak kuasa diriku bersikap seperti itu, kuluncurkan kaki secepat petir masuk ke kamar dan membanting pintu. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjangku yang lembut. Kutorehkan wajahku ke sebelah kanan. Air yang ada dimataku keluar begitu saja dan mengalir membasahi pipiku. Hatiku menanak perih. Tak sepantasnya aku mengambil tindakan seperti itu bak balita yang meminta permen dengan paksa. Terbesit penyesalan, jauh di lubuk hatiku.
“Mungkinkah aku anak durhaka? Ataukah anak yang pasti masuk ke neraka Hawiyah karena telah membantah dan membentak orangtua terutama seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan merawat diriku hingga dewasa? Oh Tuhan, bagaimana sesungguhnya skenario-Mu saat ini? Antagoniskah? Protagoniskah? Peranku sekarang. ” ucapku membatin.
Hidup ini bagai misteri maka harus dipecahkan. Hidup ini bagai ilusi maka tak akan aku sia-siakan. Hidup ini bagaikan hujan bahkan badai yang terkadang datang tiba-tiba tanpa diharapkan kehadirannya. Namun, masih ada pelangi setelahnya walau sebentar tapi indah dipandang mata. Kubulatkan tekadku masuk di fakultas kedokteran dan membicarakan kembali dengan orangtua cita-citaku saat ini dengan kepala dingin dan sikap kedewasaan.
***
Senja mulai tenggelam di ufuk barat. Ayam jantan pun telah bertengger di kandangnya. Suasana kelam lambat laun menyelimuti seisi bumi. Malam ini, aku ingin mengutarakan kemauanku. Kuyakinkan pada hatiku tidak akan ada lagi sikap seperti anak kecil dan hati yang terluka oleh kata-kata yang terucap dari mulutku.
Dihadapan kedua orantuaku kukatakan semuanya. Aku tetap bertahan pada pilihan terbaikku. Namun, aku tidak tahu apakah itu terbaik dan bermanfaat untukku menurut Sang Pencipta? Kuterima saran orantuaku memilih FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) pada posisi kedua.
Berusaha dalam kepasrahan. Berdoa dalam keikhtiaran. Hanya waktulah yang dapat menjawab semuanya. Kutenangkan sukmahku dengan melafalkan ayat-ayat Yang Maha Esa.
***
Hari berganti hari, siang berganti malam dan begitu terus hingga saatnya tiba. Di tengah malam-Nya aku duduk bersimpuh dan menyanyikan syair-Nya. kuhadirkan jiwa dan ragaku memohon sekelumit doa kepada-Nya.
“Ya Allah, permudahkanlah segala urusanku janganlah Engkau mempersulitnya seperti Engkau memudahkan para mujahidin yang berjihad di jalan-Mu melewati jembatan Syiratul Muztaqim. Ya Allah, bukakanlah pikiranku dalam menghadapi soal demi soal yang menghalangi jalanku. Ya Allah, lapangkanlah dadaku agar aku tak tergesah-gesah dalam menjawab semua soal karena aku tahu tergesah-gesah adalah sikapnya para pengingkar-Mu dan ia amat menyukai orang-orang seperti itu. Ya Allah, aku tahu Engkau lebih mengetahui apa yang bermanfaat dan menjadi kebutuhanku daripada keinginanku semata, maka berikanlah aku yang terbaik karena-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat dan Maha Mendengar maka dari itu perkenankanlah doa hamba-Mu. Aamiin ya Rabb.”
***
Malam telah memudar. Aroma kegelapan mulai menepi. Suara ayam berkokok pun telah memekakan telingaku membuat mimpiku berhamburan seketika. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Kuambil wudhu dan melaksanakan perintah-Nya. Kulajukan kakiku ke kamar mandi. Aku mengguyurkan air membasahi tubuhku. Kurasakan kesegaran setelah mandi. Tak lupa, aku mengisi perutku yang bernyanyi-nyanyi bak pesta di tengah pasar.
Dengan bismillah, aku menyeret kaki keluar rumah. Kutinggalkan jejak demi jejak. Kulalui jalan setapak demi setapak. Hari ini adalah hari pertama ujian SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Tes tersebut dilaksanakan selama dua hari. Hari ini, aku harus melewati tes kemampuan bidang TKDU dan TPA atau Psikotest.
***
Lembar soal TPA sudah berada di genggamanku. Tak sabar aku mengotak-atik otakku demi menjawab soal yang ada. Tepat bel berbunyi tanda dimulai, kusegerakan menjawab soal secepat yang kubisa. Kutandai dahulu jawaban yang kuanggap benar.
“Waktu tinggal sepuluh menit lagi”. Terdengar suara dari tata usaha sekolah, tak kuhiraukan itu. Aku hanya fokus pada lembar soalku. Beberapa menit kemudian. “Teetttttt,,,,” bel pun berbunyi. Jantungku berdetak. Keringat mulai mengguyuri pelipis mataku. Rasa gugup kini menghantuiku. Kuraih lembar jawabanku, aku berusaha secepat kilat melingkari jawabanku. Tanganku bergetar. Jantungku berdetak semakin kencang tak beraturan. Desah napasku pun tak menentu.
“Oh Tuhan, apakah ini cobaan-Mu terhadapku yang bersih keras ingin memilih fakultas kedokteran? Ucapku dalam hati. Kulafalkan nama-Nya sembari melingkari lembar jawabanku. Ternyata, Tuhan masih mengasihiku diberikan-Nya pengawas yang baik hati dan mau menungguku walaupun hanya lima menit. Terus, terus, terus dan terus kusebut nama-Nya hingga jawabanku terhitam semuanya. Kubersihkan LJK dari butiran mata pensil yang melekat walaupun masih banyak yang kotor. Kuserahkan LJK kepada pengawas dengan tangan yang masih bergetar hebat. Tak pernah kualami kejadian seperti ini.
Waktu istirahat tiba. Kutenangkan diriku sejenak masih menyebut nama-Nya. Kubasahi tenggorokanku dengan beberapa tegukkan air mineral. Perlahan, kurasakan detak jantungku mulai normal. Desah napasku sudah beraturan walaupun masih belum siap menghadapi ujian selanjutnya.
Tes berikutnya telah dimulai yaitu kemampuan dasar seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika dasar. Tes ini kulalui dengan tenang dan santai. Tak lupa, ibu pengawas mengingatkan aku agar segera mengisi semuanya. Aku hanya tersenyum tipis. Selang beberapa waktu, bola mataku tak sengaja melirik ke nomor peserta. Ternyata, satu angka pada kolom nomor peserta belum terhitam oleh pensilku yang secara kasat mata tak terlihat.
“Ya Allah, begitu sayangnya Engkau terhadap diriku hingga Engkau mengingatkan aku akan kelalaianku dan betapa cerobohnya diriku yang hampir menjerumuskan diri sendiri ke lubang kehancuran”. Ucapku membatin.
***
Ujian hari kedua yaitu Saintek, kulalui dengan tenang dan pasrah. Hatiku telah terhasut oleh kabut hitam yang sesungguhnya dapat kutepis dengan kepercayaan. Namun, hati telah memilih pasrah, menyerahkan semua pada Tuhan.
***
Dua minggu telah berlalu, aku pergi ke Palembang bersama ayahku. Hari ini bertepatan dengan pengumuman SBMPTN. Di lampu merah, aku memanggil penjual koran. Kubuka halaman mengenai hasil SBMPTN. Kulihat namaku di fakultas kedokteran tapi tiada namaku disana. Kulirik kembali pada pilihan kedua yaitu FKM. Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Aku lulus pada pilihan kedua. Kukabarkan berita ini pada ayah. Beliau segera menelpon ibu di rumah. Terlihat jelas di raut wajahnya rasa bangga terhadapku. Namun, di sisi lain hatiku menangis. Aku hanya bisa terpaku antara bahagia dan berduka.
***
Kujalani hari-hariku di kampus FKM. Tak seburuk yang ada dipikiranku. Disini, aku belajar memahami arti hidup yang sesungguhnya dan kehidupan ini tak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Hanya saja, di kampus FKM lebih mengutamakan kepentingan publik sepeti, pencegahan penyakit dan berprilaku hidup sehat. Sedangkan, menjadi seorang dokter hanya mengutamakan kepentingan pasien semata agar sembuh. Yah, mencegah itu memang lebih baik daripada mengobati karena sehat itu mahal. Aku belajar dari nol di kampus ini. Tak kusia-siakan waktu dan berprinsip One Step Ahead. Aku bertekad di dalam sanubari walaupun diriku tidak menjadi seorang dokter. Namun, aku ingin menjadi pimpinan dari dokter yaitu seorang kepala rumah sakit.
***
Alhamdullilah, di awal semester kujalani dengan IPK yang sangat memuaskan 3,7. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang cukup berat meraihnya. Kurelakan menunda waktu tidurku. Kuikhlaskan membuka mataku di sepertiga malam-Nya dan membiasakan mataku tertunduk pada lembar demi lembar kertas yang bertiadakan warna dan gambar. Walaupun belum sempurna alias cumload, aku yakin suatu saat dapat meraihnya. Tak hanya itu, aku terpilih mewakili univesitas sebagai duta mahasiswa tingkat nasional di bidang kesehatan lingkungan.
Allah memang tak pandang buluh terhadap hamba-Nya. Siapa yang bersungguh-sungguh dan bekerja keras maka dia yang dapat meraih kesuksesan. Siapa yang bersabar akan mendapat keberuntungan dari-Nya dan siapa yang berjalan di jalur-Nya akan sampai.
Allah itu Maha Tahu, apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Karena begitulah Allah, tiada manusia yang dapat menerkah rencana-Nya. Rencana-Nya selalu tepat dan indah pada akhirnya.
Oleh: Septia Milanda, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan
Img: wikimedia.