Terbalut karunia Allah. Mengalun bersama hati nan tulus. Teriring ucap lirih hati. Meminta dalam dekapan kuasa Allah. Maha pemilik cinta dan menguasai cinta seisinya.
***
Ku lihat arah jam di pergelangan tangn kiri. Angka sudah menunjukkan pukul 22.00. khawatir dalam hati segera menyeruak. Terlihat dari wajah sendu ku. Di tambah pula oleh dinginnya suasana malam yang anginnya sudah menusuk tulang, bahkan jaket tebal ini pun tak mampu menghalau rasa dingin ini. Sudah hampir 30 menit aku duduk gelisah di kursi terminal di kota pahlawan ini. Menunggu bus mini yang akan segera membawa ku ke dalam kehangatan di rumah. Posisi duduk ku terus berubah. Berdiri dan duduk, sambil sesekali menelisik sekeliling terminal menjaga dan mewaspadai dari hal yang tidak di inginkan. Memang berat menjalani pekerjaan ku saat ini sebagai seorang SPG di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di kota sejuk ini. Tapi, aku harus bertahan demi Ibu dan adik ku. Mereka membutuhkan upah ku di pekerjaan ini.
“Hanum, ya?”
Mobil berwarna hitam mengkilap seketika berhenti di hadapanku. Dengan membuka kaca sopir, pengemudi di dalam menyebut namaku. Aku yang sedang gelisah menunggu bus nampak belum sadar bahwa wanita di dalam mobil ini memanggil nama ku.
“Hemm. Saya mbak?” ucap ku.
“Kamu Hanum kan?” tanya perempuan ini lagi untuk meyakinkan. “Iya” jawab ku.
Setelah ku memutar memori ku tentang perempuan yang memanggil ku ini. Ku baru ingat dia adalah Juwita sahabat ku ketika SMA dulu. Seketika Juwita pun mengajak ku masuk ke dalam mobilnya dan akan mengantar ku pulang. Sudah hampir delapan tahun aku tak berjumpa dengan Juwita, selain memang kita berbeda sekolah ada pula masalah pribadi lainnya antara aku dan Juwita. Tapi, sepertinya Juwita sudah mengusir jauh masalah itu. Terlihat dari mimik dan gerak tubuhnya lepas tanpa beban dan terlihat tulus menolong ku di kegelapan malam.
“Kenapa sih kau sangat sulit mengenali ku tadi?”
“Aku pangling melihat kecantikan mu saat ini” ujar ku sambil menundukkan kepala.
Rasanya aku tidak mungkin melupakan Juwita. Masalah pribadi di masa remaja lalu akan selalu membuat ku ingat pada Juwita. Sungguh aku pangling melihat kecantikan Juwita saat ini. Dengan hijab dan pakaian menjuntai tertutup ke seluruh tubuhnya semakin membuatnya terlihat sebagai wanita yang bijaksana dan matang.
“Kau cantik sekali Ju. Mas Yusuf tidak salah memilih mu sebagai istrinya”
Nama Yusuf membuat Juwita menginjak rem mobilnya. Mobil ini terhenti di jalanan lenganng.
“Kau tahu mengenai nama itu Num?” tanya Juwita dengan mimik terkaget.
***
Pertemuan ku dengan Juwita tadi malam begitu mengesankan. Aku, Juwita dan Ferly alias Yusuf. Bukan lagi berkecamuk menjadi sebuah masalah. Tapi, kini masalah itu muncul antara Juwita, Ferly dan Mami Susi. Juwita dan Ferly sudah menikah tiga tahun lalu. Hati ku tersayat ketika mendengar kabar itu yang juga membuat ku tak ingin menyentuh cinta dengan lelaki lain. Dalam benak ku kebahagiaan melingkari kehidupan Juwita, terlebih Ferly berpindah keyakinan mengikuti keyakinan Juwita sebagai seorang muslim. Tapi, ternyata tidak seperti bayangan ku. Juwita menceritakkan sedikit banyak mengenai pernikahannya.
Keluarga Ferly yang nota benenya adalah seorang kristen taat dengan budaya batak yang kental membuat perjuangan cinta Juwita semakin terjal. Sampai usia pernikahan mereka tiga tahun Juwita masih memperjuangkan restu dari ibu mertuanya yang kini tinggal satu atap dengan Juwita dan Ferly.
***
Ruangan makan di sudut rumah berlantai dua ini sudah tersaji berbagai aneka penganan untuk sarapan satu keluarga ini. Sejak pukul empat pagi aku sudah berkutat di dapur. Dengan di selingi shalat shubuh ketika adzan berkumandang.
“Mami teh hangatnya sudah ada di meja makan” ujar ku dengan senyum riang.
“Teh hijau kan? Menggunakan madu bukan gula kan?”
“Heem. Astaghfirullah. Juwi lupa membeli madu tadi malam mi. Juwi beli sekarang ya mi” segera ku percepat langkah membalik arah pergi ke toko terdekat.
“Mau kemana sayang?” tanya suami ku dengan peci yang masih bertengker di kepalanya. “Mau ke toko atau mini market terdekat membeli madu untuk mami”.
“Lho, semalam tidak beli? Memang kamu kemana?”
“Aku bertemu dengan seseorang. Nanti aku ceritakan ya”
***
Hari ini seperti biasa aku dan Mas Ferly pergi bertiga bersama mami untuk melakukan ibadah. Khusus aku dan Mas Ferly kami mengarah ke masjid pusat kota untuk mengaji dengan salah seorang ustadz yang dengan sabar membimbing Mas Ferly yang seorang mualaf. Walaupun, sudah tiga tahun menjadi mualaf masih banyak hal yang harus di pelajari suami ku. Sementara, sebelum meluncur menuju Masjid, kami terlebih dahulu menyambangi gereja besar di kota ini untuk mengantar mami kebaktian.
“Mami tidak mau ya di jemputnya terlambat” ucap mami.
“Oke mami” ujar Mas Ferly. “Iya mami percaya pada janji mu. Tapi, biasanya kan istri mu yang lebih senang kau di Masjid daripada menjemput mami di gereja” ucap mami dengan melirik sinis ke wajah ku yang terlihat dari kaca spion di depan setir.
Tangan Mas Ferly menggembang erat tangan ku seolah memberikan sinyal untuk mengasah kesabaran ku menghadapi mami. Senyum simpulnya menyiratkan untuk selalu ingat bahwa dia akan selalu ada di sebelah ku dalam kondisi terburuk sekali pun.
Sudah tiga tahun pernikahan ku dengan Mas Ferly. Berbagai perjuangan membangun mahligai pernikahan ini pun telah berhasil kami lewati. Perbedaan keyakinan, menaklukan keluarga dari kedua belah pihak yang awalnya menentang hubungan kami maupun pengorbanan lainnya terkait budaya dan agama. Tapi, perjuangan itu tidak lantas membuat ku lega. Masih ada mami yang hatinya masih keras terhadap ku. Menganggap aku perempuan yang mengambil perhatian anaknya. Sudah setahun terakhir mami hijrah ke Surabaya dari Medan untuk tinggal bersama kami. Aku bahagia dengan adanya mami, dengan begitu aku bisa lebih intensif mengambil hati mami. Ucapan dan perangai mami memang keras sekali pada ku. Tapi, aku berusaha untuk ikhlas terutama ada suami ku yang selalu memberi kekuatan untuk tabah.
***
“Bu minta rezekinya untuk anak makan?” suara parau dari wanita tua ini, memanggil hati nurani ku untuk memberikan sedikit rezeki. Mami pun merogoh dompet merahnya memberikan santunan bagi ibu pengemis yang sedang menggendong anaknya dalam pelukannya. Sembari meletakkan uang pada kotak perempuan tua itu. Mami berucap sembari mengelus balita di pelukan ibu tua itu “Lucu sekali. Kasihan harus di bawa ke jalanan” semoga bermanfaat ya.
Jiwa dermawan mami sangatlah tinggi sebenarnya. Hatinya memang sekeras batu untuk hal yang tidak kehendaki seperti kehadiran ku dalam kehidupan Mas Ferly yang begitu tidak di kehendakinya. Tapi, apabila dalam urusan yang menguras emosional mami sangatlah peka, terutama ketika melihat anak kecil.
“Kapan kau bisa seperti ibu tadi Juw. Memeluk dan menggendong bayi?” ucap mami dengan wajah sisnisnya.
“Astaghirullah” ku hanya bisa berucap lirih dan mengelus dada menahan sakit pertanyaan mami. “Tuhan belum memberikan mi” timpal Mas Ferly dengan terus memandangi ku.
“Ferly kau pindah agama mengatakan bahwa Tuhan mu yang sekarang kau sembah ini Maha baik, tapi mana kau dan istri mu hingga kini tak kunjung di berikan keturunan. Padahal, istri mu rajin beribadah dan berdo’a” mami semakin sinis dengan nada bicaranya.
Ku mulai menyeka air mata yang sudah luluh dari sudut mata ku. Hati ku hancur, pedih, sakit dan bercampur perasaan lainnya. Rasanya ucapan mami bukan saja meruntuhkan pertahanan pribadi ku, tapi sudah pula menyinggung mengenai agama ku. Apa yang kurasakan ini ku bungkus dalam atas nama keikhlasan. Aku yakin Allah mengulurkan tangan-Nya untuk menolong setiap hambanya yang membutuhkan.
***
Mami sudah tiba di gereja. Selang sepuluh menit aku dan Mas Ferly pun tiba di Masjid. Ustadz Ranawi menyambut kami dengan suka cita.
“Assalamu’alaikum. Pasangan super sekali. Makin kompak dari hari ke hari” ucap Ustadz Ranawi dengan wajah teduhnya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, ustadz berlebihan sekali. Mohon doanya selalu ustadz” ujar Mas Ferly.
Keriangan Ustadz Ranawi hanya di balas oleh suami ku. Sedangkan, aku masih bergelut dengan perasaan atas kejadian tadi dalam perjalanan. Aku bahagia memiliki suami seperti Mas Ferly. Dia sangatlah bijaksana. Walaupun, saat dalam keadaan dilematis sekali pun. Terkadang harus memilih antara aku atau ibunya. Terlebih dua orang wanita yang di cintainya saling berseberangan.
***
Seusai belajar agama dan mengaji ku sempatkan dengan suami ku duduk santai di pelataran Masjid. Mami masih mengikuti kebaktian. Suami ku membeli ice cream untuk meluluhkan hati ku yang panas terbakar api oleh ucapan mami.
“Mas semalam aku bertemu dengan…”
“Dengan siapa? Mengapa kamu bicaranya ragu sayang?” balas suami ku dengan mengelus kerudung coklat ku.
“Bertemu Hanum” jawab ku singkat.
Mas Ferly berhenti mengelus kepala ku dan berhenti pula menelan ice cream di genggamannya. Seolah ada yang menghambatnya untuk meneruskan setiap gerak dan ucapannya.
“Dia bertambah cantik dan sepertinya Mami masih menyukainya mas” ucap ku dengan menatap bola mata suami ku. Seolah meyakinkan terhadap apa yang baru aku katakan.
“Tiada yang lebih cantik dari kamu sayang” balas Mas Ferly dengan mendekat dan mengelus pipi ku. Ku halangi tangan Mas Ferly menyentuh pipi ku.
“Apa yang di katakan Mami benar Mas. Aku tidak bisa membahagiakan mu. Selalu membuat mu dilematis antara aku dan ibu mu. Dan aku man..dul Mas” nada bicara ku meninggi.
Mas Ferly merengkuh ku dalam pelukannya. Hangat sangat hangat. Air mata ku membeku seolah tak ingin di keluarkan. Serasa dunia berpihak pada ku dengan pelukan Mas Ferly. “Aku mencintai mu, karena Allah bukan karena Mami. Biarkan cinta ini tumbuh dengan kehendak kuasa Allah Swt” ucap Mas Ferly.
***
Hari ini aku sedang bersiap. Pekerjaan ku sebagai seorang Assitten Manager di salah satu Bank Syariah ternyata mampu menghantarkan ku ke Baitullah. Aku terpilih sebagai karyawan terbaik dan di berikan reward berupa umroh, walaupun perasaan ku sedih tidak bisa di dampingi oleh suami ku.
“Aku nitip air zam-zam ya sayang” pinta suami ku sebagai pengganti waktunya yang hilang, karena tidak bersama ku. “Iya Insya Allah. Eeem. Mami mau oleh-oleh apa?”.
“Momongan alias anak alias keturunan” Mami pergi meninggalkan ku dan Mas Ferly. Kali ini aku sedang tidak melankolis, jadi tidak ku masukkan ke dalam hati semakin hari aku sudah terbiasa. Tapi, kulihat ada selebaran kertas jatuh dari buku yang di baca mami sebelum meninggalkan ku dan Mas Ferly. Terlihat foto-foto sajadah, alat shalat, serta terselip pula buku kecil panduan shalat.
“Mami.. apakah mungkin Mas mami tertarik pada Islam?” ujar ku.
***
Perjalanan umroh ku telah selesai setelah 10 hari berada di rumah Allah. Segar fikiran dan hati tentunya. Banyak do’a yang aku panjatkan di tanah suci, tapi dua inti do’a ku yang pertama mengenai keturunan dan yang kedua mengenai luluhnya hati mami, terlebih teka-teki dari peristiwa di temukannya foto-foto alat shalat dan buku panduan shalat sesaat sebelum keberangkatan ku ke tanah suci.
Ku bawakan pula oleh-oleh pesanan suami ku, yaitu air zam-zam dan cenderamata lainnya khas kota para An-Anbiya itu, serta untuk Mami aku bawakan sebuah sajadah berwarna Hijau yang di hiasi dengan gambar baitullah dan lafadz Allah pada setiap ornamennya. Entah ini suatu kenekatan atau tidak. Tapi, perasaan ku mengarah pada hadiah ini untuk Mami. Dengan terus berharap do’a ku di jabah oleh Allah Swt.
“Maaf sayang aku jemput terlambat. Baru saja mengantar Mami ke dokter”.
“Mami sakit apa?” jawab ku tersentak.
“Jantungnya kambuh. Ayo kita menuju rumah sakit sekarang!”
***
Mami masih berada dalam perawatan dokter. Tidur Mami dalam sakitnya begitu teduh dan tenang. Aku menangis tersedu melihat kondisi Mami, walaupun Mami adalah ibu mertua yang lebih banyak tidak sukanya pada ku. Tapi, aku mencintai Mami. Bagi ku Mami adalah guru. Guru kesabaran, guru keikhlasan dan Mami adalah malaikat yang melahirkan manusia sebijaksana Mas Ferly suami ku.
“Ferly.. Juwita” ucap mami dengan menahan sesak dalam dadanya.
“Mami.. panggil dokter Mas!” perintah ku pada Mas Ferly.
“Tidak.. tidak. Kau sudah tiba di tanah air ya Ju. Terima kasih Tuhan kau masih izinkan aku bertemu dengan menantu ku ini” Ucap mami dengan terbata.
“Iya mi. Alhamdulillah”.
“Adakah yang ingik kau berikan atau sampaikan ke Mami Ju?”
Segera ku berlari ke arah tas besar ku dan ku raih plastik warna putih yang sudah aku persiapkan untuk Mami. “Maaf mi apabila Mami tidak menyukai hadiah ini. Sungguh Mi Juwita tidak memiliki maksud apa-pun”.
Mami menangis seketika melihat hadiah yang aku berikan. “Bimbing aku dengan lafadz Tuhan mu dan selimuti aku dengan sajadah hijau ini” ujar Mami dengan terbatuk.
“Subhanallah mami. Ampuni Juwita mi” ucap ku dengan tersedu. “Terima kasih kau arahkan anak ku ke dalam jalan lurus. Aku titip Ferly dan calon cucu ku” Mami berucap dengan terbata dan mengelus perut ku.
‘Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah’
Mami pun mengikuti dengan terbata dan di ujung kalimat syahadat Mami menutup mata. Dan sesuai permintaan Mami aku menyelimuti Mami dengan sajadah hijau ini. Semoga Mami tenang di alam kubur dengan Islam sebagai agama akhir hidupnya.
***
Daun jatuh pun seizin-Nya. Gerak hati mengarah pada Lillah. Keikhlasan berbalut kesabaran menjadi benteng kekuatan cinta. Cinta yang berlandas Allah dan untuk Allah.
Allahu Akbar!
Oleh: Ghita Fasya Azuar, Sukasari, Bandung.
Img: inandatiaka