Banyak orang yang hanya bisa memproduksi ide, gagasan atau pandangan brilian dan baik, namun gagal pada level operasionalnya karena tidak mendapatkan “penerimaan” seperti yang diharapkan dan dipersyaratkannya. Gagasan yang baik belum tentu bisa diterima dengan baik. Kenapa bisa begitu? Jawabannya, karena untuk membuat orang lain mengikuti kehendak kita, tidak cukup dengan meyakinkannya dengan kebenaran rasionalitas.
Persoalan akseptabilitas tidak hanya berada dalam domain rasional, faktor emosional juga cukup menentukan. Banyak orang yang terkagum-kagum terhadap kebolehan dan kebenaran pendapat pihak lain, akan tetapi tidak mau mengikutinya hanya karena tidak suka kepada orangnya. Disinilah, maka benar saja tidak cukup, tetapi juga menarik, memikat dan bisa mengetuk hati.
Menjadi orang yang baik dan benar itu suatu keharusan, akan tetapi itu belum cukup untuk mengajak orang lain bisa berpartisipasi jika belum masuk ke hati. Menjadikan orang lain senang atau suka bisa lebih penting untuk didahulukan. Karena itu, seorang penyair Arab, Abdullah bin Mu’awiyah al-Ja’fary berkata,
Pandangan cinta itu tumpul dari segala aib
Tetapi pandangan benci bisa menampilkan segala kekurangan[1]
Karena itu pula, pemimpin kita, Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah kebenaran yang pasti benar, menghiasi dirinya dengan keindahan akhlak yang membuat siapapun kagum dan terketuk hatinya. Apapun dilakukannya (sepanjang tidak termasuk perbuatan yang haram) demi menarik hati masyarakatnya.
Suatu contoh, dituturkan oleh Anas bin Malik, “ada seorang Arab ndeso yang jelek rupa, namanya Zahir. Suatu ketika dia sedang menjual dagangannya, lalu diketahui Rasulullah, maka beliau menghampiri dari belakang dan mendekapnya kuta–kuat sambil menutupkan kedua tangannya kepada kedua matanya Zahir.
Sepontan si Zahir meronta-ronta dan berteriak, “lepaskan, lepaskan aku…..siapa ini?”
Setelah dia tahu kalau yang mendekapnya itu Rasulullah, maka dia segera merapatkan punggungnya kedada Rasulullah SAW. Maka beliau berkata, “Ayo! siapakah yang mau membeli budak?”. Maka Zahir berkata, “Tidak mungkin laku, Rasulullah”. Beliau berkata, “Tetapi di sisi Allah kamu laku sekali”[2].
Luar biasa, Rasulullah Muhammad SAW sang peletak batu peradaban modern, pemecah kegelapan dunia, bisa begitu enjoynya bersenda gurau dengan seorang Zahir, wong ndeso, miskin, jelek lagi. Tapi, tidak hanya itu, beliau juga senang bermain-main dengan anak-anak dan menghibur mereka. Sehingga beliau juga menjadi idola mereka.
Anas bercerita, “Aku punya seorang saudara yang tidak bisa punya anak, namanya Abu Umair. Untuk menghibur diri, dia memiliki seekor burung pipit yang diberi nama nughair. Diluar dugaan, burungnya itu sakit dan dia sangat sedih karenanya. Maka Rasulullah datang sambil membawa dan bergurau dengan anak kecil seraya berkata, wahai Abu Umair, apa yang bisa dilakukan oleh nughair” HR.Bukhari.
Sungguh sangat cerdas dan penuh cinta ketika Rasulullah hendak mengajak hati seseorang. Tentu, untuk mencuri lalu mengalihkan hati orang lain harus diambil oleh hati pula, bukan dengan sekedar kemampuan logika.
Dari itu, meskipun logika seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi, namun hatinya sama sekali tidak ikut berperan dalam tindakan, maka sangat besar kemungkinan tindakan itu tidak mempengaruhi dan menggait hati orang lain.
Author: Muzammil, Yogyakarta