[Cerpen] Impian Keluarga Pemulung

0
1775

Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sinar matahari mulai menyinari seisi bumu ditemani suara burung kecil yang beterbangan di langit. Membuat Rendi semangat menjalani aktifitas. Suara kendaraan kesana kemari mulai terdengar, sinyal sekolah dan bekerja harus segera dimulai. Kota tempat tinggalnya kini dirasakan sebagai daerah yang tidak pernah tidur. Pagi, siang dan malam, tetap saja segala aktifitas orang berlalu lalang dan setiap kendaraan dengan bebas melintas dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup.

Rendi, bekerja sebagai pemulung guna membantu mencari uang untuk keluarga. Ia juga masih bersekolah di salah satu sekolah menegah pertama negeri di Jakarta. Setiap selesai pulang sekolah, ia langsung berangkat menuju tempat pembuangan sampah di sekitar rumah atau berjalan menyusuri tempat-tempat sampah dan pasar tradisional. Tidak ada rasa malu yang membayangi hatinya, asalkan itu halal.

Ia memiliki sebuah impian, yaitu menyumbang seekor kambing untuk qurban saat Idul Adha nanti. Suatu hari ia berkata pada orang tuanya saat istirahat di rumah.

“Ayah, ibu, keluarga seperti kita ini, apakah bisa membeli seekor kambing untuk hari raya Idul Adha nanti?”

“Nak, tidak ada yang tidak mungkin di mata Tuhan. Coba siapa yang bisa menghalangi dan merubah kehendak-Nya? Percayalah,” tukas ayah.

“Iya, ayah, aku ingin sekali uang tabungan yang selama ini terkumpul, bisa digunakan untu qurban.”

“Baiklah, masih ada waktu beberapa bulan, kumpulkan dan jadikan uang itu bermanfaat bagi orang lain,” ujar ibu.

“Siap, terima kasih ayah, ibu. Apapun yang terjadi, takdir pasti memihak pada kebenaran disertai dengan kepercayaan”

Motivasi tersebut membuatnya semangatnya dalam mencari penghasilan. Ia pun mencurahkan impiannya itu kepada teman-teman di sekolah maupun sekitar rumah. Sesekali ia ditertawai oleh orang-orang karena seorang anak pemulung. Profesi ini terkadang memang kurang dihargai seperti yang dialami rendi ketika berada di sekolah yang dihina oleh salah seorang teman sekelas.

“Hai anak pemulung, hebat sekali kau masih bisa sekolah, darimana orang tuamu dapat uang, merampok ya?” tertawa sebagian teman-temannya.

Air mata seakan tak bisa kompromi untuk keluar dari pusat mengalir menuju titik terbawah. Ingin sekali ia membalasnya dengan sebuah pukulan keras bak pendekar menekuk semua musuh-musuhnya. Hati yang sabar membasuh kemarahan dan kekesalan dalam diri. Ia menjawab dengan tegas dan hati-hati.

“Aku memang orang miskin, tidak punya apa-apa, tapi ingat, suatu saat nanti aku akan membuktikan kalau aku bisa membeli seekor kambing untuk qurban dengan uang hasil kerja keras selama ini, sedangkan kalian, apa tidak malu masih saja mengandalkan orang tua!”

“Wah, nyalimu besar juga berani berkata begitu. Baiklah, aku akan melihat sejauhmana kesanggupan dari orang pinggiran. Kalau kau tidak berhasil, bersiaplah dengan serbuan kata-kata pahit akan menghujani dirimu.”

***

Selesai sekolah, ia merenung diselimuti kesedihan mendengar perkataan teman-temannya. Ia cerita kepada ayah dan ibu seputar kejadian yang dialaminya di sekolah. Selesai istirahat, dengan terburu-buru berangkat menuju pembuangan sampah untuk mencari barang-barang bekas seperti kaleng dan botol plastik. Profesi ini juga diembani oleh sebagian tetangga dan teman bermainnya.

Dua jam berjalan menelusuri jalanan, ia bertemu dengan seorang tukang sol sepatu yang sedang duduk-duduk di bawah pohon rindang untuk melepas penat. Ia menghampiri dan menegur dengan pelan-pelan. Tampak wajah kelelahan dan keletihan menghiasi wajah serinya itu.Ia asik berbicara menceritakan hasil pekerjaan hari itu dan pengalaman-pengalaman selama bekerja.

“Bagaimana hasil kerja hari ini, bang?” tutur Rendi.

“Tidak seberapa, hanya satu sepatu yang beru diperbaiki setelah lima jam berkeliling. Aku bingung, kalo seharian hanya satu sepatu, bagaimana dengan nasib keluarga, mau dikasih makan apa?”

“Tenang saja, bang, rezeki Tuhan tidak akan tertukar dan keman-mana, semua sudah diatur. Kita bersyukur saja.”

“Mau bersyukur bagaimana, untuk makan saja hanya bisa dengan satu lauk.”

“Baiklah, kebetulan aku baru mendapatkan rezeki lebih. Aku punya satu nasi bungkus buat abang.”

“Kamu bercanda, sudah, makan saja.”

“Aku serius, bang, anggap saja ini tanda sebuah pertemanan.”

“Hmm, baiklah kalau begitu, terima kasih ya.”

Setelah beberapa saat istirahat, ia dan tukang sol itu kembali bekerja. Ia sadar, ternyata masih ada orang yang lebih sulit dari pemulung. Penghasilannya tidak seberapa setelah seharian berkeliling. Ia terus bersyukur dan belajar dari pertemuan tadi. Tidak semua orang selalu beruntung dalam mencari uang.

Setelah bekerja, ia lembali ke rumah untuk bertemu dengan orang tua dan melepas penat kelelahan. Ia memiliki seekor hewan peliharaan yang selalu menemaninya tidur dan senda gurau, kucing jalanan berwarna putih abu-abu. Selama ada masalah, suka ataupun duka, kucingnya menjadi teman sejati menemani.

Uang yang sudah terkumpul lumayan besar. Namun, butuh beberapa lagi agar bisa membeli seekor hewan qurban. Satu kambing saja harganya bisa mencapai satu jutaan. Ia berpikir darimana mendapatkan sisa uangnya lagi, sedangkan meminta dari orang tua sama saja membeli tidak dengan hasil sendiri.

Hampir setiap malam ia cerita kepada Tuhan kegelisahan hatinya. Semua isi hati dikeluarkan dan miminta agar semua dimudahi dan diberkahi. Karena, suatu keinginan yang tercapai tapi tidak berkah dan diridhai, akan sia-sia dan percuma.

***

Beberapa minggu lagi akan sampai pada hari yang ditunggu-tunggu, Idul Adha. Uang yang dikumpulkan, belum juga cukup terkumpul. Ia tidak terlalu mengambil pusing memikirkan hal ini. Semua sudah ada yang mengatur, pasti ada kemudahan. Ia menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa.Sekolah dan berkeliling mencari barang bekas sebagai pemulung. Disetiap daerah yang dilalui, selain tukang sol kemarin, ia melihat berbagai kondisi saudara-saudaranya yang lain. Seperti, anak jalanan dan tidak memiliki rumah sehingga harus tinggal di kolong jembatan.

Mengamen adalah pekerjaan sehari-hari mereka, hingga terbesit dalam pikiran, sungguh tega orang tua yang membiarkan anaknya ngamen dan terlantar di jalanan. Tidak mencerminkan kasih sayang seorang ayah dan ibu yang telah menjaga, mengandung dan merawatnya hingga besar seperti sekarang. Lagi-lagi, ia cukup beruntung memiliki rumah, menjadi seorang pemulung, mendapatkan kasih sayang orang tua, dan masih banyak lagi kelebihan yang dimiliki.

Sampai di sebuah rumah, ia melihat tas tergeletak di dalam tong sampah. Langsung ia mengambil dan melihat apa isi tas tersebut. Ternyata ada sebuah dompet beserta sejumlah uang dan perlengkapan yang lain. Ia melihat kartu tanda penduduk pemilik dompet tersebut. Pemiliknya merupakan seorang pengusaha pabrik makanan. Ia heran, mengapa tas ini dibuang, sedangkan isinya tidak diambil.

Ia membawanya pulang ke rumah dan menyembunyikannya di kamar tanpa sepengetahuan orang tua. Sebuah inisiatif dalam hatinya tergerak mengembalikan kepada pemiliknya. Walaupun, sempat godaan muncul untuk memakai uang tersebut membeli seekor kambing qurban. Sontak saja, ia bergumam dan mengingat kekuasaan Tuhan, seakan ada yang membisikannya agar segera dikembalikan.

Tanpa pikir panjang, keesokan harinya ia menghubungi pengusaha tersebut guna mengambil dompetnya itu. Setelah pulang sekolah, ia berjalan mencari telepon umum dan melakukan perjanjian untuk bertemu di suatu tempat. Akhirnya, taman di perumahan komplek tidah jauh dari rumahnya sebagai tempat pilihan. Penampilan sebagai anak pemulung tidak dihilangkannya dengan memakai busana biasa saja juga sederhana.

“Anda yang menghubungi saya tadi pagi ya!”

“ Iya, pak. Saya mau mengembalikan tas dan seluruh isi-isinya.”

“Terima kasih ya, nak. Semoga kebaikanmu ini dibalas oleh Tuhan.”

“Sama-sama, pak. Sebelumnya, saya mau bertanya, mengapa tas ini berada di tempat sampah?”

“Bagini ceritanya, sewaktu saya hendak pulang ke rumah, tas ini berada di dalam mobil dengan pintu terbuka. Ketika itu saya ada di depan dan tas ini berada di belakang. Tanpa pengawasan ketat, ada sepeda motor melintas dikendarai dua orang memakai helm mengambil tas dan bergegas pergi begitu saja menekan pedal dengan sekencang-kencangnya. Saya melihat itu langsung teriak meminta bantuan warga sekitar. Karena pengemudi motor itu memiliki senjata, tidak ada seorang pun yang berani menaklukannya. Saya tidak tahu lagi, mengapa tas ini berada di tempat sampah.”

“Hmm, kalau begitu, bapak harus berhati-hati lagi agar tidak terulang.”

“Baiklah, untuk membalas kebaikanmu, kamu mau apa, bilang saja.”

“Tidak usah, pak. Aku tidak akan mengharap pamrih atau apapun.”

“Jangan begitu, ini rezeki, ayo bilang saja.”

“Aku sebenarnya memiliki impian ingin berqurban, tapi belum cukup terkumpul uangnya.”

“Begitu ya, dimana rumahmu, bapak akan mengirimkan kambing.”

“Tapi aku tidak mau merepotkan bapak.”

“ Begini saja, bapak ingin bertemu dengan orang tuamu dulu, bagaimana?”

“Untuk apa?”

“Silaturahim saja dan main ke rumahmu.”

“Dengan senang hati.”

Orang tua Rendi juga tidak mau ketinggalan, mereka bersiap menyumbang dua ekor kambing ke sebuah Masjid terdekat. Sebelumnya, mereka juga pernah ditertawai oleh tetangga sekitar seputar hewan qurban. Namun, itu tidak menyurutkan hati yang sangat mulia ini. Dua hari sebelum Idul Adha, kambing-kambing sudah berada di rumah mereka. Satu ekor dari seorang pengusaha, dua lagi hasil kerja keras sang ayah dan ibu. Rendi menyadari bahwa belum saatnya ia bisa berqurban. Setelah orang tuanya menjelaskan dengan sebaik mungkin agar tidak ada rasa sedih menghampirinya.

Sore harinya, mereka mendatangi pengurus Masjid setempat bernama Mahmud. Saat bertemu, si pengurus terkejut dan terharu. Melihat keluarga pemulung membawa empat ekor kambing untuk diqurbankan. Awalnya, antara kedua belah pihak kebingungan, mau diapakan kambing ini. Tapi, ayah Rendi menjelaskan kalau kambing-kambing itu mau disumbangkan. Mendengar hal itu, si pengurus langsung meneteskan air mata, tak sanggup lagi membendungnya.

“Saya tidak menyangka, inilah maha besar Allah.”

“Kami bekerja keras untuk ini semua, kami bersyukur, impian kami terwujud.”

“Saya sangat malu, hingga saat ini saja belum mampu untuk berqurban, sungguh, kalian sangat memotivasi.”

“Terima kasih, ini kuasa Allah, pak, kami tidak akan bisa seperti ini tanpa kebesaran-Nya.”

Mahmud mempersilakan mereka untuk menempatkan kambing itu ke pagar Masjid. Mereka sempat bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya sama-sama berpamitan karena masing-masing masih memiliki tugas yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, orang tuanya tersenyum bahagia telah menjalankan tugas mulia. Sedangkan Rendi mengajak teman-temannya ke Masjid hingga membuat mereka terdiam.

Oleh : Reza Arga Putra, Pondok Bambu Jakarta Timur

Tinggalkan Balasan