Andai perjuangan ini mudah, pasti banyak yang menyertainya.
Andai perjuangan ini singkat, pasti ramai yang istiqomah.
Andai perjuangan ini menjanjikan kesenangan dunia, pasti ramai yang tertarik padanya.
Tapi hakikat perjuangan bukan begitu.
-Assyahid Hasan Al Banna-
Gelegar memekakkan telinga memenjarakan kami. Asap membumbung tinggi dan menghalangi pandangan. Rentetan tembakan memenuhi tiap celah terbuka. Tubuh-tubuh berjatuhan, melintang di atas tanah dan aspal dengan kepala yang hancur atau kaki yang berlubang. Tank-tank baja merangsek masuk, meratakan kantung-kantung pasir yang kami susun tinggi-tinggi menjadi benteng darurat. Tenda-tenda lenyap bersama dengan pemiliknya. Kami dipaksa masuk namun lebih banyak lagi yang tewas dan berdebum di jalanan. Takbir berkumandang.
Ya, Rabb, ini adalah sesuatu yang Engkau janjikan atas kami dan dari tempat kaki kami berpijak, kami bisa mencium wangi surga-Mu.
oOo
Asmira duduk bersila di atas tikar lusuhnya. Kedua tangannya menangkup mewadahi sebuah mushaf kecil sederhana di atas telapak tangannya. Bibirnya lantun melagukan surat cinta dari sang Illahi. Gadis itu menghentikan bacaannya ketika kepala Rabab Raakan menyembul dari celah pintu masuk tenda.
“Kau sudah dengar? Mereka mengancam akan menghalau kita sore nanti.”
Wajah gadis keturunan Turki itu berbalut kecemasan. Rabab Raakan adalah wartawan magang salah satu stasiun televisi di Turki. Tubuhnya kurus dan menjulang. Kaki-kakinya yang panjang sangat efektif untuk meminimalisir jarak yang terbentang antara dirinya dan objek berita yang akan diangkatnya. Gadis itu jarang tersenyum tapi kau bisa merasakan ketulusan hatinya dari caranya memperlakukan orang lain. Sebuah kartu bertali tergantung di lehernya. Kata-kata “Pers” tercetak jelas di bagian bawahnya, hitam di atas putih. Selain kartu, kamera berperekam juga setia menemani gadis itu. Kesigapan adalah salah satu etika kerja para jurnalis, akunya.
Asmira baru mengenalnya selama dua pekan terakhir ketika mereka tak sengaja bertubrukan saat mengantri mengambil air untuk berwudhu dan Asmira nyaris menghancurkan kamera sang gadis Turki. Perkenalan mereka biasa saja. Tapi begitu tahu bahwa Rabab adalah seorang jurnalis, Asmira yang memang ingin sekali menjadi seorang jurnalis memanfaatkan momen itu untuk bertanya lebih jauh perihal bidang yang disukainya itu.
Asmira adalah gadis Mesir berusia enam belas tahun. Matanya coklat terang nyaris abu-abu dan di sanalah orang-orang bisa melihat kecerdasan gadis itu. Ayahnya sudah tiada dan dia tinggal bersama ibunya di Kairo. Asmira sesungguhnya anak kedua dalam keluarganya, kakak lelakinya meninggal beberapa hari yang lalu saat ada bentrokan massa pendukung pemerintahan yang sah dengan barisan militer yang menyerang tanpa ampun. Tak ada air mata yang menetes saat jenazah kakak lelakinya diangsurkan ke depan matanya. Hanya sebuah senyum yang bertengger di wajahnya. Faktanya, senyum yang sama juga terlukis di wajah kaku kakak lelakinya yang tak lagi bernapas.
Baru tadi malam ibunya menelepon, menanyakan kabar anak gadis semata wayangnya. Tak ada bujukan untuk pulang. Ibunya hanya berpesan untuk terus bermunajat pada Tuhan dan membantu apa saja yang Asmira bisa di sana. Perempuan tua itu meyakini anaknya akan menjadi pejuang wanita yang harum namanya. Dia bangga akan gadisnya dan walau sakit, dia tahu Asmira bukanlah miliknya. Ketika gadis itu memutuskan untuk menyusul kakak lelakinya dan bersimpuh di kakinya untuk meminta izin, keegoisan lenyap dari hati perempuan tua itu dan dia merestui kepergian anak perempuannya dengan rasa bangga yang bertalu-talu dalam dadanya.
“Ya, aku sudah dengar,” jawab gadis cantik itu akhirnya. Asmira menutup mushaf dan mendekapnya di dada, dagunya sedikit terangkat dan gadis itu menatap langit-langit tenda yang berlubang di sana-sini. Pikirannya melayang menembus kain terpal dan berkepak di langit Mesir yang mendung. Dia teringat ibunya dan betapa gadis itu merindukan perempuan yang sudah tidak dilihatnya selama dua minggu terakhir. Sesuatu mencekat lehernya dan Asmira merasakan keinginan besar untuk menangis. Bukan jenis menangis pilu, lebih kepada jenis menangis karena kerinduan yang menekan dadanya.
“Kau sudah dengar apa yang terjadi dengan Maria?” sela Rabab Raakan lagi. Gadis Turki itu melihatnya dengan tatapan keras yang terselip keresahan. Asmira tahu Rabab Raakan mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan menimpa kaum perempuan di lapangan luas tempat mereka melakukan aksi protes dengan membuat barikade dan melantunkan asma Allah. Maria Akhenaten bukanlah korban pertama. Gadis itu korban kesekian yang ditemukan sudah tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Pakaiannya direnggut dari tubuh gadis itu dengan cara yang kasar, kerudungnya dicampakkan hingga jauh, dan semua orang tahu bahwa beberapa oknum militer sudah menggerayangi tubuh gadis itu sebelum menembak kepalanya hingga berlubang. Naudzubillahimindzalik. Dan teror itu sesungguhnya membayangi tiap-tiap diri baik laki-laki maupun perempuan yang masih bertahan di tempat itu.
Katakan mereka keras kepala dan tak beradab. Media bisa memutar balikkan semua fakta di lapangan. Tapi Tuhan dan orang-orang yang duduk bersama Asmira di tempat itu tahu dengan pasti bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk perjuangan. Perjuangan yang akan sulit dicerna bagi kepala-kepala yang sudah tercemari ide-ide dan pemikiran Zionis.
Asmira mendesah rendah sebelum merespon gadis itu dan memulas senyum. “Ya, saudariku. Maria Akhenaten sudah tenang bersama para bidadari di Surga. Malah mungkin sudah menjadi bagian dari mereka. Seorang manusia yang bahkan bidadaripun cemburu padanya.” Jemarinya terulur dan Asmira menggenggam jemari-jemari Rabab Raakan, meremasnya dengan lembut. “Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kita aman sebentar lagi.”
Meski bingung dengan kalimat terakhir Asmira, Rabab Rakaan mengangguk dan turut memulas senyumnya. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang entah bagaimana berhasil membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Jika ada yang mengatakan bahwa kedewasaan tidak dilihat dari umur seseorang, maka Rabab Raakan akan ikut berdiri dalam barisan dan menjadi orang pertama yang mengamini hal tersebut.
“Kau mau membantu tim medis, Asmira? Di sana kita lebih berguna daripada di sini.” Rabab Raakan menepuk lengan Asmira sembari bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya. Asmira segera mengangguk dan segera memasukkan mushafnya dalam sebuah kantong serut kecil yang terbuat dari kain dan diberi tali. Gadis itu menyampirkan tas serutnya melewati kepala lalu memasukkan telepon selularnya setelah memastikan pesan singkat yang diketiknya beberapa waktu lalu telah berhasil terkirim ke nomor ibunya.
oOo
Saat debuman keras dan getaran kencang meliputi mereka, Asmira dan Rabab Raakan tengah membantu mengganti perban seorang lelaki tua yang kemarin sore selamat dari serangan para militer Mesir. Bau antiseptik menyerang indera penciuman mereka diselingi dengan bau nanah yang mengalir dari lubang kecil di betis sang pria tua.
Rabab Raakan menoleh ke arah Asmira dan berkata dengan suara bergetar, “Aku harus meliput ini.” Asmira menatap gadis Turki itu lekat-lekat lalu tersenyum cerah. Dentuman kembali terdengar dan ramai manusia berteriak dan bertakbir. Menyingkirkan perban dari tangannya, gadis muda itu memeluk sang kawan seperjuangannya dengan erat.
“Kita akan bertemu lagi, sebentar lagi. Kita bisa beristirahat sebentar lagi. Kau percaya?” tanya Asmira dengan wajah sumringah dan bercahaya. Rabab Raakan memiliki ide kemana sebetulnya perkataan gadis itu merujuk. Ada rasa takut yang terselip dalam hatinya dan Asmira mengetahui hal itu. Rabab Raakan masih merasakan ketakjuban betapa gadis itu sama sekali tidak memiliki kepanikan secuilpun tentang nasibnya beberapa menit ke depan. Hanya saja, ini soal kematian.
“Semua akan mati pada akhirnya, Rabab,” tukas Asmira seolah membaca pikiran Rabab Raakan. “Di tempat ini kau diberikan pilihan untuk menentukan jenis kematian yang kau inginkan. Jika kau ingin tempat di surga bersama Rasulullah dan para syuhada, angkatlah dagumu dan lakukan pekerjaanmu dengan baik. Enyahkan rasa takutmu, Allah bersamamu. Tak ada yang bisa menjamin kalau kematian tidaklah menyakitkan, bahkan Rasulullah pun merasakan sakitnya, tapi itu tak akan sebanding dengan surga yang menunggu untuk kau tinggali. Jangan ragu, kawan. Kau tidak pernah sendirian.”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin kalau…kalau kita akan beristirahat sebentar lagi?” Rabab Raakan merasa harus memastikan sesuatu sebelum betul-betul beranjak dari tempatnya dan memenuhi tugasnya. Sebenarnya semua itu masuk diakal, mereka semua yang datang ke tempat ini adalah orang-orang yang siap mati, termasuk dengan Rabab Raakan. Gadis Turki itu sudah diberitahu mengenai semua resikonya sebelum diterbangkan ke Mesir dan didaulat menjadi wartawan di lapangan. Dia sudah menandatangani surat kematiannya begitu dia mengamini permintaan stasiun televisi tempatnya bekerja. Jaminan bahwa pers tidak akan dilukai hanyalah sebuah omong kosong dalam situasi kacau seperti sekarang ini.
“Aku bermimpi berada di sebuah lapangan luas penuh bunga. Ada sebuah pintu gerbang bercat putih di depan salah satu pagar tanaman di bagian tepi utaranya. Saat aku mau memasukinya, dua orang penjaga bertudung dan berjubah putih menahanku. Mereka berkata, kembalilah sore nanti, datanglah bersama Rabab Raakan. Pintu ini akan terbuka bagi kalian.”
Asmira menatap Rabab Raakan dengan kedua matanya yang kini mulai basah oleh air mata. “Pergilah saudariku, bahkan dari sini pun aku sudah bisa mencium bau surga.”
Merinding, Rabab Raakan mengangguk dan menangis kecil, gadis Turki itu memeluk Asmira lalu bergegas pergi. Jantungnya bertalu-talu dengan kecang. Bukan karena takut, melainkan karena gadis itu sebentar lagi akan menjemput janji dari Tuhannya. Pria tua yang mereka rawat beberapa waktu lalu menyunggingkan senyum lalu berkata, “Semoga kita berjumpa lagi di Jannahnya, Nak.”
Tepat setelah itu serombongan pasukan militer mendobrak masuk dan membakar orang-orang di dekat pintu masuk. Langit kembali riuh oleh teriakan-teriakan manusia. Asmira berlari ke sana-sini, membantu orang-orang yang kesulitan untuk menyelamatkan diri. Gadis itu berteriak dengan lantang, mengalahkan bunyi rentetan senapan dan dentuman peledak, membantu beberapa korban terluka untuk pindah ke tempat yang lebih aman. Hatinya penuh dengan tekad dan rasa takut ditinggalkannya jauh di belakang. Gadis Mesir itu begitu menyatu dengan pengabdiannya hingga tak sadar jika seorang penembak jitu tengah mengincarnya. Lengannya terlulur dan Asmira bergerak untuk menolong seorang gadis yang terjatuh tepat ketika penembak jitu tersebut menarik pelatuk senapannya dan membidik dengan sangat akurat. Sebuah peluru menembus dada kirinya, tepat di jantung yang masih berdegup dengan gagah. Darah menyembur dari lubang di dadanya dan gadis itu memuntahkan darah lewat mulut. Anehnya, bukan erangan dan teriakan kesakitan yang terdengar dari bibir gadis itu. Alih-alih, gadis itu sempat menggumamkan takbir dan lantas tersenyum cerah. Lebih cerah daripada senyum ketika gadis itu mendapatkan hadiah sepeda pertamanya dari sang ayah. Tubuhnya limbung dan satu peluru lagi menembus betis kirinya. Tapi beberapa detik sebelum itu, sesungguhnya Asmira sudah pergi meninggalkan tanah Mesir yang dibelanya.
Di tempat lain di Mesir, berkilometer jauhnya dari tempat itu, bunyi bip-bip telepon selular terdengar dan seorang perempuan tua segera menyambut suara itu. Dengan terbalut mukena berwarna putih salju, jemarinya yang keriput dan gemetar menyentuh layar, membaca kalimat yang tertera di sana. Tak berapa lama air mata mengalir dari kedua matanya, bergulir di pipinya yang tua. Pesan tersebut datang dari sang anak. Isinya,
Ibu, aku bermimpi berada di sebuah lapangan luas penuh bunga tadi malam. Aku berlari dan terus berlari sembari tertawa riang hingga aku menemukan sebuah gerbang lengkung besar berwarna putih di sisi utaranya. Dari balik gerbang, aku bisa melihat sepeda kecil milikku yang kudapat dari ayah bertahun-tahun yang lalu. Aku ingin sekali masuk dan menyentuhnya, tapi dua penjaga berjubah putih menahanku. Mereka bilang gerbang itu baru bisa aku lewati sore hari bersama seorang sahabatku di sini, Rabab Raakan dari Turki.
Aku akan pergi ke sana dengan Rabab sore ini, ibu. Kuharap ibu mengizinkan. Dan tahukah ibu? Aku bermimpi mengenakan abaya kesayanganmu saat itu. Aku yakin kita akan bertemu lagi secepatnya. Asmira sayang ibu, sangat sayang. Maafkan segala kesalahan Asmira ya, Ibu. Di tempat ini Asmira bersimpuh di kaki Ibu, meminta maaf dan kerelaan ibu untuk membiarkan Asmira melangkah lebih jauh untuk semakin mendekati ibu.
Anak ibu, Asmira.
Oleh: Silpi Widia Mayasari, Cimahi Jawa Barat