Mendung, langit tak begitu bersahabat hari ini. Mungkin karena mereka tau kegalauan hatiku. Aku sangat bosan dengan hidup yang seperti ini. aku selalu menyanggahnya namun minggu-minggu ini betul-betul tak dapat disanggah lagi, akhirnya aku mengalah terhadap bisikan negatif di telingaku.aku sangat bosan dengan hidup yang serasa tak ada warnanya.aku iri dengan teman-temanku. Tiba-tiba muncul rasa tak bersyukur dihatiku.tapi… ah sudahlah daripada aku memikirkan hal yang tak jelas lebih baik aku keluar rumah saja. Saat ku buka pintu depan, ulu hatiku terasa nyeri dan kepalaku terasa pening. Ah…. Kambuh lagi. Inilah salah satu alasan kejenuhanku selama ini. Berkutat dengan rasa tak enak seperti ini. Apalagi sekarang aku jauh dari kampungku. Merantau dikota orang, orang rumah mulai menyarankan untuk memeriksakan keadaan ku agar dapat diketahui apa yang aneh dengan tubuhku. Tapi kurasa aku tidak ingin mengetahuinya, karena dengan mengetahuinya membuatku merasakan ketakutan setiap saat. Menyebut sebuah penyakit hinggap ditubuhku adalah hal yang paling menyebalkan.ketika orang lain memandang kita sebagai seonggok virus. Ahhh…aku tidak mau seperti itu. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan istirahat. Kenapa semakin hari semakin lelah saja tubuh ini?
Sejenak aku melupakan persoalan di kampung halamanku. Mengingat keluargaku dibantai oleh pejabat desa. Para warga menyingkirkan kami dari pergaulan dan adat. Seakan aku ingin membunuh mereka satu-satu, mereka yang melihat masalah dari satu pihak saja dan berpihak pada jabatan yang lebh tinggi. Bip…bip
Hp berbunyi
Pesan singkat Zuha:
jadi ke alun-alun gk?
Aku membalas:
gk ah…males capek. Mw stay at home aj
Pesan singkat Zuha :
dsar keboooooo.y uda aku mau ke sekolah Aj
Sahabat ku….hahah meski agak galak dan egois aku sudah merasa nyaman dengannya. Emang sikapnya agak ketus seperti itu. Aku ingat ketika ia merasa pertama kali jatuh cinta pada kakak kelas. Begitu gokil sikapnya. setidaknya seperti itu lebih baik di banding aku yang di cap tak bisa jatuh cinta pada seseorang. Tak ingin mengingkari, aku memang tidak bisa jatuh cinta dengan mudahnya dengan seseorang. Jangan sangka aku tidak normal ya!. Aku mengenal banyak tipe cowok dan aku banyak dekat dengan cowok. Beberapa pernah mengira aku suka pada mereka.hal yang paling aku takuti yitu ketika mereka mengutarakan rasa cintanya padaku.Jawabanku pasti akan membuat mereka menjauhiku. Huh aku masih ingin bebas, selain itu aku tidak bisa menganggap mereka sebagai pacar.
Aku terlalu mengikat diriku sehingga aku tak membiarkan diriku mencintai seseorang dan memang belum ada yang aku suka. Terkadang saya malah berpikir bahwa saya tidak ingin jatuh cinta karena terlalu sering mendengar curhatan teman-temanku yangtidak bernasib baik dalam percintaan.
Tanganku mencengkeram kuat perutku yang sedari tadi tak henti-hentinya menyiksa kepalaku. Samar-samar kulihat beberapa tisu dibawah kasurku. Beberapa diantaranya terdapat bercak darah yang beberapa menit lalu aku muntahkan. Tanganku yang gemetaran mencari-cari kotak obat disebelah tempat tidurku. Handphoneku berbunyi kembali. Kali ini panggilan masuk. Tanganku yang semula mencari kotak obat malah mengambil handphone yang berdering. Kulihat dari nomor asing.
“halo… siapa ini?” jawabku sambil menahan rasa sakit di perutku yang mulai menjalar ke kepalaku.
Bukan jawaban yang aku dapat malah ia justrumenutup panggilannya.
***
Pemandangan kamar pagi ini sangat berbeda dengan kemarin. Kali ini tidak ada tisu maupun bekas muntahanku. Semua telah tertata rapi. Aku mulai menyusun agenda hari ini yang diperkirakan akan sulit mencari celah untuk istirahat. Sebagian menyelesaikan urusan kemarin yang sempat tertunda. Kurapikan kembali dandananku namun tetap saja efek pucat ini tidak dapat hilang sepenuhnya. Agenda pertama yaitu menghadiri rapat komite takmir mushola sekolah. Raut wajahnya agak berubah membaca agenda pertamanya ini. jabatan sebagai ketua osis tidak dapat aku elakkan untuk absen dalam pertemuan itu. aku mulai menghitung kemungkinan seberapa jauh aku dapat bertahan dalam ruangan itu dengan kondisiku hari ini.
Belum lama pertemuan dibuka, rasa bosan mulai menggelayuti pikiranku. Aku memang bukan termasuk siswa begitu alim disekolahku. Aku mencoba menikmati suasana yang ada. Ditengah-tengah sambutan ketua takmir yang baru terpilih, aku merasa pandanganku muali kabur. Seakan ada yang mendorong keluar dari kerongkonganku. aku mencoba mengumpulkan segenap tenagaku untuk menuju ke kamar kecil disamping ruangan. Disana aku memuntahkan beberapa mililiter darah dari dalam diriku. Aku hanya mengusap mulutku yang terdapat sedikit bercak darah tadi. Namun tidak disangka, atap kamar kecil itu roboh bersamaan dengan jatuhnya seorang laki-laki dihadapanku. Tergambar jelas raut wajahnya yang kesakitan dan menahan malu. Raut wajahnya langsung berubah ketika melihat darah disekitarku dan di mulutku. Wajah yang kesakitan itu berubah seakan ia melihat hantu penghisap darah didepannya. Ia hendak berlari keluar namun tanganlu menari lengan bajunya.
“Jangan keluar… jangan takut” Kataku sekenanya. Ia hanya menuruti kata-kataku seraya menenangkan dirinya.
“Bukannya ini Ajeng? Astaghfirullah…. Kamu kenapa Jeng?” Terlihat wajahnya berubah menjadi panik.
“Aku tidak apa-apa. Jangan bilang siapa-siapa…”seraya menempelkan jari telunjukku di bibirku. Terdengar suara ribut dibalik pintu, aku segera bergegas keluar. Aku terkejut karena sudah banyak orang disekitar . Mungkin suara atap roboh itu yang membuat mereka berkumpul disini.
***
Aku bersyukur kondisi tubuhku tidak memburuk setelah kejadian tadi pagi. Alhasil agenda hari ini sukses dijalankan. Aku yang sedang berdiri hendak membuka lokerku menyadari bahwa zuha telah berdiri tepat di belakangku. Aku tersenyum tipis.
“Jangan coba-coba mengagetkanku, gimana acara kemaren?”Kataku sambil membuka kunci loker.
“Aku agak telat. Minggu ini aku harus dapat peran utama, kabarnya Kak Lucas juga ikut casting. Eh apaan tuh?” Ia menunjuk secarik kertas yang terjatuh saat aku menarik pintu loker. Aku memungutnya. Hah? Puisi? Zuha mencoba untuk melihat isi dari secarik kertas misterius itu.
“Cieee sekarang udah punya penggemar rahasia, biar aku tebak. Apa mungkin herwan? Hilman? Faruq? Atau Pandu. Hem begitu banyak yang dekat denganmu sampai aku tidak bisa menebaknya.” Sambil berusaha merebut kertas kuning ditanganku. Aku akui, aku sempat tersentuh dengan puisi itu. Tapi siapa yang mengirim puisi seindah ini? Dari kebanyakan cowok yang saya kenal, aku yakin mereka tak akan mampu membuat kata-kata seindah dan setulus ini.
***
Semenjak hari itu, aku selalu mendapat secarik kertas kuning berisi puisi. Terkadang hanya kata-kata mutiara. aku melihat sekumpulan kertas itu menggunung di samping meja belajarku. Sampai sekarang aku belum tahu siapa pengirim kertas itu. Wajar saja, aku tidak berniat untuk menemukan siapa pengirimnya. Anehnya, kertas-kertas itu seakan memberi warna tersendiri dalam hidupku yang sekarang ini. Ia seakan tahu kondisiku dengan benar, terkadang ia menanyakan kesehatanku. Kerinduan dengan secarik kertas itu membuat aku menjilid khusus kumpulan kertas itu. Perasaan bahagia selalu menyelimutiku ketika aku membacanya.
Malam begitu ramai, memandang Warung Lamongan di depan terbersit niat untuk merogoh kocek agak lebih untuk menu makan malamku kali ini. aku langsung bergabung dengan kerumunan orang yang sedang mengantri memesan menunya. Salah satu pembeli malam itu tampak tidak asing bagiku namun aku tak tau namanya. Saat aku melihatnya, ia melayangkan sebuah senyuman ke arahku. Ia mencoba membuka pembicaraan.
“Hai… Tumben makan diluar?”Sapanya lembut.
“Oh…iya, lagi pengen aja. Ah maaf, anda siapa ya?”Pandanganku tak lepas darinya. Ia terlihat salah tingkah dengan sikapku.
“Kita satu SMA, bagaimana bisa kamu tidak kenal saya? Lagipula rumahku hanya 10 langkah dari gerbangmu, tiap pagi kamu biasa melihatku” Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Ya ampun Lukman, maaf maaf. Ya allah, kenapa aku bisa selupa ini?” Ia hanya tersenyum .
“Yah…Aku maklum kok. Soalnya Kita jarang banget ngobrol meskipun rumah kita berdekatan. Oh ya ku dengar kamu mulai punya penggemar rahasia?” Selotehnya seraya memainkan uang di tangannya.
“iya…aku juga jarang ketemu kamu di sekolah. Oh pengirim kertas-kertas itu? eh gimana kamu tahu tentang hal itu?” Tanyaku penasaran.
“ Hampir semua cowok di sekolah sudah tahu berita itu. Oh ya ku dengar kau banyak ditaksir sama cowok di sekolah. Ternyata kamu cukup populer juga. Tapi aku tak pernah dengar secara pasti siapa pacarmu yang sebenarnya”
Mendengar kata-katanya, aku merasa seakan tak bisa memendam tawaku. Butuh waktu beberapa menit untuk menghentikan gelak tawaku. Aku mulai menjawab pertanyaannya seraya dengan sedikih kekehan kecil yang belum sepenuhnya hilang.
“ Aku tidak ada niatan untuk pacaran. Aku belum punya seseorang yang benar-beanar aku suka. Meskipun ada aku akan langsung membunuh perasaan itu”
“Kenapa?” Kulihat ia begitu antusias dengan kata-kataku.
“Karena niatku memasuki sekolah adalah untuk belajar. Aku tidak akan mengkhianati komitmenku. Lagipula aku pikir tidak ada untungnya, rugi malah iya. Pacaran anak jaman sekarang itu identik dengan pegangan tangan, ciuman, pelukan ato apalah. Kasian aja sama suamiku nanti, masa dapetnya bekas orang?” Jawabku spontan.
“ Wah jarang-jarang cewek mikir hal yang sama kayak kamu” Percakapan itu berhenti ketika pesanannya telah siap. Kami pun bertukar nomor hp untuk menjaga komunikasi kedepannya. Hubungan kami semakin dekat semenjak pertukaran no hp diwarung lamongan tersebut.
Hingga ia terkadang mulai mengirimkan sms tausyiah. Bukannya illfill namun hal tersebut justru membuatku menjadi tertarik untuk membaca buku-buku islami. Hp ku berbunyi
SMS lukman:
wah ukhti sepertinya awal yang bagus sudah dimulai. Kulihat ukhti membaca buku islami di beranda rumah.
Ukhti? terdengar aneh dibenakku namun aku merasa nyaman dengan panggilan itu. Balasanku:
Ah Cuma iseng. Ukhti?
SMS lukman:
😀
Oh ya ukhti , ada yang ingin aku tanyakan sesuatu yang menyangkut hal pribadi?
Balasanku:
Boleh saja. Silahkan
SMS lukman:
Apakah sholat ukhti sudah tepat waktu?
Balasanku:
Ehem….kadang masih suka bolong. Hehehe
SMS lukman:
Maaf ukhti, saya berharap ukhti selalu ingat bahwa umur kita tidak ada yang tau. Apalagi sholat adalah tiang agama. Saya takut ukhti lupa hal itu
Entah kenapa kata-kata itu tidak sama sekali menyinggung perasaanku. Bahkan hatiku menjadi semakin tentram dan lega.” Iya Lukman. Tolong ingatkan aku selalu” balasanku sekaligus menjadi penutup sms hari itu.
***
Kini aku mulai sedikit mengerti tentang islam yang selama ini tidak pernah aku perdalam. Aku hanya sibuk dengan urusanku dan selalu menganggap hidupku tak akan lama yang membuatku seakan menjauhkan diri dari kehidupan yang indah ini. Kini aku sadar bahwa aku harus menggunakan sisa waktuku untuk mulai menatap dunia. Terlebih lagi untuk perasaan bahagia. Aku menyadari bahwa hari menuju prosesi wisudaku bukanlah hari yang berlalu secara kebetulan. Melainkan ada kekuatan dalam diriku yang mendorong untuk sampai sejaug ini.
Semenjak lulus SMA, aku tidak pernah lagi mendapat kertas kuning lagi. Tidak tahu mengapa, untuk saat ini aku sangat ingin tahu siapa yang mengirimkannya. Ditambah SMS Lukman yang sudah beberapa bulan ini tidak aku terima membuatku menjadi resah.
Kedua orangtuaku terlihat sangat bahagia menatapku dengan pakaian serba hitam ini. Tak kuasa aku menahan haru mengingat semua yang telah aku lalui. Kulihat disekelilingku penuh dengan suasana syahdu. Mungkin kekuatan semacam inilah yang aku dapat untuk tetap terus hidup. Aku sangat bersyukur kepada Allah swt yang seakan memberiku kesempatan kedua. Namun aku masih dalam kesendirian, beberapa sifatku belum berubah. Aku belum bisa menerima laki-laki untuk masuk dalam kehidupanku. Aku dikagetkan dengan datangnya sebuah surat terbungkus rapi didalam amplop yang dibawa oleh salah seorang temanku.
“Dari siapa?” Tanyaku seraya merengkuh surat ditangannya.
“Aku hanya disuruh untuk memberikannya langsung kepadamu.” Selesai mengucapkan kata itu ia langsung kembali ke tempat duduknya. Entah kenapa akumerasa aneh saat menerima amplop itu. aku hanya memasukkannya ke saku baju wisudaku.
Aku hanya dapat menatap gedung wisuda semakin menjauh dibalik kaca mobil. Terdengar ocehan bahagia kedua orang tuaku. Mereka mulai menyindir status lajangku. “ Sepertinya kamu tidak bisa berpacaran dengan kumpulan kertas kuning sampai akhir usiamu nak, kami rasa sudah waktunya kamu mengenalkan seseorang untuk menjadi pendampingmu.” Aku memasang walkman untuk mengalihkan suasana. Iseng aku buka kontak hpk. Akumerasa melupakannya beberapa waktu terakhir ini. Aku mngirimnya sebuah pesan. Tidak peduli akan sampai atau tidak.
Write message:
Gmn kbarmu? Kmn kau skrg? Jahat…
tdk ada tlp, tdk ada sms, tdk ada kbr pula…
Menghilang tanpa pemberitahuan. Bhkn sblm kamu tau tentang kisah pengirim krtas kuning
Tdk tau knp aku sangat merindukannya. Andai aku tau siapa org itu, aku ingin mengenalkannya padamu.
Lukman.
Selesai mengirim sebuah pesan itu, aku teringat dengan surat yang diberikan temanku sewaktu prosesi wisuda tadi, aku membuka amplop putih itu.
Assalamualaikum…
Gimana kabarmu, Ajeng?
Maukah kamu menikah denganku?
Aah…mana mungkin gadis sepertimu mau menikah dengan makhluk yang tak indah ini?
Nggak usah kaget dengan kata-kataku tadi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyatakannya. Itu saja saya tidak berani menyatakannya secara langsung. Terkesan pengecut yang bersembunyi dalam surat ini. bukan, aku memang pengecut. Sejak kau memintaku untuk menolongmu saat pertama kali kamu pindah kos disamping rumahku, aku mulai terbayang dapat selalu dekat denganmu. Namun apa daya? Untuk menyapamu saja aku tak punya keberanian. Bahkan ketika kita satu SMA pun aku hanya dapat memandangimu dari jauh.
Kau begitu bersinar waktu itu, hingga aku mndapatimu memuntahkan darah dan ketakutan dihadapanku. Masih ingatkah kamu kejadian di toilet mushola? Awalnya aku tidak pernah memikirkannya. Aku begitu bodoh tidak menyakan keadaanmu. Hal itulah yang membuatku berinisiatif untuk membuat skandal kertas kuning untuk mengetahui apa yang sbenarnya terjadi padamu. Namun tak pernah ada balasan darimu. Hingga suatu sore kudapati dirimu berada di kerumunan antrian diwarung yang sama. Ku kumpulkan semua kberanianku untuk mencari alasan untuk mendapat no. Hp mu. Mengetahui semua tentang dirimu begitu menyenangkan, namun ketika menanyakan apa yang terjadi di mushola sekolah itu, aku menjadi tidak tenang.
Aku tahu apa yang aku lakukan telah salah, mencintaimu melebihi cintaku pada Tuhanku. Rasa bersalah ini membuatku bingung untuk memilih rasa mana yang harus ku kejar. Namun kata-katamu saat diwarung itu jauh lebih mengena dibanding kata ustadzku yang sudah membimbingku sejak kecil. Itulah sebabnya aku menghilang untuk menjauhkan pikiranku yang selalu menggangguku. …
Belum selesai membacanya, tiba-tiba mobil yang saya naiki menabrak sebuah truk kuning. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku terbangun disuatu tempat dengan nuansa serba hijau. Aah… aku dirumah sakit, sesaat aku teringat kecelakaan yang baru aku alami. Aku tersadar, ada seorang laki-laki yang berdiri disampingku namun bukan ayahku. Terlihat matanya yang bengkak menapku dengan penuh kesedihan. Ia memegang sebuah kertas yang sedikit berlumuran darah yang telah mengering. Aku teringat dengan suratku. Kucari-cari, namun tidak ada. Orang tuaku menenangkanku.
“Kau tak perlu mencari surat itu…. Pengirim surat itu ada disampingmu.” Sejenak aku mengamati wajah itu. aku hanya tersenyum.
“Kalau begitu nikahi aku” Ia sangat terkejut mendengar perkataanku. Begitu pula kedua orangtuaku.
“Aku bosan membaca kumpulan kertas kuning itu, aku ingin kehidupan yang nyata. Aku ingin bersamamu yang selalu membimbingku untuk dapat bertahan sejauh ini.” Mendengar kata-kataku, kedua orangtuaku tersenyum seraya memandang kearah lukman.
Hari itu pula diadakan akad nikah seadanya. Kini ia memegang tanganku yang masih lemah. Fisikku memburuk hari itu, namun hatiku sangat bahagia dapat melihat orang yang selama ini aku cari. Dua sosok yang sangat aku cintai ternyata adalah Lukman yang sekarang menjadi suamiku.
“Dek, cepat sembuh ya… Jujur aku merasa semua ini masih seperti mimpi”
Dek? terasa aneh di telingaku. Aku masih menutup mataku terkait kondisiku masih sangat lemah.
“Apa yang membuatmu memintaku menikahimu?” Tangannya masih menggenggam tanganku
“Mana mungkin aku bisa menang darimu. Orang yang menyayangiku lebih dari diriku menyayangi diriku sendiri. Namun yang lebih meyakinkanku adalah aku melihat Tuhan dalam dirimu. Tidak tahu mengapa, aku selalu tunduk padamu. Hanya satu protesku pada Tuhan, kenapa aku begitu…. begitu….sangat mencintaimu saat aku membaca suratmu. Padahal aku belum membacanya sampai selesai. Pada akhirnya hatiku dimenangkan dengan sangat mudah oleh orang sepertimu. Namun aku sangat lega sekarang.”
Aku merasa kantuk yang sangat berat. Aku mengisyaratkan suamiku untuk memelukku. Aku terlelap dalam pelukanya.
***
Bunyi burung begitu gembiranya. Bersahut-sahutan tak menghiraukan panasnya terik matahari. tidak terasa ada hati manusia yang ira dengan sepasang burung ini. bau bunga kamboja begitu menyengat.kakek ini hanya terduduk melihat sepasang burung bermain didepannya. setelah selesai memanjatkan doa, ia mengusap nisan yang seakan tak ingin ia tinggalkan. Nisan bertuliskan AJENG BINTI MAHMUD itu membuatnya tak bisa membendung tangis yang sedari tadi sudah ditahannya. Seorang anak bertanya “Kenapa kau menangisi kuburan ini setiap hari pak tua?”
“Kau tau nak, apabila dua orang saling mencintai dan salah satunya meninggal disaat cinta itu baru tumbuh maka cinta itu akan dibawanya ke kuburnya.” Ucapnya lirih
Oleh: Eva Novitalia