[Cerpen] Tercemar

1
535

“Tidak ada yang pantas diidolakan selain Rasulullah SAW sob. Ngapain kalian idolakan mereka? Gak ada manfaatnya!!” Kata Hasan pada komentar facebooknya.

“Terus Masalah buat lo, San?? Terserah gue lah mau idolakan siapapun. Kenapa juga lo ikut-ikutan ribut??” Nam membalas komen pedas dari Hasan.

Pada awalnya, saya dan teman-teman hanyalah manusia polos nan lugu yang menimba ilmu ke dunia sebrang pada tahun 2009. Disana, kami berkumpul sebagai suatu angkatan yang bernama GALAX13. Yah, 13 berarti kami merupakan lulusan ke-13 dari sekolah tersebut. Kami merupakan kumpulan siswa-siswa terbaik dari seluruh Indonesia berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan sebelum masuk kesini. Tapi, zaman semakin berubah dari jernihnya sungai di hulu menjadi keruh di hilir.

Semua berawal masuknya pencemaran gas yang bernama globalisasi ke asrama kami. Beberapa diantara kami sudah mulai dikotori oleh pengidolaan terhadap artis-artis korea. Mereka memajang foto-foto artis itu di dompet mereka dan ditunjukkan ke yang lain dengan bangganya. Bahkan, mereka menitikkan air mata bahagia saat melihat video idola mereka di youtube. Efek gas yang sangat kuat yang dihirup oleh mereka. Gas ini telah memecah belah kami yang asalnya selalu kompak dan memiliki kerjasama yang bagus. Kamipun seringkali geram dengan tingkah laku mereka. Kami yang disini belajar tentang islam selama disini, lalu mereka rusak ilmu yang diberikan guru-guru kami dengan akhlak mereka.

“Ngapain sih mereka mengidolakan artis-artis itu? Udah jelas mereka sama saja dengan berhala.” Kata Hasan saat di asrama. Dia berasal dari gunung Semeru. Dia adalah orang yang terbilang pendiam, tapi sifatnya cukup keras ketika ada yang menurutnya menyimpang dari ajaran islam.

“Entahlah. Mereka buta kali. Sukanya sama orang-orang homo, banci, bermuka plastik. Aneh seaneh-anehnya.” Timpal Arul dengan dialek sundanya yang kental. Dialah orang tertinggi di angkatan kami. Kritis, dan tegas.

“Yaaa.. begitulah kalau kita sudah masuk ke perangkap setan. Setan selalu berusaha menghasut orang dengan pandainya.” Saya pun ikut menimpali omongan mereka.

“Mendingan mengidolakan gue yang jelas-jelas laki normal dan lebih ganteng dari mereka.” Amat dengan pedenya berkata seperti itu. Semua orang pun tertawa. Yah.. dialah orang terpede dan terbesar yang ada di angkatan kami. Tapi, dia juga yang selalu menjadi pencair diantara semua ketegangan.

“Hahaha.. Iya deh Ganteng. Gangguan Telingaa!!” Kata Abdul. Mereka berdua memang berasal dari satu sekolah dahulunya sebelum masuk kesini.

“Ngaca dong mat.. Gak punya kaca ya kau mat?? Pantaslah..” Saya menambahkan ejekan Abdul. Amat semakin memajukkan bibirnya.

“heh nan, wajarlah kalau dia gak punya kaca. Wong tubuh dia gak cukup kalau diliat di kaca.” Gelak tawa semakin pecah. Amat semakin manyun oleh ejekan Niam. Dia berasal dari jawa timur. Memang dia adalah orang yang pandai merangkai kata-kata garing.

“Kalian iri kan sama gue? Udah jelas-jelas gue ganteng. Udah diakui oleh seantero dunia.” Amat membalas ejekan teman-temannya. Semua tak kuasa menahan tawa mereka, kecuali Hasan. Dia hanya tersenyum.

“Hahaha… Sudah, sudah.. Sekarang yang harus kita pikirkan, gimana caranya mereka bisa mengembalikan mereka menjadi air yang jernih kembali.” Hasan akhirnya berkata. Gelak tawa berkurang. Semua fokus memikirkan pertanyaan Hasan.

Percakapan itu adalah saat kami masih berkumpul di asrama. Sekarang kami sudah lulus. Kami sudah tersebar ke berbagai penjuru pulau. Apakah gas itu telah hilang? Jawabannya belum. Mereka masih tetap mengidolakan artis-artis tersebut. Mereka masih gigih dengan ideologi mereka. Tak ada perubahan, tak ada pergerakan. Malah gas itu semakin parah menjalar ke seluruh sisi tubuh mereka. Hanya lubuk hatinya lah yang masih bersih dari gas itu. Tapi, kami tetap berhubungan satu sama lain merencanakan segalanya agar gas itu hilang dari diri mereka.

“Terus sekarang kita harus gimana? Kita sudah tersebar.. gak mungkin kan membiarkan mereka begitu saja…” Saya sedang melakukan obrolah melalui chat facebook bersama Hasan.

“Entahlah.. Untuk sekarang belum terpikirkan sama sekali langkahnya sob.”

“Coba deh kita buat grup chat bareng yang lain. Nanti kita diskusiin bersama.”

Lalu, saya buat grup chat bersama teman-teman saya yang dulu bersama-sama berjuang dalam pergerakan ini.

“Nih, udah dibuat grup chatnya. Sekarang, menurut kalian, apa yang harus kita lakukan dengan keadaan kayak gini?”

“Menurut gue nih, biarin aja deh mereka. Toh kita udah berusaha merubah mereka.” Kata Niam.

“Wah.. gak bisa kayak gitu. Kalau kayak gitu, namanya kita menyerah di tengah jalan.” Kata Arul dengan kepedulian yang tinggi terhadap angkatannya.

“Tapi kan rul, kita dari dulu udah coba ngerubah mereka, hasilnya kan nihil. Mereka malah balik emosi ke kita.”

“Pasti deh ada cara merubah mereka Niam. Masa kita biarkan saja mereka di ruang kegelapan. Gak bisa kayak gitu dong.”

“Ya udah.. edit aja foto gue. Jejerin bareng foto-foto thogut itu. Pasti deh mereka sadar bahwa gue lebih cocok jadi idola dibanding mereka.” Amat memberikan idenya yang lagi-lagi memecah tawa kami.

“Buset dah.. dari dulu sampe sekarang, masih aja kayak gitu. Ngaca dong… liat tuh muka sama badan…” Abdul kembali yang pertama mengejek. Mereka memang selalu seperti itu. Dua orang yang tak terpisahkan walau jarak yang memisahkan.

“Gini nih si Abdul.. dari dulu sampe sekarang, masih aja iri dengan kegantengan gue.”

“hahahaha.. kalian memang bagai pinang dibelah dua. Tapi, yang satu kayak semut dan satu lagi kayak gajah.” Saya menimpali mereka dengan gelak tawa.

“haha.. sudah, sudah… Ana tahu caranya harus gimana.” Hasan kembali membuat kami fokus. Tidak berubah sifatnya.

“Gimana emangnya sob??” semua mengirim hampir bersamaan.

“Liat saja nanti. Pokoknya kalian harus bantu. Oke??”

“Yah… Masa gak dijelasin sih… Gak asik ah… Gimana kita mau bantu kalau ente nggak kasih tau??” Saya sedikit kecewa dengan Hasan yang menyembunyikan idenya.

“Pokoknya kalian pasti akan cepat mengerti nanti. Stay Aja di grup angkatan kita. Oke??”

“hmmm… Okelah kalau begitu. Gimana yang lain??” Arul akhirnya berbicara

“Siiaapp…” Semua membalas hampir bersamaan kecuali amat.

“Gimana denganmu mat??” Niam menanyakannya.

“Siiaapp grak!! Aa ganteng siap bantu kalian semua..” Timpal Amat.

“Halaah… Bubar, bubar… Penyakit Amat kambuh…” Abdul membalasnya.

Hari demi hari dilalui. Tidak ada pergerakan sama sekali dari Hasan. Dia pun tidak pernah Online lagi setelah hari itu. Kami pun bertanya-bertanya. Tidak ada yang tahu kemanakah Hasan sekarang. Dia menghilang begitu saja setelah percakapan kemarin. Kami pun khawatir dengan keadaan ini. Tanda tanya besar tertulis diatas kepala kami. Apakah ini suatu kesengajaan ataukah Dia terkena bencana. Tidak ada sama sekali pergerakan dari dia.

“Dia lagi semedi kali di gunung semeru sana.” Niam mengirim di chat grup kami.

“Atau mungkin lagi mengedit foto gue yang ganteng itu dengan artis-artis korea itu. Jadi butuh waktu berhari-hari.” Dengan pedenya Amat berkata seperti itu.

“Ngaco… Gak mungkinlah ndut.. Kepedean banget sih kau…” Abdul membalas pesan Amat

“Sudah, sudah.. Kita tunggu saja hingga minggu depan, jika tidak ada pergerakan sama sekali dari Hasan, baru kita diskusikan lagi bersama.” Arul menengahi. Semua akhirnya menanti hingga minggu depan.

Seminggu pun berlalu. Keadaan masih sama. Tidak ada tampak pergerakan dari Hasan sama sekali. Segala prasangka keluar dari pikiran kami. Di tempatku, hujan turun deras memukul atap seng dengan kerasnya. Angin berhembus kencang menggoyangkan pohon-pohon kelapa di dekat rumah kami laksana sujud kepada penciptanya. Saya pun menjadi sulit untuk mendapatkan sinyal internet sehingga harus menunggu hujan berhenti.

Dibalik derasnya hujan disini, di pulau yang lain yang penuh dengan pohon-pohon cemara, dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas, Hasan sedang berdoa memohon perlindungan. Setelah dia berdoa, dia langsung bergegas membuka laptopnya dan menyambungkannya ke dunia maya. Lalu, dia membuka grup angkatan Galax13 di akun facebook dia. Halaman itu penuh dengan hal-hal yang tak penting, bahkan mendekati pada hal-hal yang menuju kemaksiatan. Hasan geram melihat halaman grup itu yang sudah lama tidak dia buka setelah menenangkan diri selama seminggu dan mempelajari ilmu-ilmu dakwah yang baik dan benar. Setelah menghela nafas dan mengucapkan bismillah, Dia langsung meletakkan tangannya di keyboard dan menekan tombol-tombol huruf yang ada disitu.

Hujan telah reda. Matahari mulai menampakkan dirinya. Awan hitam mulai menghilang dan menampakkan langit biru. Sayapun lalu bergegas menyalakan laptop saya dan menghubungkannya ke internet. Ketika saya buka akun facebook saya, ternyata sudah ada pergerakan dari temanku yang sudah ditunggu-tunggu dari seminggu yang lalu. Hasan namanya. Dia memposting di akun grup facebook kami.

“Kawan-kawanku, kita sudah belajar banyak selama kita belajar disana, terutama masalah agama yang dahulu kita buta masalah itu. Kita sudah belajar masalah kehidupan nyata yang akan kita lalui hari ini dan seterusnya. Akankah kita mengotorinya dengan akhlak kita yang menyimpang dari apa yang kita pelajari? Akankah kita akhlak globalisasi yang sebenarnya merusak diri kita? Mencintai hal-hal yang tak perlu dicintai, bahkan meniru orang-orang yang tak ada alasan untuk kita meniru mereka? Ataukah layakkah kita menangis bahagia hanya karena hal-hal yang tidak perlu kita tangisi selain dzikir kepada Allah SWT dan cinta Rasulullah SAW?? Coba kita pikirkan itu.”

Itulah gerakan awal dia. Hal itu bertolak belakang dengan sifat Hasan yang keras dan terbilang tidak basa-basi. Kamipun masih kebingungan apa maksud dari Hasan ini. Bagaimana skenario sebenarnya yang dia inginkan. Beberapa menit kemudian, salah seorang dari yang terkena virus korean wave berkomentar.

“Maksudnya kamu menyinggung kami kan? Kenapa sih kamu mengganggu kami terus? Apa salahnya mengidolakan mereka? Toh, kami masih tetap muslim kok. Kami masih shalat kok.” Dia bernama Sari. Tipe orang yang teguh dengan pikirannya. Tidak peduli benar atau salah.

Setelah komentar itu, kami langsung paham apa sebenarnya yang akan dilakukan teman kami ini. Kamipun langsung siap-siap membalas komentar itu.

“Tuh kan.. keliatan nih yang merasa dirinya salah… Padahal belum tentu kan si Hasan maksudnya ke hal itu? Toh dia hanya mengingatkan.. Keliatan nih yang tersinggung karena pikirannya menentang hati bersihnya.” Arul memulai balasan komentar.

“Bener tuh kata Arul.. liat kan sob.. itu buktinya kalau mereka merasa bersalah… Langsung kesinggung.. haha… udah dikasih tahu hal yang bener, masih aja ngelak… kasian Hati bersihnya..” Saya pun ikut membalas setelahnya.

“Heeii heeii… Apa sih kalian ini?? Dari dulu sampai sekarang terus aja mengkritik kami. Gak ada kerjaan lain apa?? Santai aja.. Kami masih islam kok… gak kafir…” Temannya sari, Nam ikut membalas komentar ini.

“Iyaa.. Kalian islam kok. Tapi islam yang keblinger. Islam yang agak miring. Haha… Jelas-jelas hati kalian menentang yang kalian perbuat. Masih aja mengelak.” Abdul ikut meramaikan komentarnya.

“gini nih kalau mata kalian ditutup. Gak keliatan jadinya yang bener mana n yang salah mana. Buka dong matanya dulu bu… baru ngerti deh maksud kami apa.”

“Stop!! Sudah ah… Apa sih ini?? terserah kami dong mau berbuat apa.. toh kami yang melakukan, bukan kalian. Menurut kami, ini TIDAK SALAH. Puas??”

“Ingat, tidak ada yang pantas diidolakan selain Rasulullah SAW sob. Ngapain kalian idolakan mereka? Gak ada manfaatnya!!!” Akhirnya Hasan ikut membalas komentar.

“Terus Masalah buat lo san?? Terserah gue lah mau idolakan siapapun. Kenapa juga lo ikut-ikutan ribut??” Nam membalas komen pedas dari Hasan.

“Sangat masalah nam… Heh, bagi kami, kalian tetap teman kami. Kami ingin semua anggota galax13 masuk surga semuanya.” Amat membalas dengan bijak. Dia yang humoris, tidak biasanya dia berkata sebijak ini.

“waduh waduuh.. kalian ini.. sudah sudaah.. jangan ribut gini dong.. Kita baru berpisah sebentar udah ribut kayak gini… tolong dong… Gak enak ni…” Ida, teman kami yang netral melerai kami melalui komentarnya.

Setelah itu, tidak ada lagi yang berkomentar. Semua hening. Terjadi perang dingin antara kami dan mereka. Hal ini berlanjut hingga berhari-hari. Tidak ada yang memposting lagi, bahkan kami hanya saling berdiam diri. Betul-betul perang dingin yang mencekam antara kami dan mereka. Tidak ada yang mau mengucapkan kata damai atau hal serupa dengan itu. Hal ini berlangsung selama seminggu. Hingga akhirnya Ida membuat postingan yang cukup menusuk.

“Kawan.. kita sudah lama bersama.. tentunya kita seharusnya saling mengerti dong..

Yang perempuan, berterima kasihlah kepada anak laki-laki. Itulah bentuk perhatian mereka kepada kita. Jangan sia-siakan itu. Mereka sudah sangat baik mau memerhatikan kita hingga ingin memperbaiki diri bersama-sama.

Yang laki-laki, perhatian kalian memang sangat bagus, akan tetapi ingatlah kami memiliki perasaan yang lebih tinggi. Berbeda dengan kalian. Cara menyampaikan bentuk perhatian kalian janganlah disamakan kepada laki-laki lagi, tapi kalian harus bersikap berbeda. Kalian pun mengerti dengan maksud kami. But, thanks for all..”

Postingan itu cukup menusuk sehingga kami tau apa sebenarnya yang menyebabkan semua dakwah ini tak berhasil. Inipun menjadi penilaian bagi kami.

“Oke.. kami mohon maaf selama ini membuat suatu perang dingin diantara kita… kalian telah mengerti apa yang kami inginkan… Kami akan berusaha untuk berubah juga setelah semua yang terjadi selama ini. Sebenarnya ini skenario yang kami buat dengan maksud membantu teman-teman kami…” Hasan berkomentar pertama dan mewakili kami semua.

“Yah.. Kami pun mohon maaf atas semua yang terjadi selama ini. Tapi tolong kalian bisa mengerti perasaan kami.. terimakasih atas segala bentuk perhatian kalian selama ini.” Nam membalas komentar Hasan beberapa menit kemudian.

Pertanyaanya, apakah mereka telah berubah setelah semua ini?? Hanya Allahlah yang tau. Kami hanya bisa berdoa setelah perjuangan kami selama ini, semoga mereka diberikan hidayah.

Oleh: Adnan Yunadi Latief, Padang timur Kota Padang

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan