Tahun 1980-an layaknya tahun kebangkitan intelektualisme Islam di Indonesia. Pada masa-masa itu, kaum cendekia muslim keranjingan berpikir dan menggagas, seolah timbunan gelar akademis mereka belum cukup legitimate dan pengetahuan ilmiah macam-macam disiplin ilmu tidak ada artinya jika belum menelurkan gagasan baru yang terkait dengan Islam. Maka merajalelalah apa yang digembar-gemborkan sebagai “semangat kontekstualisasi nilai-nilai Islam”, yakni –lebih kurang– semangat untuk menafsirkan kembali berbagai pernik ajaran agama supaya terasa lebih sesuai dengan kondisi zaman. Tokoh-tokoh pembaharu pun muncul berhamburan seperti laron menyeruak dari rompol kepompongnya. Dawam Rahardjo, Nurcholis Madjid, Abdurahman Wahid, Munawwir Syadzali, sekedar menyebut beberapa yang besar-besar. Sedangkan yang dari kategori pemikir “korban trend” tak terhitung lagi jumlahnya.
Gagasan-gagasan bernas hasil elaborasi ilmiah atas khazanah agama pun dilahirkan. Pluralismenya Cak Nur, Pribumisasi-Islam-nya Gus Dur, Fiqih-Sosial-nya Kyai Sahal, ada diantara bintang-bintang pemikiran yang mencerahi masyarakat. Tapi tak kurang juga gagasan-gagasan yang arbitrer, asal comot ayat atau hadits, membikin-bikin makna baru atas berbagai terminologi yang mapan dari ajaran hanya “berdasarkan othak-athik gathuk”, dan kedangkalan-kedangkalan sejenisnya. Hal itu tidak terhindarkan mengingat munculnya gelombang besar minat terhadap agama dari kalangan kelas menengah terdidik –mereka yang dikenal dan mengidentifikasi diri sebagai kalangan profesional– yang pada umumnya kurang memiliki modal pendidikan agama.
Omong-omong soal profesional, itu adalah sikap-laku (attitude) berdisiplin menjalankan pekerjaan atau tugas sebagaimana mestinya tanpa memberi ruang kompromi pada hal-hal yang dapat merusak tujuan.
Pada Muktamar I PKB tahun 2000 di Surabaya, saya dibebani tanggung jawab bidang kesekretariatan, termasuk –diantara yang terberat– memastikan bahwa setiap orang yang memasuki arena muktamar benar-benar secara administratif memenuhi syarat. Maka kepada tim yang saya bentuk untuk memeriksa persyaratan saya tanamkan betul keharusan bersikap profesional dan saklek. Tak boleh memberi atribut apa pun kepada yang tidak berhak. Zonder tawar-menawar!
Salah seorang anggota tim itu adalah Sapek –sisi lain dari anak ini telah saya kisahkan disini:http://teronggosong.com/2011/03/sopir-kampungan-jalur-lambat/. Dan dia menjalankan tugasnya dengan baik sekali, dibuktikan dengan caranya menghadapi rombongan dari Rembang, daerah asalnya sendiri. Diantara rombongan DPC Rembang itu adalah Kyai Makin Shoimuri, paman saya yang juga kyainya Sapek. Hampir semua yang diketahui Sapek tentang agama didapatkannya dari Kyai Makin ini. Dalam alam pesantren, Kyai Makin adalah tuan, dan Sapek budaknya.
Masalah timbul karena dua orang peserta rombongan Rembang itu membawa isteri-isteri mereka. Memang ada famili di Surabaya untuk numpang menginap selama Muktamar. Tapi perempuan-perempuan itu kepingin juga bisa ikut keluar-masuk arena Muktamar untuk membawakan penganan-penganan atau tetek-bengek lainnya bagi suami-suami mereka. Merasa punya akses, Kyai Makin bertindak membantu. Ia datangi Sapek dan minta dua kartu ID ekstra. Tak dinyana, Sapek menggeleng,
“Tidak bisa, Pak”.
“Cuma buat keluar-masuk arena saja kok. Mereka tidak akan masuk ruang sidang”.
Sapek tetap menggeleng,
“Sama saja, Pak. Tidak bisa”.
“Masak kamu nggak percaya aku?”
“Percaya, Pak. Tapi aturan…”
“Jangan kaku-kaku! Ini aku yang minta! Nanti aku bilang sendiri ke Yahya!”
Sapek teguh menggeleng. Dan itu terasa menjengkelkan sekali hingga Kyai Makin naik darah.
“Aku ini siapa?!!!” Ia membentak galak.
Sapek pucat-pasi. Kuwalat terbayang-bayang didepan mata. Perasaannya tak karuan. Tak kuasa mengeluarkan bunyi. Hanya kepalanya yang terus menggeleng, hampir-hampir bergetar…
Kyai Makin pun balik-badan, berungut-sungut dan menggerutu panjang-pendek, tetap dengan tangan hampa.
Gus Dur adalah salah seorang pemikir dengan landasan penguasaan ilmu-ilmu agama yang kokoh. Tentu beliau pun kerap merasa risih mendengar banyak gagasan-gagasan “pembaharuan” yang sebenarnya konyol. Beliau memang tak pernah mengungkapkan rasa risih itu secara terang-terangan. Tapi bukan berarti sama sekali tidak mencoba mengekspresikannya.
“Semangat Idul Qurban itu sangat relevan dengan poisisi kaum profesional”, kata beliau suatu kali, “karena kaum profesional dituntut untuk senantiasa siap berkorban. Walaupun tidak berkorban kambing atau sapi, minimal KORBAN PERASAAN!” (Teronggosong)