Memahami Fenomena Pen-sesat-an (Tadhlil) dan Peng-kafir-an (Takfir) Di Indonesia
Oleh : Abd. Djalal[1]
Pendahuluan
Era reformasi di Indonesia yang diproklamirkan beberapa saat setelah tumbangnya rezim orde baru telah membukakan kran bagi kebebasan pada hampir semua lini kehidupan, baik politik, budaya, maupun agama. Di bidang politik, kebebasan ini ditandai dengan munculnya 90-an partai yang ikut pemilu pada tahun 1999 dan 40-an partai yang ikut pemilu pada tahun 2004. Kreasi dan ekspresi budaya juga menemukan kebebasannya pada era ini, sehingga menimbulkan pro-kontra antara paradigma art for art dengan paradigma art for value and responsibility. Demikian pula dalam kehidupan keagamaan, kran kebebasan tersebut menumbuhsuburkan lahirnya berbagai aliran dan pemahaman keagamaan “baru” yang tidak hanya berakibat pro-kontra, tetapi juga dapat memicu sikap saling menyesatkan (tadhlil) dan mengkafirkan (takfir) satu sama lain, dan pada gilirannya berujung pada kekerasan atas nama agama.
Fenomena pen-sesat-an (tadhlil) dan peng-kafir-an (takfir) dalam kehidupan keagamaan di Indonesia tampaknya lebih menarik perhatian berbagai kalangan, karena implikasinya yang lebih besar dan lebih luas. Aksi kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, menjadi perhatian luas karena menyisahkan banyak masalah. Ada yang mengklaim bahwa fatwa MUI sebagai pemicunya. Ada yang menganggap kepentingan politik tertentu berada di balik penyerangan itu. Ada pula yang berpendapat ajaran-ajaran Ahmadiyah harus dilarang, karena dinilai merusak keyakinan kalangan awam muslim. Kekerasan serupa kembali terjadi pada 19 September 2005. Ribuan orang menyerbu kampung Neglasari, desa Sukadana, kecamatan Cempaka, kabupaten Cianjur, yang menjadi perkampungan Jamaat Ahmadiyah. Sekitar 70 unit rumah dan 6 masjid dilaporkan rusak berat.[2]
Permasalahannya adalah bagaimana memahami fenomena pen-sesat-an (tadhlil) dan peng-kafir-an (takfir) di Indonesia yang cukup dilematis ini. Di satu sisi, terlalu berbahaya untuk menutup pintu rapat-rapat bagi tadhlil dan takfir, karena tidak boleh membiarkan kekafiran merajalela. Di sisi yang lain, tidak kurang bahayanya untuk membuka pintu lebar-lebar bagitadhlil dan takfir, karena dapat menimbulkan fitnah di mana-mana. Di sinilah urgensi mendiskusikan persoalan tersebut untuk mencari jalan tengah (tawassut) dan keseimbangan(tawazun) antara menutup pintu rapat-rapat dan membuka pintu lebar-lebar bagi tadhlil dantakfir, antara ketegasan dan kelenturan bagi tadhlil dan takfir. Dengan demikian, kita berharap bisa menjadi ummatan wasathan litakunu syuhada’a ‘ala an-nasi wa yakuna ar-rasulu ’alaikum syahida (ummat moderat yang dapat menjadi panutan ummat lain, dikarenakan mereka menjadikan Rasul sebagai panutan baginya)
Sejarah Munculnya Tadhlil dan Takfir Dalam Islam
Keberadaan orang-orang sesat (dhollun) dan orang-orang kafir (kafirun), sebenarnya, telah ditegaskan sejak awal masa turunnya wahyu dalam Islam. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa fenomena tadhlil dan takfir baru muncul setelah terjadinya arbitrase sebagai jalan penyelesaian persengketaan tentang khilafah antara Ali Ibn Abi Talib dengan Mu’awiyan Ibn Abi Sufyan, yang berakibat pada keluarnya sebagian pengikut Ali dari barisannya dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian dikenal orang sebagai Kharijiyyah atau Khawarij. Dari tangan Khawarijfenomena tadhlil dan takfir pertama kali digelindingkan. Dalam Kitab al-Iman, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa perselisihan atas makna dua kata iman dan kufr merupakan perselisihan intern pertama yang terjadi di antara orang-orang Islam. Karena masalah inilah masyarakat muslim terpecah ke dalam beberapa sekte dan golongan yang berbeda-beda dalam menafsirkan kitab suci dan Sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut ‘kafir’. Yang mula-mula masuk ke gelanggang ini adalah kelompok atau kelompok-kelompok yang dikenal orang sebagaiKharijiyyah atau Khawarij.[3]
Dari setting historisnya, kemunculan kelompok Khawarij, sebenarnya,dipicu oleh persoalan politik, yaitu masalah khilafah. Oleh karena itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa kelompokKhawarij, bersama kelompok pendukung dan penentang Ali, sesunggunya, dapat disebut sebagai kelompok-kelompok politik (ahzab siyasiyah).[4] Akan tetapi kemudian mereka segera memperluas persoalan tersebut ke wilayah teologis dengan memformulasikan pertanyaan-pertanyaan dasar : “Apakah pengikut dan pendukung Ali sebagai kafir ataukah mukmin ?” dan “Apakah pengikut dan pendukung Mu’awiyah sebagai kafir ataukah mukmin ?”. Kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan dengan satu pertanyaan yang lebih teoritis, “Apakah orang yang melakukan dosa besar masih bisa dianggap sebagai mukmin atau karenanya maka ia menjadi kafir ?” Jawaban kelompok Khawarij terhadap pertanyaan adalah jelas kafir.
Dalam perkembangan sejarahnya fenomena tadhlil dan takfir dalam Islam di tangan kelompok-kelompok lain lebih melebar tidak hanya ditujukan pada mereka yang melakukan dosa besar, tetapi juga dosa apa pun[5] dan siapa pun[6], bahkan para Nabi pun jadi sasaran fenomena ini[7]. Dengan kata lain, pintu telah terbuka lebar bagi tadhlil dan takfir, hampir-hampir tidak ada pembatasan mengenai seberapa jauh seseorang harus melangkah dan kapan harus berhenti. Dalam keadaan seperti ini seseorang dapat menunjuk kepada siapa pun dari saudara muslimnya dan menyatakannya sebagai ‘sesat’ dan ‘kafir’. Hanbali mengkafirkan Asy’ari dan sebaliknya Asy’ari mengkafirkan Hanbali. Pada sisi lain, Asy’ari mengkafirkan Mu’tazilah dan sebaliknya Mu’tazilah mengkafirkan Asy’ari.[8] Situasi semacam ini mengugah kegelisahan beberapa kalangan ulama’. Salah satu di antaranya adalah al-Gazali yang kemudian menulisFaisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad, yang di antaranya berisi konsep Takfir -nya.
Konsep Tadhlil dan Takfir
Tadhlil dan takfir merupakan dua kata transitif dari kata dasar dhalaldan kufr, sehingga secara bahasa tadhlil berarti menyesatkan dan takfir berarti mengkafirkan. Kedua kata tersebut, sesungguhnya,berada dalam satu kerangka pemaknaan, walaupun kadang-kadang bisa memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Karenanya kadang-kadang juga keduanya bisa saling ditukar satu sama lain. Ketika disebut tadhlil, maka juga berarti takfir dan begitu sebaliknya. Pemaknaan konsep tadhlil dan takfir semacam itu bisa dilihat dalam realitas masyarakat yang saling melakukan tadhlil dan takfir.
Yang dimaksud dengan tadhlil dan takfir adalah menstigma seseorang sebagai orang yang sesat dan atau dan oleh karenanya kafir. Oleh karena itu yang perlu didiskusikan adalah apakah yang dimaksud dengan dalal dan kufr itu ?, siapa saja yang bisa dikategorikan sebagai orang yang sesat dan kafir ?, apakah landasan yang benar bagi tadhlil dan takfir ?, janis masalah seperti apakah yang merupakan masalah tadhlil dan takfir? dengan kriteria dasar apakah kita dapat dengan benar memutuskan seseorang sebagai orang sesat dan kafir ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam tulisan ini, digunakan konsep takfir al-Gazali yang ada di dua kitabnya yang saya sebutkan di atas. Baginya masalah takfir adalah masalah hukum syar’i. Artinya ketika dinyatakan bahwa seseorang itu kafir, maka pernyataan ini pada dasarnya memiliki tiga implikasi, yaitu :
- Implikasi hukum akhirat, yaitu masuk neraka selamanya
- Implikasi hukum dunia, yaitu tidak memiliki hak qisas, tidak berhak menikahi wanita muslimah, tidak dilindungi darah dan hartanya, dan lain sebagainya
- Implikasi terbunuh karakternya dan dicap sebagai pelaku dusta[9]
Karena persoalan takfir adalah persoalan hukum syar’i, maka landasan yang benar untuk melakukannyaadalah wahyu, bukan akal. Untuk menstigma seseorang sebagai kafir atau muslim, hanya bisa dilakukan dengan pengetahuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau dalam berijtihad dari kedua sumber hukum Islam tersebut.[10] Tidak ada ruang bagi akal semata untuk menetapkan seseorang sebagai kafir.
Adalah tidak benar orang mengatakan bahwa dasar penetapan seseorang sebagai kafir atau muslim adalan akal semata, bukan syara’, dan bahwa orang yang tidak mengetahui Allah adalah orang kafir dan orang yang mengetahui Allah adalah orang mukmin. Menetapkan seseorang sebagai kafir berarti menetapkankehalalan darahnya bagi dia dan menetapkannya masuk neraka. Kedua hal yang terakhir ini merupakan wilayah hukum syar’i[11] dan hak prerogatif Allah.
Kekufuran dan kesesatan terjadi ketika terjadinya pengingkaran dan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya.Konsep kufur semacam ini sebagai kebalikan dari konsep iman sebagai pembenaran terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullullah.[12]Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang kafir adalah siapa saja yangmendustakan terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullullah.[13]
Namun tidak semua takdzib kepada Rasulullah SAW berakibat kekufuran, ada yang hanya berakibat kesesatan.Ada beberapa tingkatan takdzib kepada Rasulullah SAW :
a) Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara pasti (qath’iy) berdasarkan nash-nash al-Quran, seperti kekufuran oarang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan para penyembah berhala (QS an-Nisa: 150-151). Mereka adalah orang-orang kafir, karena ajaran mereka mendustakan Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang di bawanya. Yahudi, misalnya, mempercayai semua Nabi selain Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Nasrani mempercayai semua Nabi, tetapi mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi.[14]
b) Kaum Brahman dan materialisme,karena yang pertama tidak hamya mengingkari Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mengingkari seluruh Nabi, dan karena yang kedua mengingkari Allah sebagai Pencipta Alam, maka mereka lebih layak dianggap kafir dari Yahudi dan Nashrani.Orang-orang yang meyakini ajaran bahwa semua agama saat ini benar termasuk kelompok ini pula.[15]
c) Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara ijtihadiy, seperti para filosof yang meyakini ajaran (1) bahwa kebangkitan kembali secara fisik di akhirat tidak mungkin terjadi, (2) bahwa Allah tidak mengetahui juziyat, dan (3) bahwa alam itu kekal. Mereka oleh al-Ghazali dianggap kafir karena ketiga ajaran mereka tersebut tidak lain dari pada takdzib secara terang-terangan terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW.[16]
Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mengingkari ajaran Islam yang maklum min al-din bi al-darurah, seperti rukun Iman dan rukun Islam.[17]
Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah termasuk kelompok ini pula, karena ajaran mereka yang mengingkari inqitha’ al-nubuwwah sebagai ajaran yang sudah mujma’ alaih. Begitu juga kelompok-kelompok yang mengingkari ajaran yang sudah mujma’ alaih yang lain,
d) Takdzib yang tidak menyebabkan kekufuran tetapi menyebabkan kesesatan (bid’ah), seperti Syi’ah Imamiyah yang secara ajaranya secara implisit mengingkari ayat-ayat al-Quran yang memuji-muji para sahabat sebagai golongan yang terhormat, yakni kelompok yang dimuliakan Allah.
Mu’tazilah dan antropomorfis termasuk kelompok ini, karena mereka telah melakukan penakwilan dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan sekehendaknya.
Wilayah takfir adalah masalah-masalah usul atau prinsip-peinsip agama. Tidak ada ruang bagitakfir persoalan-persoalan furu’ atau cabang-cabang agama.[18] Yang dimaksud dengan usul, di sini, adalah usul al-iman yang meliputi iman kepada Allah, Rasulnya, dan hari akhir. Selain itu masuk kategori furu’.[19]
Oleh karena itu, dia berpesan :
فان تكف لسانك من اهل القبلة ما امكنك ماداموا قائلين لااله ال الله محمد رسول الله غير مناقضين لها والمناقضة تجويزهم الكذب علي رسول الله صلي الله عليه وسلم بعذر او غير عذر, وان التكفير فيه خطر والسكوت لا خطرفيه [20]
Kalau kita setuju dengan konsep takfir al-Gazali seperti di atas, maka yang berhak memutuskan bahwa seseorang itu sesat dan kafir hanya Syari’, yaitu Allah, dan orang-orang yang diberi mandat dan wewenang olehNya, yaitu Rasulullah dan ulil al-Amri.Yang dimaksudkan dengan ulil al-amrimenurut sebagian ulama’ tafsir adalah pemerintah. Menurut sebagian ulama’ tafsir yang lain, yang dimaksudkan dengan ulil al-amri adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dalam memahami sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Kompetensi dalam memahami sumber hukum syari’at ini mensyaratkan adanya pengetahuan dasar :
- Pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan
- Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat dan hadis nabi
- Pengetahuan tentang hubungan antara sebagian teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan sebagian yang lain
- Pengetahuan tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan hukum
- Pengetahuan tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan maqasid syar’ayyah
Kedua pendapat ahli tafsir tersebut tidak bertentangan, bahkan sangat ideal kalau bisa digabungkan keduanya. Apakah MUI dalam konteks Indonesia merepsentasikan ideal ini,semoga.
Menyikapi Lahirnya Aliran-aliran Keagamaan Di Indonesia
Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan tulisan ini bahwa pada dasawarsa terakhir ini banyak bermunculan aliran-aliran dan pemahaman keagamaa “baru” di Indonesia. Beberapa di antaranya yang masih tersisa dalam ingatan kita adalah pemahaman keagamaan tentang sholat bilingual, pemahaman keagamaan Ardi Hosen dan para pengikutnya di Probolinggo, aliran keagamaan Ahmadiyah, aliran keagamaan Eliya Aminuddin dan para pengikutnya, aliran keagamaan Al-Qiyadah al-Islamiyah dan lain-lain. Pada sisi yang lain muncul pemahaman keagamaan Jaringan Islam Liberal wa akhawatuha yang mengusung liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.
Dalam menyikapi itu semua kita harus berada pada posisi antara menutup pintu rapat-rapat dan membukanya lebar-lebar bagi tadhlil dan takfir. Sikap ini perlu kita ambil untuk menghindari dua ekstrim yang berbahaya, yaitu membiarkan kekafiran merajalela dan tersebarnya fitnah di mana-mana. Untuk itu perlu dilakukan :
- Penalitian yang seksama untuk menentukan unsur-unsur kesesatan dan kekafiran.
- Sebelum melakukan tadhlil dan takfir, perlu penelitian secara cermat apakah unsur-unsur tersebut telah terpenehui.
- Perlu dilihat tingkat bahayanya terhadap agama, kalau memang tidak terlalu besar bahayanya bagi agama tidak perlu dilakukan tadhlil dan takfir, begitu al-Gazali
- Kalau memang ternyata memenuhi unsur-unsur untuk dilakukan tadhlil dan takfir, perlu dilakukan :
ادع الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن .. الاية
Akan tetapi juga perlu memperhatikan sabda Nabi :
من رئ منكم منكرا فليغيربيده ….الحديث
- Sikap keras dilakukan sebagai alternatif terakhir ketika semua alternatif sudah tidak mungkin.
Penutup
Persoalan tadhlil dan takfir merupakan persoalan klasik umat Islam, sejak masa generasi awal dan hingga kini rupanya masih terus berlangsung. Memang tidak mudah untuk berupaya berada posisi tengah antara menutup rapat-rapat dan membuka lebar-lebar-lebar bagi tadhlil dan takfir.Akan tetapi hal itu bisa dilakukan dengan semakin memberikan pencerahan kepada umat Islam akan pentingnya memahami dengan benar terhadap konsep tadhlil dan takfir, Dengan demikian mereka dapat dengan bijaksana kapan harus melakukan tadhlil dan takfir, kepada siapa harus dikenakan serta kapan pula harus tidak melakukannya. Kesemuanya ini tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan maslahah, baik hifd al-din, hifd al-nafs, hifd al-nasl, hifd al-’aql,maupun hifd al-’urd. [khr]
judul: Memahami Fenomena Pen-sesat-an (Tadhlil) dan Peng-kafir-an (Takfir) Di Indonesia
[1] Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dosen luar biasa Program Pascasarjana IAI Ibrahimy Sukorejo, Situbondo
[2]Deden Abdul Azis,”Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” Tempo Interaktif, 20 September 2005, www.tempointeraktif.com/hg/nua/jawamadura/2005/09/20/brk
[3]Taqy ad-Din Ibn Taimiyah, Kitab Iman, Damaskus, 1961, hlm. 142.
[4]Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. III, Cairo, 1963, hlm. 5.
[5]Ibnu Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwal wa an-Nihal, vol. IV Cairo, 1317-1321 H, hlm. 191.
[6]Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, I, Cairo, 1948, hlm. 93
[7]Al-Malati, at-Tanbih wa ar-Radd ‘ala Ahli al-Ahwal wa al-Bida’, ed. ‘Izzh al-Attar al-Husainy, Cairo, 1949, hlm. 95.
[8]Al-Gazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hlm. 79
[9]Al-Gazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 80.
[10]Ibid.
[11]Al-Gazali, Faisal, hlm. 98
[12]Ibid, hlm. 78
[13]Al-Gazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 80.
[14]Ibid
[15]Ibid
[16]Ibid, hlm. 81
[17] Ibid, hlm. 82
[18]Al-Gazali, Faisal, hlm. 89
[19]Ibid
[20]Ibid