Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin tidak hanya mengajari para santri terhadap keilmuan-keilmuan yang bersifat teori. Akan tetapi, para santri juga diajari untuk bisa mengamalkan apa yang menjadi pengetahuannya. Santri diajari sholat jamaah dan diwajibkan untuk melaksanakannya, santri diajari tata cara merawat jenazah sekaligus diberi kesempatan untuk praktek langsung. Santri juga diberi pengetahuan tentang pentingnya wirid dan sholawat, sehingga pesantren membuat aturan pembacaan haddad dan barzanji bagi para santri.
Semua itu dilakukan untuk mengajari santri agar terbiasa beribadah dengan disiplin. Adanya sanksi bagi santri yang melanggar, bukanlah sebuah bentuk anarkisme, akan tetapi merupakan sebuah ungkapan kasih sayang dari pengurus pesantren, karena mereka tidak menginginkan santri menjadi orang yang tidak baik. Tentunya para pengurus pesantren juga harus berangkat dari hati yang tulus di dalam memberikan sanksi. Karena jika didasari dengan amarah, maka yang tersisa hanyalah kemarahan, dendam serta kedengkian.
Di dalam pesantren, santri digembleng agar menjadi insan yang tangguh, mandiri, qanaah dan istiqamah. Santri harus melakukan segala aktifitasnya sendiri, mulai dari urusan makan, minum, mandi, mencuci, merapikan pakaian dan sebagainya. Dalam masalah keuangan kadang-kadang santri ditimpa krisis akibat lambatnya uang kiriman. Bagi santri yang tangguh. tentunya ini bukanlah sebuah masalah besar karena masih bisa meminjam uang kepada temannya. Pada saat-saat seperti inilah ada interaksi diantara para santri. Santri yang baik akan memiliki kepedulian kepada temannya yang sedang kekurangan. Temannya akan dibantu dan diberi pinjaman bahkan diberi secara cuma-cuma.
Kehidupan santri memang bersahaja. Bayangkan dalam satu kamar ukuran 3 x 4 meter penghuninya ada yang mencapai 50 orang bahkan lebih. Menurut zhahirnya, hal ini kurang baik, karena ruang gerak dan tempat istrirahat santri sangat terbatas. Akan tetapi jika dipahami secara mendalam, ternyata ada sisi positifnya. Kamar kecil dengan penghuni 50 orang memiliki filosofi yang bagus, yaitu semakin banyak kita berkumpul dengan orang-orang yang berbeda, maka akan semakin banyak pengetahuan yang kita dapatkan tentang karakter-karakter manusia dan cara menghadapinya, kita bisa lebih kaya bahasa dan budaya, Karena 50 orang santri tersebuat tentunya, ada yang penyabar, pemarah, sensitif, jujur, ada juga yang memiliki bahasa yang berbeda.
Ada yang bilang bahwa untuk hidup mandiri harus sekolah diluar negeri. Menurut penulis itu terlalu jauh, karena di pesantren kemandirian dapat dilakukan oleh para santri, yang jauh dari orang tua, keluarga dan kampung halaman. Pesantren adalah potret kehidupan masyarakat. Jika sukses hidup di pesantren, maka kemungkinan besar dia bisa sukses di masyarakat.
Santri selalu dilatih untuk bisa menjalani hidup dengan baik. Hidup harus dengan perjuangan, latihan dan kerja keras. Untuk hidup mewah dan enak, mungkin semua orang akan bisa menjalankannya tanpa latihan, akan tetapi untuk menjalani hidup yang sulit, pasti diperlukan latihan. Karena jika telah terlatih, kelak ketika dia telah terjun di masyarakat -kalau dia ditakdirkan hidup melarat (Naudzubillah)-, maka dia telah terlatih dan bisa menjalankannya dengan baik. Dan jika dia bisa hidup mewah, maka dia tidak akan lupa daratan, karena mengetaui bagaimana penderitaan orang yang melarat.
Ketika pulang dimasyarakat, santri diharapkan bisa mewarnai kehidupan masyarakat dengan baik. Hendaknya tidak hanya memberikan mau`idzah hasanah, tapi uswatun hasanahnya juga ditampakkan. Santri yang baik adalah santri yang bisa memberikan manfaat kepada masyarakat dan agamanya.